Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
“Ibu, muka aku jadi panas gara-gara Bening.” Kadara memeluk Agustina dari samping.
Ke 5 anggota keluarga di rumah itu pun sedang berkumpul di ruang keluarga, gara-gara tragedi sambal yang hijrah ke muka.
“Bening, kenapa kamu lakukan itu pada Mbak Dara, Nak? Kan kasih Mbak Dara mukanya jadi panas,” ujar Agustina.
Kelana hanya tersenyum miring melihat kelakuan manja Kadara pada ibunya. Sejak berpacaran, istri ke duanya itu memang selalu manja pada Agustina, seperti manja seorang anak pada ibunya. Dan itulah yang membuat Agustina semakin sayang pada Kadara.
Namun Kelana masih bingung dengan keputusan Kadara yang mau mempertahankan rumah tangganya. Ia tak melihat kekecewaan atau pun penyesalan pada matanya, sangat jauh berbeda dengan ekpektasi Kelana yang mengira Kadara akan marah, menangis, atau minta cerai.
“Mbak Dara udah hina ibu saya, Bu. Apa saya nggak boleh marah?” tanya Bening.
“Apa kamu menghina Bu Ajeng lagi, Dara?” tanya Agustina.
“Tapi Bu Ajeng memang babu kan, Bu? Aku nggak salah ngomong. Aku udah mau terima dijadikan istri ke dua, memangnya aku nggak boleh menumpahkan kekesalanku juga?” sahut Kadara.
“Ya tapi jangan pakai cara menghina, Dara. Ibu nggak suka anak ibu jadi tukang menghina. Mulai sekarang kamu dan Bening itu sama-sama anak ibu. Kamu harus menghargai Bening sebagai adik kamu, Bening juga harus menghargai Dara sebagai Mbaknya Bening. Dan Dara harus menghargai Bu Ajeng seperti Dara menghargai ibu, ya?” pinta Agustina.
“Oke.” Kadara melepaskan pelukan.
“Mulai sekarang Dara dan Bening harus akur sebagai istrinya Kelana. Ibu juga nggak nyangka bakal punya menantu sekaligus dua, tapi kita harus tetap melanjutkan hidup kita. Dara harus ihklas berbagi suami untuk Bening, Begitu pun Bening yang harus ihklas berbagi suami untuk Dara. Ibu mau rumah kita ini di warnai dengan kerukunan. Bisa?” Agustina menatap Bening dan Kadara secara bergantian untuk meminta jawaban.
“Bisa,” jawab Bening.
“Oke,” jawab Kadara.
“Bagus, kalau gitu kan ibu jadi sayang sama mantu-mantu ibu. Pokonya mulai hari ini kita harus hidup harmonis dan rukun. Ibu juga minta sama Kelana untuk adil pada Bening dan Kadara.”
Hening.
Kelana tak menjawab ucapan Agustina. Hati dan otaknya sedang sibuk mencari jawaban kenapa Kadara mau menerima semuanya begitu saja.
“ASSALAMUALAIKUM, PAK KELANA!” teriak ramai orang di depan sana.
“Ada apa di depan? Kenapa ramai sekali?” gumam Agustina.
“Biar saya yang lihat, Bu.” Ajeng hendak berdiri, namun tangan Kelana memberi syarat untuk berhenti.
“Biar saya yang lihat, Bu Ajeng istirahat saja. Mungkin itu rekan kantor saya.” Kelana pun bangkit meninggalkan semuanya.
Dugaan Kelana benar adanya. Pria itu melihat semua staff kantor yang datang ke rumahnya setelah pintu terbuka.
“Selamat menempuh hidup baru, Pak Kelana.”
“Maaf kita baru bisa datang, Pak Manager.”
“Kita semua baru pulang lembur.”
“Tadi kami udah ke lokasi pernikahannya Pak Kelana, tapi resepsinya udah bubar.”
“Iya, Pak. Makanya kami menyempatkan waktu untuk datang ke rumah Bapak.”
Berbagai ucapan dari staf kantor itu membuat Kelana tersenyum. Ia senang karena karyawan yang jumlahnya lebih dari 20 orang itu masih mau menyempatkan waktu untuk memberi selamat.
“Terima kasih kalian semua sudah mau datang ke sini. Silahkan masuk.” Kelana membuka pintu lebar-lebar, lantas bersalaman dengan semua tamunya.
“Terima kasih, Pak.”
Semua karyawan yang rata-rata membawa kado di tangannya itu pun masuk ke rumah Kelana, lantas duduk dengan mimik bahagia.
“Akhirnya Bapak manager kita udah nggak perjaka lagi, guys.”
“Iya, nih. Nggak nyangka banget bisa nemenin Pak Kelana sampai berumah tangga.”
“By the way Mbak Daranya mana, Pak?”
Berbagai ucapan dari berbeda orang itu pun membuat Kelana bingung mau menjawab yang mana. Tapi semua staff kantor itu sudah kenal dengan Kadara, karena Kelana sering membawa Kadara ke acara-acara kantor.
“Iya, Dara mana, Kelana?” tanya Adipati -- sahabat Kelana dari jaman kuliah, sampai sama-sama melamar pekerjaan di perusahaan yang sama dengan jabatan sama-sama manager juga. Bedanya hanya di Adipati yang menjabat sebagai Manager compliance, sedangkan Kelana sebagai Manager keuangan.
“Dara ada di dalam,” sahut Kelana.
“HAI, GUYS!” sapa Kadara yang baru keluar.
