NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Badai

Begitu sampai rumah, tanpa kata aku keluar dari rubicon yang sedari dua jam lalu hening. Sesegera mungkin mengeluarkan motor dari garasi, tak ingin memberi celah untuk Mas Dwi. Sunggguh, aku tak mood untyuk bicara saat ini. Namun aku kalah cepat, ia mengantongi kunci kontakku. Aku menghembuskan nafas lelah.

"Ada apa? Balikin kontaknya, aku butuh waktu sendiri."

"Nggak! Sebelum kamu tenang, saya ga bisa biarin kamu bawa motor sendiri."

"Ck! Tadi katanya udah capek, yaudah, biar mati aja sekalian. Biar ga ada yang nyusahin, ga ada yang dipikirin!"

"Mulutmu ini lho!" ia mencubit bibirku. "Kamu pikir mati bisa nyelesein masalah?! Sudah punya bekal apa kamu sampe mau mati?! Yaudah sini kamu mau kemana? Saya anterin, kalo mau pergi mati, ayo mati sama-sama!"

Aku menatap wajahnya dengan ekspresi datar, tak berniat membalas ucapannya. Aku keluar dari gerbang dan duduk di atas trotoar, menunggu taksi yang lewat. Namun sialnya ia ikut berjongkok. Aku mengalah, demi melihat wajah lelahnya. Aku memang paling lemah berhadapan dengan lelaki satu ini.

"Pulang gih!" usirku.

"Ntar aja, kamu ga butuh waktu sendiri malam ini. Kamu tahu? Saya ga maksud ngomong seperti tadi, sungguh, Ay. Maksudku bukan ingin menyerah, buat apa saya berjuang hanya untuk menyerah? Kasi kesempatan buat saya buktiin kalo saya serius."

"Kasi waktu saya buat berfikir ulang, dan saya serius, jangan siakan waktu untuk nungguin saya. Saya ga terima penolakan. Saya mau ketemu Randy, tolong kunci motor saya balikin!" Aku dan keras kepalaku ditambah emosi yang tak stabil ini memang mendominasi.

"Terserah kamu. Kamu ga pernah denger kalo saya ngomong. Terserah kamu, kamu mau kemana pun terserah. Saya nyerah. Terserah!" Ia melemparkan kunci motorku sembarang arah.

Nyeri, itu yang ku rasa kala mendengar kata terserah dan menyerah darinya. Tapi bukankah ini yang aku inginkan? Baiklah Ara, sekarang kamu tak perlu lagi mendengar siapapun, tak Perlu mempertimbangkan hati siapa yang tersakiti. Sendiri memang lebih baik. Aku menatap mobil yang pergi menjauh dengan nanar dan hati yang entah.

Aku lelah, berniat menelpon Randy, namun tak jua ku temukan ponselku. Aku baru ingat, tadi aku melemparnya ke jok belakang mobil. Sudahlah, aku memungut kunci motorku dan berkendara menuju rumah Randy dan Rindu. Aku benci situasi ini, namun bagaimanapun juga, ini adalah inginku sendiri. Aku yang merasa tak pantas untuk semua orang, aku yang hanya bisa membuat masalah ini baiknya menghindar, agar tak ada lagi hati yang tersakiti.

Tiga puluh menit kemudian, aku sampai di rumah dengan pekarangan luas yang tertata rapi. Kebun mawar milik Rindu ini terlihat begitu rimbun, diapit oleh aneka krisan. Aku betah disini, tempat rahasia yang tak diketahui oleh Dwi sekalipun. Aku mengucap salam, namun hening. 'Apa Rindu tak ada dirumah ya? Randy jam segini paling masih di kantor' batinku. Ingin menelpon, tak ada ponsel. Pandanganku mengarah ke garasi, mobil hadiah pertama dari Randy untuk Rindu terparkir rapi. Aku mendorong pintu, terbuka. Pikirku, ia tertidur. Aku langsung ke kamarnya, gadis sipitku itu tampak tertidur dan masih mengenakan mukenah.

"Astaga, sipit," gumamku, aku mendekatinya. "Assalamualaikum, Rindu ...."

Aku berbisik di telinganya, biasanya dia akan langsung terbangun, karena ia sensitif jika telinganya dibisiki. 'Geli, tante!!' teriaknya. Ia akan memanggilku tante jika sudah merajuk, dan aku akan manyun karena dipanggil tante. Namun kali ini ia bergeming, wajahnya yang putih tirus terlihat pucat. 'Apa dia sakit ya' pikirku.

