Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Demon High School adalah salah satu sekolah SMA paling terkenal di Kota G, namun bukan karena prestasinya, melainkan citranya yang kelam. Sekolah ini dikenal sebagai sarang para preman, petarung jalanan, dan anak-anak yang telah diabaikan atau dibuang oleh keluarga mereka.
Terkenal sebagai "sekolah petarung," Demon High School menjadi tempat siswa bermasalah yang sulit diatur. Mereka tidak membully siswa yang lemah atau berbeda, namun ada satu pengecualian: para penghianat. Di sekolah ini, penghianat dianggap sebagai aib yang harus diberi pelajaran hingga sekarat.
Begitu melangkah ke halaman sekolah ini, sambutan bertuliskan "Welcome to Death" menyapa setiap siswa baru. Tulisan ini diiringi dengan aura intimidasi yang begitu kuat, seolah memberikan peringatan tentang apa yang menunggu mereka di dalam. Lingkungan sekolah dihiasi coretan graffiti yang membentuk berbagai lukisan, serta rongsokan besi yang berserakan di sudut-sudut halaman, menambah kesan liar dan tidak teratur.
Sekolah ini memiliki dua gedung utama dengan empat lantai, yang dihubungkan oleh jembatan berbentuk koridor:
Gedung A
Lantai 1: Aula serbaguna yang mampu menampung hingga seribu orang.
Lantai 2-4: Ruang kelas reguler untuk siswa kelas X hingga XII, lengkap dengan kantin.
Gedung B
Lantai 1: Koperasi yang menyerupai supermarket kecil, menjual berbagai perlengkapan sekolah seperti alat tulis, seragam, dan bekal.
Lantai 2: Ruang kesehatan, ruang guru, ruang kepala sekolah, perpustakaan, dan laboratorium komputer.
Lantai 3: Lapangan olahraga indoor untuk berbagai aktivitas fisik.
Lantai 4: Arena khusus untuk latihan pertarungan dan sparing.
Meskipun dikhususkan untuk siswa bermasalah, Demon High School juga menerima siswa perempuan. Namun, jumlah mereka sangat sedikit, hanya segelintir yang berani menempuh pendidikan di sini. Kebanyakan dari mereka adalah gadis-gadis yang ditinggalkan atau tidak diinginkan oleh keluarga mereka.
Tidak seperti sekolah lain, Demon High School tidak memiliki sistem OSIS. Sebagai gantinya, sekolah ini memilih pemimpin berdasarkan kandidat terkuat dari setiap tingkat kelas. Setiap tingkat memiliki lima kandidat yang harus bersaing selama tiga bulan berturut-turut untuk membuktikan siapa yang layak menjadi pemimpin.
Dengan sistem yang unik dan keras ini, Demon High School mendapat reputasi buruk di mata masyarakat. Bahkan, siswa yang pernah bersekolah di sini sering kali dihindari sebagai calon pasangan hidup karena citra buruk sekolah tersebut.
Namun, di balik reputasinya, sekolah ini adalah tempat bagi mereka yang ingin membuktikan diri, bertahan hidup, dan belajar bagaimana melawan kerasnya dunia tanpa hukum di Kota G.
🐾
Seorang pria paruh baya berdiri di podium dengan wajah datar, memberi pidato sambutan untuk para siswa baru Demon High School. Suasana yang tadinya penuh antisipasi kini mulai berubah menjadi bosan. Para siswa berdiri dengan malas, beberapa di antaranya bahkan tertangkap menguap. Ini sudah kali ketiga pria itu mengulang pidatonya yang sama persis dalam waktu satu jam.
"Sekian pidato dari saya, dan terima kasih," tutupnya singkat sebelum meninggalkan podium tanpa ekspresi, seolah tak peduli dengan reaksi audiensnya.
Sejenak suasana menjadi hening, tetapi tidak berlangsung lama. Salah satu siswa mendadak mendorong siswa lain dengan sengaja, memicu perhatian banyak orang.
“Hei, apa-apaan kau, sialan!” seru pemuda yang didorong tadi, wajahnya memerah menahan amarah. Dia balas mendorong pemuda itu, seorang pria dengan rambut mohawk kuning menyala.
Pemuda mohawk itu menyeringai pongah, kembali mendorongnya lebih keras. “Apa kau mau ribut, hah?” katanya dengan nada mengejek.
Buagh!
Bogem mentah melayang ke pipi pemuda mohawk, membuatnya tersentak. Dengan kasar, dia meludah ke tanah sambil menyeringai lebih lebar.
“Pukulanmu boleh juga, bangsat!” balasnya, langsung melayangkan pukulan ke arah lawannya.
Dalam hitungan detik, baku hantam pecah di antara keduanya. Namun, alih-alih melerai, siswa lain justru ikut tersulut emosi. Tidak ada yang berpikir dua kali untuk ikut terlibat. Suasana yang awalnya hening kini berubah menjadi arena pertempuran massal.
