Adara'S Daily

Adara'S Daily

Perempuan Beruntung

Aku Adara, berusia 28 tahun, dan kata mereka single available. Terjebak bersama mereka disini bukanlah perkara menyenangkan, 15 tahun bersama tidaklah sebentar. Namun untuk meninggalkan mereka bukanlah sebuah pilihan, dan tak pernah terpikirkan untuk melakukan hal itu. Kami telah melalui banyak hal bersama, mulai dari hal menyenangkan, menyebalkan bahkan menyedihkan, seperti hari ini, kami bertemu di acara bahagia Ryan dan Ima.

Ah sebelumnya, biar ku perkenalkan mereka, mulai dari yang paling kanan, Ia bernama Ian, Arian Kurnia, yang juga sepupuku, dan hari ini ku daulat menjadi pasanganku di acara ini, karena pasangan aslinya masih berada di Bekasi sana. Terima kasih kepada Maya karena dengan suka rela menyerahkan kekasihnya untuk bersamaku pagi ini.

Selanjutnya ada Fauzi, paling kalem dan tenang diantara kami (kata orang), ia bersama Wulan, istrinya. Satu hal yang orang-orang tak tahu tentang dia, di depan umum dia terlihat sangat tenang dan santai, bahkan wajahnya pun mendukung opini tersebut, sayangnya dibelakang layar, kelakuan dan wajahnya tak pernah selaras. Bahkan bisa dibilang, diantara kami, dia yang paling bobrok. Namun syukurlah, ia sudah move on setelah bertahun-tahun patah hati tanpa sempat mengungkapkan, dan kami tak pernah tahu siapa gadis tersebut. Beruntung ada Wulan yang dengan sabar mendengar keluh kesah dan kisahnya hingga akhirnya mereka memutuskan menikah tiga tahun yang lalu.

Lalu ada Amri dan Lena, istrinya juga Arfan, keponakan kami bersama. Pecicilannya beruntung tak menurun pada putranya. Amri ini pasangan Ojik dalam hal kebobrokan. Sungguh, bila dua orang ini sudah kompak bicara, di jamin, emosiku akan naik karena kesal, dan tentu itu tujuan mereka. Walau sifat mereka kurang lebih sama menyebalkannya, yang membedakan mereka adalah, Ojik lebih sabar dan tak mudah terpancing emosi, berbeda dengan Amri dengan sumbu pendeknya. Ia yang mudah meledak dan emosi, yang penting marah dulu, tabayyun ntar belakangan.

Lanjut lagi disebelah kananku ada Mas Dwi atau Firdaus atau Daus, satu-satunya dari mereka yang ku panggil dengan sebutan "Mas" karena hanya dia yang memanggilku dengan benar, "Adek" atau terkadang "Aya", nama kecilku. Ia adalah seorang dosen muda di sebuah Fakultas Kehutanan Universitas Swasta kota kami.

Satu orang lagi, Ryan Septian, ia yang saat ini tengah berada di pelaminan dan menjadi sorotan hari ini. Ryan ini dulunya adalah seorang vokalis band lokal, sebelum akhirnya menyerah menjadi musisi karena kesibukannya ketika masih kuliah dan saat ini telah menjadi seorang notaris yang pastinya menyita waktu dan tenaga. Sesekali ia mengajakku jamming atau sekedar menyewa studio untuk satu atau dua jam, tentu dengan empat manusia lainnya.

Sebenarnya mereka ini 2 tahun diatasku, senior di masa SMA. Namun karena seringnya kami bertemu membuat kami seolah tak berjarak dalam hal usia maupun rahasia.

"Ara, lu masih joms?" Amri bertanya padaku, pertanyaan ke lima hari ini, tentunya dari orang yang berbeda.

"Aku tuh single ya, bukan jomlo." Aku menyahutinya sambil setengah mendengkus.

"Bedanya apa? Dari tadi jawabannya itu doang." Fauzi bertanya entah karena penasaran atau memang sengaja memancing keributan.

