Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Tujuan yang berbeda
"Rika, kue pesanan Bu Irma sudah dikirim?" tanya Alina.
"Sudah Bu, baru saja Mas Deni mengantarnya," jawab Rika yang diangguki Alina.
"Assalamualaikum, Ibu," sapa serang pria yang baru saja datang, siapa lagi kalau bukan Zahran.
Sudah satu minggu ini Zahran setiap hari datang ke toko kue Ibu Alina mencari Yasna, meski yang dicari tak menampakkan batang hidungnya.
"Waalaikumsalam, maaf saya bukan Ibu kamu," ketus Alina.
Zahran merasa sangat sedih, dulu Alina selalu memanggilnya dengan panggilan 'Nak', tapi sekarang Alina memanggil namanya saja tanpa embel-embel Nak.
"Saya mau bertemu Yasna, boleh kan Bu?" tanya Zahran.
"Yasna tidak ada, sudah berapa kali saya bilang? Tolong berhentilah mengganggu Yasna, saya tidak mau anak saya disalahkan lagi atas sesuatu yang tidak pernah dilakukannya!" pinta Alina.
"Bu, saya hanya ingin bertemu dengan Yasna, itu saja," ucap Zahran.
"Tetap saja itu tidak pantas, kalian sudah bercerai, apa kata orang jika kalian masih sering bertemu? Orang yang disalahkan sudah pasti Yasna, meskipun disini kamu yang ingin bertemu, orang-orang akan berpikir Yasna menggodamu, jadi saya mohon jangan datang kesini lagi!" pinta Alina.
"Saya tidak bisa melupakan Yasna Bu, saya masih sangat mencintainya, aku mohon Ibu mau merestui kami!" pinta Zahran.
"Apa maksudmu? Lalu bagaimana istrimu?" tanya Alina.
"Aku akan menceraikannya saat anak laki-lakiku
lahir," jawab Zahran.
"Bagaimana jika anak itu perempuan?" tanya Alina.
"Tidak, anakku laki-laki, kami sudah melakukan USG," jawab Zahran.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bagaimana jika anakmu itu perempuan?" tanya Alina lagi.
Zahran diam tak mampu menjawabnya, karena memang ia tak pernah memikirkan hal itu. Ia yakin jika anak yang ada dalam perut Avi adalah laki-laki. Namun, bagaimana jika perempuan? Bagaimana dengan Mamanya? Bagaimana hubungannya dengan Yasna?
"Kamu diam karena tidak tahu jawabannya? Atau kamu tidak yakin dengan jawabanmu?" tanya Alina.
Zahran masih diam mematung, entah apa yang ia pikirkan? Alina tidak mau tahu.
"Sekarang tujuan kamu dan Yasna sudah berbeda, kamu menginginkan anak sebagai pewaris keluarga, sedangkan Yasna menginginkan anak karena dia ingin menjadi seorang Ibu, tapi sayangnya tuhan tidak mengizinkan Yasna menjadi Ibu. Yasna tidak akan pernah mau bersamamu, karena dia tahu bagaimana dikhianati dan dia tidak akan membiarkan wanita lain merasakannya juga. Lebih baik kamu jaga keutuhan rumah tanggamu saat ini, dari pada mengejar sesuatu yang sia-sia," tutur Alina.
Zahran menggelengkan kepalanya, menolak apa yang Alina ucapkan. Zahran akan berusaha lebih keras lagi, agar Yasna mau kembali padanya, karena Zahran yakin dihati Yasna masih ada cinta untuk Zahran.
"Saya tidak akan menyerah Bu, saya akan tetap berusaha kembali bersama Yasna, saya harus kembali ke kantor, terima kasih waktunya, assalamualaikum," ucap Zahran.
Zahran mengulurkan tangannya untuk berpamitan pada Alina, tapi Alina enggan menerimanya, Zahran pun menarik kembali tangannya.
"Waalikumsalam," sahut Alina.
Zahran meninggalkan toko kue Ibu Alina, ia bertekad akan kembali bersama, setelah anak keduanya lahir.
*****
"Ini apa Bunda?" tanya Afrin.
"Roti bakar, Afrin mau?" tanya Yasna.
"Mau." Afrin menganggukkan kepalanya.
"Nih buat Afrin, pelan-pelan makannya ya!" seru Yasna.
"Enak, besok Alin mau lagi ya Bunda," ujar Afrin.
"Boleh, besok Bunda buatin." Yasna tersenyum melihat betapa lahapnya saat Afrin memakan roti buatannya.