Para guru yang berdiri di lantai tiga hanya menonton pemandangan itu dari jauh. Beberapa dari mereka bahkan tampak santai menikmati rokok atau bercanda dengan para senior yang hadir untuk mengamati calon siswa baru mereka. Tidak satu pun dari mereka berniat melerai.
Di tengah kericuhan, seorang gadis dengan rambut ash blue menarik perhatian banyak orang. Dia tampak santai menghindari setiap serangan yang datang padanya. Dengan gerakan luwes, dia membalas pukulan dengan kecepatan dan akurasi yang membuat lawan-lawannya tersungkur satu per satu.
“Sepertinya kali ini kita punya kandidat perempuan untuk posisi terkuat di kelas sepuluh,” ucap salah satu guru pria sambil menyeringai penuh minat.
“Aku dengar dia anak yang suka membuat rusuh,” gumam guru lain sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap. “Jarang sekali anak dari orang berpengaruh memilih sekolah ini.”
“Biasanya, mereka yang datang ke sini adalah anak-anak yang sudah dibuang keluarganya,” tambah seorang guru perempuan dengan nada sarkastis.
“Aku ingin tahu, seberapa jauh dia bisa bertahan di sini,” ujar guru pertama dengan nada dingin, pandangannya masih terpaku pada gadis itu yang terus bertarung tanpa sedikit pun terlihat gentar.
Sementara itu, kericuhan di lapangan terus memuncak. Demon High School kembali membuktikan reputasinya sebagai sekolah para petarung, tempat hanya yang terkuat yang bertahan.
🐾
Reina berdiri di barisan siswa baru dengan pandangan malas. Dia hanya menatap ajang baku hantam yang berlangsung di aula dengan santai, bahkan sempat menguap lebar. Gadis itu tidak berminat mengikuti baku hantam.
Alih-alih berpartisipasi, dia memutuskan keluar dari barisan dengan niat menikmati cemilannya. Namun, tiba-tiba seseorang mendorongnya dengan keras hingga hampir tersungkur.
“Hei, apa-apaan kau?” kesal Reina sambil menoleh, dia mendapati sekelompok gadis yang memandangnya dengan senyum mengejek.
“Apa? Mau apa kalian?” tanya Reina dengan nada malas, yang justru memancing provokasi.
“Beraninya kau bicara seperti itu, hah?!” bentak salah satu gadis, langsung melayangkan tamparan ke wajah Reina. Namun, sebelum tamparan itu mengenai wajahnya, Reina dengan sigap menangkap tangan gadis itu dan memelintirnya keras.
“Aduh! Lepaskan!” teriak gadis itu kesakitan, tetapi Reina hanya mendengus.
“Lain kali, pikir dulu sebelum bertindak,” ujarnya dingin sambil menghempaskan tubuh gadis itu ke lantai. Melihat temannya tersungkur, beberapa teman gadis itu mencoba menyerang, Reina melayangkan beberapa tendangan kuat, membuat mereka tersungkur satu per satu.
Keributan itu menarik perhatian beberapa siswa lain, termasuk beberapa laki-laki yang mendekat untuk melihat apa yang terjadi. Namun, Reina tetap tenang. Bahkan ketika mereka ikut menyerang, dia menghadapi mereka dengan gerakan yang efisien, meski tampak malas-malasan.
Setelah setengah jam, aula menjadi sunyi. Puluhan siswa tergeletak tak berdaya di lantai. Hanya lima orang yang masih bertahan, meski dengan wajah babak belur. Reina, satu-satunya perempuan di antara mereka, hanya memiliki sedikit lebam di wajahnya.
Reina pun resmi menjadi kandidat nomor sepuluh terkuat, mencatatkan dirinya sebagai satu-satunya perempuan dalam daftar kandidat di sekolah itu. Gaya bertarungnya yang santai namun mematikan—mengandalkan tendangan kuat—mampu menumbangkan tiga puluh siswa seorang diri.
Di posisi nomor lima berdiri Petra, seorang pemuda dengan luka robek di wajahnya. Dia berhasil menumbangkan lima puluh siswa baru seorang diri, membuatnya menonjol di antara yang lain.
Setelah suasana sedikit tenang, seorang pria bertubuh besar dengan kepala plontos dan tubuh penuh bekas luka naik ke panggung. Dia menyeringai lebar, menunjukkan gigi-giginya yang sedikit berantakan.
“Selamat datang di Demon High School, para bedebah sekalian!” serunya lantang. “Nama gue Sanca, pemimpin siswa di sekolah ini. Hari ini selesai! Pulang sana, obati luka-luka kalian, dan bersiaplah untuk mimpi buruk yang lebih besar besok!”
Mendengar itu, para siswa baru segera berhamburan keluar aula. Sebagian besar berjalan tertatih, membantu teman-teman mereka yang terluka parah. Reina hanya menghela napas, mengambil tasnya, dan melangkah keluar dengan santai. Baginya, ini baru awal.