"Beda dong, kalo single mah karena pilihan, aku milih single karena banyak faktor. Nah kalo jomlo ya nasib, kek Mas Uwik misalnya." Aku menjawab sambil memainkan alis menatap Dwi yang langsung memalingkan tatapan dari kameranya, dan disambut gelak tawa yang mendengar.

"Sembarangan emang si bocah." Mas Dwi hanya menjawab singkat dan kembali sibuk dengan kameranya.

"Ngga gitu juga, Juleha! Si Dwi jomlo juga gara-gara calonnya ga peka. Susah emang," timpal Ojik, dapat ku lihat ia meringis karena kakinya diinjak Mas Dwi.

"Ya mending Daus kemana manalah Ra, kemarin sempat ada calon walaupun akhirnya ditinggal nikah duluan." Lemes tenan emang lidah tak bertulang milik Amri.

"Gibah teross, ini ya kalo udah ngumpul begini mulut sama lidah lemes banget macam Mak Odah kalo lagi laporan hasil investigasi satu kampung." Lena yang kali ini menimpali, aku hanya tertawa, Mas Dwi? Hanya mengendikkan bahu tak berkomentar, pun Amri yang kena semprot istrinya.

"Masih belum seberapa Mba Len, mereka ini kalo udah ketemu banyak kata mutiara nan sakti, jagain Arfan aja," celetuk Wulan cengengesan.

"Nggak kok, kalo ada Arfan ga bakal keluar itu kalimat. Paling cuma Nyai Linggi aja buat manggil si Ara," jawab Amri.

"Si Banteng, sembarangan bener ngerubah nama," sahutku sambil melotot, ia hanya menjulurkan lidah. Lena yang melihat langsung menepuk gemas lengan suaminya.

Sementara mereka berdebat, tiba-tiba Ian menepuk pelan pundakku. "Ra, mau dikenalin gak sama temenku?" Ian berbisik yang kujawab dengan bisikan tak kalah pelan.

"Jangan yang aneh-aneh lagi ah, dari kemarin dikenalin sama orang aneh terus sih. Udah kali ke sepuluh loh ya sejak aku balik ke Indonesia."

"Kalo yang ini ga aneh, ku jamin 100% kamu bakal suka. Kamu kenal kok siapa dia."

"Iya? Emang siapa? Duh pada semangat banget nyariin calon suami," rutukku pelan yang ternyata di dengar Mas Dwi.

"Kenapa dek? Mau dikenalin siapa lagi sama Ian?"

"Kok tau, Mas?"

"Cuma sepupumu itu doang yang bahasannya ga jauh dari perjodohan kamu. Kamu masih di Seoul aja dia udah bikin list siapa yang bakal dikenalin ke kamu."

"Ahahaha... Iyakah? Berdua sama Ryan tuh, cuma bedanya kalo Ryan keukeuh nyomblangin aku sama Mas Uwik dari dulu," jawabku sambil tertawa, Mas Dwi hanya menggelengkan kepala dan ikut tertawa.

"Emang kamu ga tertarik gitu buat naik status dari temen jadi demen?" ucapnya sambil memainkan alis.

"Kagak! Kalian semua sama aja sih, bikin pusing semua," jawabku, Mas Dwi tertawa sambil terus mengutak atik kamera, dalam setiap acara, dia memang di daulat menjadi fotografer dadakan.

"Dek, ngadep sini dululah, ada kamera disini." Aku reflek tersenyum manis menghadap kamera.

Bukan hal aneh jika fotoku memenuhi galeri dan memori kameranya. Aku dan Mas Dwi dulunya memang kerap bersama untuk melepas penat dengan camping dan outbound yang tentunya tak hanya berdua. Saat ini kegiatan barunya semenjak menjadi dosen adalah keluar masuk hutan untuk hunting foto atau mencari spesies tanaman untuk bahan ajarnya, dan tentu saja sejak kepulanganku lima bulan lalu, aku kembali menemaninya. Dan hanya tersisa kami berdua yang masih belum menemukan pasangan serta memiliki kelonggaran waktu paling banyak. Itulah mengapa Ryan sangat getol menjadi bapak comblang untuk kami berdua.