Aku menggoyangkan badannya agar bangun, dan bersiap membawanya ke dokter jika memang ia sakit. Namun sekali lagi, tak ada respon. Tentu aku panik, menepuk pipinya lebih keras agar ia terbangun.

Deg

"Kenapa dingin? Harusnya ia demam. Woy lah, jangan bercanda! Aku kutuk bakal sipit selamanya ya kamu kalo ngerjain tante!" omelku. Sepi. Sial, aku langsung membopong tubuh mungil dan kurus itu menuju garasi. Tak tahu mendapat kekuatan dari mana hingga aku bisa membawa Rindu sampai di rumah sakit ini. Padahal untuk membawa mobil pun aku tak lancar, Ryan yang ku daulat sebagai guru mengemudi sampai stress karena aku tak juga bisa mengemudi dengan benar.

Sesampai di depan UGD, aku disambut petugas yang berjaga. Melempar isyarat pandangan pada Ian yang kebetulan berada di pelataran UGD agar memarkirkan roda empat yang tadi ku bawa. Gegas ku cari keponakanku, menunggu dokter yang tengah memeriksa keadaanya. Ku lihat petugas kesehatan menggeleng, perasaanku tak enak, sesuatu terjadi padanya. Terbukti, ketika aku dipanggil, berita kematian yang ku terima.

Ada apa dengan hari ini? Aku terduduk lemas, bagaimana mungkin ini terjadi? Subuh tadi ia masih dengan cerianya menelpon untuk mengajakku berlibur bersama Hera dan Hoon, ia yang bersemangat mengajak kami menyusun acara kejutan ulang tahun Randy besok. Kini, ia jasad tanpa ruh yang ku temui.

Ian membantu mengurus kepulangan Rindu, saat hendak menemui petugas pengantar jenazah, ku lihat Mas Azis berlari menghampiriku. "Ara? Kenapa? Siapa yang sakit? Bukan kamu kan?" tanyanya sembari memindai tubuhku.

"Rindu, mas, Rindu." Suaraku tertahan di tenggorokan. "Telponin Randy, suruh pulang. Adiknya sudah pergi, Rindu pergi, Mas. Ara harus apa?!" tangisku pecah dipelukan Mas Azis. Ia menegang, mengurai pelukan dan meremas pundakku kuat, matanya nanar menatapku, seolah ingin menemukan kesungguhan dalam ucapanku.

Bayangan kematian selalu menghantui setiap menginjakkan kaki di rumah sakit, dan kembali, malam ini, berita kematian yang ku dengar dari orang yang ku sayangi. Lelaki bermata jernih di hadapanku ini seakan tersadar, ia menenangkanku yang merasa sangat shock. Kedua tanganku gemetar hebat, aku menggigil, kedua tungkai kakiku lemas, hingga akhirnya gelap.

...🍀🍀🍀...

Aku membuka mata, terasa berat, kepalaku berdenyut nyeri. Sayup terdengar suara seseorang tengah histeris. Aku mencoba menggali kepingan memori sebelumnya, ah, Rindu. Aku berlari keluar dari kamar yang ku kenali kemudian, kamar Rindu. Aku menemukan pemandangan seperti beberapa tahun silam. Seakan semua seperti deja vu, aku terduduk lemas. Bayangan Rindu serasa ada di setiap sudut rumah ini.

Tampak Randy terisak di samping jenazah adiknya. Mengapa? Mengapa dia menangis? Bukankah harusnya ia senang? Kenapa ia baru merasa kehilangan? Apa dia tak menyadari bahwa Rindu begitu inginkan hadirnya? Kemana dia saat Rindu menangisinya? Harusnya Rindu tersenyum senang saat ini, Randy tengah memeluknya, memeluk tubuh dingin dan kaku adiknya, hal yang selalu Rindu inginkan.

Mas Azis membantuku berdiri, memapahku menuju kamar bernuansa lilac milik Rinduku, gadis sipitku.

"Rindu, dia anak yang kuat, tak pernah ku dengar ia mengeluh. Apa yang terjadi?" tanyaku.

Dokter di hadapanku itu menghela nafas. "Ternyata selama ini, dia sangat sakit. Kamu tahu? Dia mengidap Polisitemia Vera, kanker. Mas tak pernah menjumpainya di Rumah Sakit, padahal ternyata ia pasien dokter Gladys, spesialis onkologi. Ia menderita kelainan darah, penyakit yang termasuk langka dan nggak bisa sembuh. Menurut dokter Gladys, Rindu menjadi pasiennya sejak tiga tahun lalu. Ia gadis yang baik, selalu patuh pada jadwal berobatnya, rutin mengeluarkan darah agar tak terjadi komplikasi."