“Nah, itu Mbak Dara.”
“Makin cantik aja.”
“Selamat atas pernikahannya dengan Pak Kelana ya, Mbak.”
Semua Staff itu berhamburan memberi selamat dengan berjabat tangan, sedangkan Kelana tampak malas melihat Kadara hingga memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan.
“Terima kasih karena kalian semua sudah mau datang. Silahkan duduk dulu,” titah Kadara.
“Baik, Mbak.”
Kadara ikut duduk di hadapan semua tamu Kelana, namun netranya menilik kado-kado yang para staff itu bawa. “Kalian bawa apa?”
“Ini kado untuk kamu,” sahut Adipati.
“Iya, Mbak. Maaf kami cuma bisa bawa kado,” jawab staf lain.
“Tapi ngomong-ngomong Pak Kelana mana?” Semua staf itu baru sadar atas hilangnya Kelana.
“Saya di sini.” Kelana keluar dengan membawa Bening yang digenggam tangannya.
“Waaaaah.”
Mata semua staf itu tertuju pada Bening yang wajah dan tubuhnya sangat sempurna. Bahkan Kelana tampak serasi saat berdiri di samping Bening karena tinggi mereka hampir setara.
“Dia siapa, Kelana?” tanya Adipati.
“Perkenalkan, ini Bening. Istri saya,” sahut Kelana.
“ISTRI?” semua staff itu terkejut.
“Istri kamu Kadara atau yang itu?” tanya Adipati.
“Dua-duanya.” Jawaban Kelana membuat semua staf itu shick shack shock.
“J-jadi Pak Kelana punya istri dua?”
“Ya, Kadara hanya istri ke dua saya, sedangkan Bening istri pertamanya saya.”
**
**
**
“Wah, banyak banget kadonya.” Kadara tampak bahagia memandang tumpukan kado dari staf-staf yang baru saja pulang.
“Bagi dua sama Bening,” titah Kelana.
“Bagi dua?” Raut Kadara langsung berubah.
“Iya, Dara. Mau bagaimana pun kado ini juga ada haknya Bening,” sahut Agustina.
“Jadi aku boleh dapet kado juga?” Bening tampak ceria.
“Kamu juga istrinya Mas Kelana, Bening. Kamu berhak dapat juga,” sahut Ajeng.
“Jadi aku harus bagi dua juga?” Kadara memicing pada Bening.
“Nggak papa kalau kamu nggak mau bagi-bagi sama Bening,” sahut Kelana. “Nanti saya belikan kado spesial untuk kamu aja ya, Bening,” sambungnya dengan nada dipertegas.
“Eh eh eh, apa-apaan ini? Kamu nggak boleh kasih kado spesial untuk Bening, Mas!” larang Kadara.
“Ya makanya kadonya bagi Bening juga.”
“Oke.” Kadara membagi dua kado-kado itu sama rata. “Itu untuk kamu, Bening.”
“Asyik!” Bening menghampiri Kadara yang sedang duduk di lantai itu, lantas mengambil kado-kado bagiannya.
“Tapi kamu harus ingat, Bening. Walaupun saya hanya istri ke dua, tapi tetap saya yang pertama untuk Mas Kelana karena kami sudah pacaran sejak lama. Tolong sadar diri, kamu itu hanya istri siri,” ujar Kadara.
“Saya nggak peduli sama itu semua, Mbak,” jawab Bening yang sedang antusias membuka kadonya.
“Ya tapi tetep aja posisi kamu itu nggak ada apa-apanya dibanding saya. Coba lihat ini –“ Kadara menunjukkan cincin berlian yang melekat di jari manisnya. “Mas Kelana aja sampe beliin aku cincin berlian, kamu nggak punya kan?” Kadara melihat jari manis Bening yang kosong. “Itu artinya saya lebih spesial dari kamu.”
“Om Kelana kasih saya cincin juga kok, Mbak.” Bening menatap wanita di hadapannya, karena mulai gemas pada Kadara yang banyak bicara.
“Berlian?”
“Cincin emas,” sahut Bening.
“Ch, cuma emas aja belagu. Mas Kelana kasih saya berlian, itu artinya saya lebih berharga.”
“Oke, saya memang nggak dikasih cincin berlian sama om Kelana, tapi saya udah dikasih liat burungnya om Kelana. Mbak Dara pernah pengang burungnya om Kelana juga, nggak?”
Pertanyaan polos Bening membuat Kelana, Agustina, dan Ajeng menganga. Kelana pun tampak panik karena malu pada ibu dan mertuanya.
“Iya kan, om? Om Kelana udah izinin saya buat pegang burungnya om, kan? Itu artinya saya spesial juga dibanding cincin berlian,” ujar Bening.
“Pegang burung?” Kadara terkejut. “Kamu segampang itu kasih liat burung kamu ke Bening, Mas?”
“Duh, kok jadi debat masalah burung,” gumam Ajeng.
“Kadara, ibu minta maaf karena belum sempat cerita. Sebenarnya Kelana mau menikahi Bening itu karena Kelana udah menodai Bening sebelum menikah. Jadi wajar kalau Bening pegang-pegang burungnya Kelana,” sahut Agustina.
“Menodai sebelum menikah?” Kadara semakin terkejut.
“Jadi kamu udah nodain Bening duluan, Mas? Kamu mau sentuh Bening, sedangkan nggak pernah mau sentuh aku?”
Kelana tersenyum miring. “Liat, Bu. Dia sudah ngaku sendiri, aku memang nggak pernah mau sentuh dia.”