Namun entah, belum terpikir untuk merubah status sahabat yang belasan tahun kami jalani ini.

Banyak hal yang membuatku enggan untuk sekedar memikirkan dan membayangkan perjodohan ini menjadi nyata. Salah satunya ya karena terbiasa satu sama lain. Aku masih nyaman dengan hubungan kami saat ini, tanpa ada ketakutan akan kekecewaan.

"Ra, kamu inget Andi?" Tiba-tiba Ian datang bersama seorang laki-laki yang tak asing.

"Kak Andi? Wahh udah lama banget ya, terakhir ketemu di kampus waktu aku masih maba."

"Hallo Dara, nice to meet you." Andi menjabat tanganku sembari tersenyum, ah senyum yang membawaku kembali ke belasan tahun lalu, tepatnya 12 tahun silam.

Saat aku masih menjadi siswa baru di SMA, saat masa adaptasiku berlangsung, aku pertama kali bertemu dengannya. Ia dengan senyum manisnya bersedia ku repoti untuk mencari kelasku yang saat itu entah berada dimana. Ah, ternyata senyumnya masih semanis dahulu. Andai dulu hatinya semanis senyumnya, mungkin ada hati yang utuh terjaga.

Aku melirik Mas Dwi, ia balik menatapku, seakan bertanya 'Kamu baik-baik aja?'. Aku mengendikkan bahu. Sampai Ojik memanggilnya.

"Bentar, dek. Si Bagong manggilin tuh, kamu ga apa Mas tinggal bentar sama dia?"

"Ga apa kok, Mas. Lagian udah lama juga sih. Gih kesana dulu." Aku mendorong tubuhnya agar segera pindah ke samping Ojik.

"Haih, bentaran doang, Dwi. Ga bakal ilang ini si Adara, ga mungkin di gondol si Andi, mantan doang mah kalah sama masa depan," sambar Fauzi, aku melotot dan bersiap memuntahkan lahar, andai tak di tarik Ian.

"Berantem mulu, ya Salaam. Ini lagi di tempet rame, tahan bentar sih, ntar berantemnya di lapangan depan aja, tenang."

Aku tak membalas, lebih memilih fokus pada acara ini. Mengabaikan rasa tak biasa pada lelaki yang duduk di samping kiriku ini. Dulu ia pernah menjadi yang utama, namun ternyata aku bukan yang utama, dan tak pernah menjadi utama. Pernah menjadi penyemangat, namun ternyata penyebab patah. Beruntung, aku bukan tipe orang yang katanya bucin. Sakit hati pasti ada, tapi aku tak terlalu memikirkan.

Aku saat ini sudah merasa lebih baik, ingin menata hidup yang sempat berantakan. Ingin memulai semua dengan damai, tanpa dendam. Riswandi, satu nama yang bahkan hampir terlupa, jika saja Ian tak membawanya ke hadapanku. Andai dulu ia tak seperti itu, mungkinkah akan ada yang berbeda saat ini? Andai aku tak sempat jatuh, akankah Mas Dwi yang akan menjadi suami dari perempuan itu? Ah, menyebut namanya saja aku malas. Aku tak mau berandai lagi, bergidik jika mengingat wajah dan nama perempuan yang pernah singgah di keseharian kami dulu. Dia yang mempunyai wajah manis, namun ternyata hanya kamuflase dari buruknya sifat seorang Nimas Syakila.

Dapat ku lihat Ryan melotot dari panggung pelaminan, demi melihat wajah menyebalkan Andi. Ku harap dia tak mengacaukan acara ya sendiri. Bisa diamuk Tante Nia aku nanti kalau tahu anaknya ngamuk karena masa laluku. Ku beri isyarat baik-baik saja padanya, perlahan ia terlihat mulai bisa mengendurkan amarahnya. Aku tertawa pelan, ternyata sikap posesif mereka masih tetap ada, walau kini aku bukan satu-satunya perempuan di antara mereka. Dan aku bersyukur, istri dan kekasih para sahabatku ini bisa menerimaku, tanpa ada drama cemburu. Aku memang beruntung memiliki mereka semua, dan tentu, aku menyayangi mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!