Siang hari sekolah sudah waktunya pulang, tapi Afrin tak kunjung dijemput. akhirnya Yasna yang menemani Afrin sambil bercerita.
"Syukurlah Afrin masih disini." Nadin mencoba mengatur nafasnya karena ia tadi berlari.
"Ada apa Nad?" tanya Yasna.
"Barusan supir keluarga Afrin telepon, katanya mobilnya mogok, jadi bakal telat jemputnya," jawab Nadin.
"Nad, aku boleh bawa Afrin ke taman sana nggak?" tanya Yasna sambil menunjuk taman dekat sekolah.
"Boleh ya Bunda Nadin! Alin mau kecana cama Bunda Yana," sela Afrin.
Nadin menghela nafas, ia takut jika keluarga Afrin marah, karena sudah memberi izin orang lain membawa Afrin. Namun, Yasna bukan orang jahat, Afrin juga cukup dekat dengan Yasna.
"Alin janji nggak akan nakal," sela Afrin.
"Baiklah, di taman saja jangan jauh-jauh," sahut Nadin akhirnya.
"Yeay! Makacih Bunda Nadin." Afrin segera menarik tangan Yasna menuju taman.
"Aku pergi dulu!" teriak Yasna karena mereka sudah menjauh.
Di taman Afrin bermain dengan beberapa anak yang ada di sana, Afrin sangat senang bisa bermain dengan mereka, apalagi ada Yasna yang selalu disampingnya. Dari kejauhan terlihat seorang pria menandangi mereka dengan tersenyum, siapa lagi kalau bukan Emran, Papanya Afrin.
Emran tidak pernah melihat Afrin sebahagia itu, tadi ia sempat khawatir, saat Nadin mengatakan kalau Afrin pergi ke taman dengan seorang pengajar. Namun, melihat Afrin dalam keadaan baik-baik saja membuat ia lega. Apalagi melihat senyum diwajah Afrin membuat sudut bibir Emran tertarik.
"Papa!" teriak Afrin membuyarkan lamunan Emran.
Yasna yang sedang asik bermain dengan anak lainnya pun menoleh kearah yang dimaksud Afrin. Seketika Yasna terpana melihat pria dengan wajah tampan dan berwibawa dengan senyuman yang khas, membuat wanita manapun terpikat, aura yang ia miliki mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya.
'Bukankah dia yang waktu itu memesan kue di toko Ibu? Apa kue waktu itu buat Afrin? Ah iya, itu kue buat Afrin, waktu itu kan diatas kue ada nama Afrin? kenapa aku pelupa sekarang? tapi mana aku tahu kalau itu Afrin gadis kecil ini,' batin Yasna
Beberapa wanita yang ada disana pun ikut terpana melihat ketampanan Emran. Mereka menatap Emran tanpa berkedip, seolah jika mereka berkedip, maka apa yang mereka lihat akan menghilang.
"Kenapa disini? Tadi Papa cariin di sekolah." Emran menggendong Afrin yang berlari kearahnya.
"Alin kecini cama Bunda Yana." Afrin menjelaskan pada Emran dengan senyum menghiasi bibirnya.
"Sekarang pamit sama Bunda Yasna, kita jemput Kak Aydin lalu pulang," ujar Emran.
Afrin turun dari gendongan Emran, berlari menuju kearah Yasna, diikuti Emran dibelakangnya. sementara Yasna yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara Ayah dan anak itu menjadi gugup melihat Emran berjalan kearahnya.
"Bunda, Alin pulang dulu ya cama Papa," pamit Afrin.
"Iya, hati-hati ya! Nggak boleh nakal," sahut Yasna.
"Iya Bunda," ucap Afrin.
"Terima kasih Bu, anda sudah menemani putri saya," ucap Emran dengan suara beratnya.
'Bukankah dia wanita yang di toko kue waktu itu?' tanya Emran dalam hati.
Yasna tiba-tiba kesulitan bernafas, mendengar suara berat nan tegas yang ia dengar.
"Saya senang bisa menemani Afrin, dia anak yang pintar," sahut Yasna.
"Kami permisi, sekali lagi terima kasih Bu, assalamualaikum," pamit Emran
"waalaikumsalam," sahut Yasna.
Dikejauhan Afrin melambaikan tangannya pada Yasna yang disambut lambaian juga oleh Yasna.
'Ya Allah, nikmatmu memang sungguh luar biasa,' batin Yasna.
.
.
.
.