"Tapi jadwal terakhir, seminggu yang lalu, ia tak datang. Dokter Gladys yang menanganinya menghubunginya agar datang, namun ia berkata sedang sibuk dengan tugas akhir dan semesternya, terus tertunda sampai hari ini. Dokter memperkirakan dia terkena serangan jantung, akibat komplikasi penyakit ini. Ah, seberapa sakit kamu, nak." Mas Azis terisak.

Isakan kami bersahutan, aku membayangkan betapa tersiksanya Rindu, ia kesakitan ditengah kesepiannya. Bagaimana bisa ia menahan semuanya sendiri. Gadis hebatku, gadis kuatku, ia pada akhirnya kalah. Teringat percakapan terakhir kami di telpon ketika aku masih di Bali. 'Aku takut waktuku habis', nyatanya waktumu memang telah habis ya, setidaknya kamu tak lagi kesepian, dek. Kamu bakal ketemu Ayah sama Bunda disana, ah iya, mamaku juga. Kamu ga akan ngerasain sakit lagi, kamu anak baik, Tuhan sayang banget sama kamu, dek. Beliau angkat semua sakitmu, penyakit dan sakit akibat kesepian panjangmu. Kamu tahu dek? Inginmu terkabul, diluar sana, Randy mengajakmu berbicara banyak hal, ia juga memelukmu. Kamu ga akan memimpikannya, tapi dialah yang akan memimpikanmu. Kamu bahagia, dek? Tante disini sendiri lagi, nggak ada lagi Rindu yang cerewet, Rindu yang selalu mengganggu dengan pertanyaan konyol, Rindu yang diam-diam menangis. Berbahagialah, kamu tunggu Tante ya, anak baik.

...🍀🍀🍀...

Usai pemakaman, aku duduk berdampingan dengan Randy. Di depan gundukan basah tanah bertabur bunga. Rindu Farasya, gadis sipitku, jasadnya telah kembali dalam dekapan tanah, sedang ruh nya telah berada di alam berbeda. Persamaan kami saat ini terletak pada mata sembab dan hidung merah kami. Dendi, salah satu keponakanku menuntun kami agar segera meninggalkan pemakaman. Dengan enggan, aku melangkahkan kakiku, menatap rumah baru Rindu sekali lagi. Pun dengan sang kakak, yang sebentar sebentar menoleh ke belakang. Kehilangan, tetaplah kehilangan, yang pergi akan tetap pergi.

Tak perlu ku pertanyakan, Randy saat ini pasti sangat kehilangan. Tak perlu berkata, aku memeluk sosok ringkih ini, tangisnya mengeras. Aku mengelus punggung yang selalu memunggungi adiknya ini. Kami terluka, tentu saja, dengan alasan yang kurang lebih sama, tak memperhatikan Rindu. Seegois itu diriku, aku bahkan tak tahu orang yg selalu membuatku tersenyum itu tengah berjuang sekuat tenaga.

Sesampai di rumah duka, aku mencari ponsel almarhumah. Mengabari Hoon, ternyata mereka sedekat itu, aku tahu ketika membaca riwayat pesan mereka. Setelah itu, aku memutuskan pergi, entah kemana, aku terlalu sakit untuk berada di sini. Luka lamaku kembali menganga, ditambah masalah baruku dengan Mas Dwi, juga dengan Ojik dan Wulan. Aku memutuskan menenangkan diri, dan segera di amini oleh Ibu dan Mas Azis serta Mbak Neni.

Mereka khawatir kejiwaanku akan terganggu, setelah dulu sempat terguncang karena kematian mama dan kelakuan Ayah. Ku ketikkan surel permintaan maafku pada Wulan, aku minta maaf atas ketidak pekaanku di masa lalu dan masa kini. Dan memintanya mengurus butik sendiri untuk sementara waktu. Aku butuh waktu.

Aku melangkahkan kakiku memasuki ferry yang akan membawaku ke Surabaya. Melambaikan tangan pada Mas Azis dan Mbak Ita yang mengantarku ke pelabuhan Lembar. Aku hanya membawa beberapa potong pakaian, kamera yang tak pernah absen menemani, dan barang penting lainnya. Aku tak punya tujuan pasti, namun sepertinya akan menuju arah barat. Ku tumpahkan semua resahku bersama ombak berbuih. Berharap semua baik-baik saja, hidupku dan hatiku. Melambungkan harap, semoga saat kembali nanti, semua telah tertata sesuai dengan seharusnya. Semoga.

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!