NovelToon NovelToon
Rahim Pengganti Untuk Kakakku

Rahim Pengganti Untuk Kakakku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Pengganti / Cinta Paksa / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:9.9k
Nilai: 5
Nama Author: kimmysan_

"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.

Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.

Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.

"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hamil?

Pagi-pagi sekali aku berangkat ke rumah Ayah Irfan. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri san menepi dari rumah Niklas. Toh, Niklas juga tak pulang sejak pertengkaran kami malam itu. Perdebatan yang tidak berujung baik maupun buruk. Semuanya menggantung begitu saja.

Mobil Niklas pagi ini tak kelihatan di depan rumah. Bahkan ruang makan pun sepi. Saat aku pergi ke ruang kerja—sekaligus merangkap kamar tidur—Niklas tak ada di sana. Semuanya sepi seketika.

Aku baru saja tiba di rumah Ayah Irfan. Kedatanganku membuatnya terkejut. Karena aku tak pernah mengatakan akan datang.

"Ada apa, San?" tanya ayahku dengan panik. Dia segera menyudahi kegiatannya di halaman depan. Sedang membersihkan rumput liar yang mulai tumbuh tinggi di tembok pembatas rumah. "Mana Niklas? Kalian nggak datang bersama?"

"Ayah, aku akan menginap beberapa hari di sini."

"Tsania, tapi bagaimana dengan suami kamu? Apa Niklas mengetahuinya? Kalau dia tidak tau, Ayah tidak akan mengizinkannya."

"Apa sekarang Ayah mengusirku?" Aku menatap Ayah Irfan dengan tatapan sendu.

Pria yang sudah kuanggap seperti ayah sendiri, pun menghela napas. Mungkin mengerti sekarang aku sedang kacau, dia mendekat dan memelukku selama sekian detik. Aku hanya membalas pelukannya dengan lesu.

"Kalau ada masalah, selesaikan, Tsania. Ayah nggak suka kamu kabur seperti ini," kata Ayah Irfan.

"Dari dulu aku selalu kabur, Ayah. Aku kabur dari Niklas berkali-kali. Saat aku memutus hubungan kami, saat dia meminta penjelasan, saat dia memprotes keputusanku, saat aku memintanya menikahi Elma, dan ketika aku sengaja membawa pria lain untuk membuatnya membenciku. Aku selalu kabur dan berbohong padanya dan pada diriku sendiri.

"Sekarang aku nggak heran kenapa Niklas sangat membenciku. Kami kembali bersama, tapi bukan seperti dulu. Masa-masa itu sudah hilang, tak bisa kembali. Aku sangat pengecut menghadapi Niklas, Ayah. Aku menyakitinya selama ini. Aku hanya ... aku hanya melukainya."

"San, katakan padanya kalau kamu terpaksa," kata Ayah Irfan.

Ah, seandainya semudah itu. Walaupun aku mengatakannya, itu tak akan membuat Niklas menghilangkan rasa bencinya dengan cepat. Dia sudah terlanjur membenciku, bukan?

Ayah Irfan melepas pelukan kami. Kedua tangannya meraih bahuku. "Istirahat dan tenangkan pikiranmu. Maaf, Tsania, Ayah nggak bisa mencegah keinginan mendiang ibu kamu. Ayah nggak bisa menolong kamu dan Niklas waktu itu. Walaupun Ayah sangat ingin kamulah yang bersama Niklas sejak dulu."

"Kenapa Ayah berkata begitu? Elma adalah anak kandung Ayah dan bukankah seharusnya Ayah memberikan segalanya untuk Elma?"

"Jangan bicara seperti itu, San." Ayah Irfan menatapku lekat-lekat. "Ketika Ayah membawa kamu dari panti asuhan, sejak itu pula Ayah menganggap kamu putri kandung. Ayah berjanji akan bersikap adil pada kamu dan Elma. Maaf, Tsania, tapi Ayah bahkan nggak bisa mencegah ibumu dulu."

Aku menggeleng sesaat. Untuk apa merasa menyesal atas hal yang sudah terjadi. Mereka mau menerima dan merawat aku sampai dewasa begini, pun sudah sangat lebih dari cukup. Aku menyayangi mereka sebagai orang tua dan keluargaku.

Lantas Ayah Irfan memintaku masuk ke kamar. Aku butuh istirahat, katanya. Aku tak boleh berpikir pendek, jadi dia memintaku untuk tetap berbicara dengan Niklas. Tak harus sekarang, tetapi setelah aku berhasil menatap pikiran dan perasaan.

Bisakah? Maukah Niklas bicara denganku lagi? Apa dia akan mencari aku atau tidak? Atau justru dia tak akan peduli dengan keberadaanku?

———oOo———

Sore ini aku merasa sedikit tak enak badan. Aku hanya berbaring di tempat tidur, merasakan kepalaku sedikit diserang pusing. Entah bagaimana menjelaskannya, tetapi aku merasa agak lelah, padahal tidak melakukan pekerjaan yang cukup berat. Apalagi hari ini aku izin ke sekolah.

"San, ayo bangun! Kamu belum makan dari tadi siang," kata Ayah Irfan yang terdengar dari balik pintu kamar.

"Iya, sebentar. Aku akan ke kamar mandi dulu."

Suara Ayah Irfan kembali menghilang. Aku bangkit dari kasur, masih merasakan pusing yang mendera. Kepalaku mendadak pening. Rasa mual menghampiriku secepat mungkin. Aku bergerak cepat ke kamar mandi, berusaha memuntahkan isi perutku, tetapi tak ada apa pun yang keluar.

"Apa karena aku belum makan, ya?" gumamku.

Merasa agak baikan, aku membasuh wajah dan keluar dari kamar. Benar, aku butuh asupan makanan. Perutku terasa agak kosong karena sejak tadi siang belum menyantap makanan sedikit pun.

Kulihat Ayah Irfan sedang di meja makan sambil menata makanan untukku. Sejak ibu meninggal, Ayah Irfan terbiasa melakukan semuanya sendiri. Meski aku ada, tetapi ayahku selalu berusaha mandiri. Elma menikah, jadi aku tinggal berdua dengannya. Sekarang Elma sudah pergi dan aku menikah, ikut dengan suamiku. Ayah benar-benar sendirian. Beliau tak mau menggaji pembantu karena merasa masih mampu melakukannya sendiri.

"Kamu pucat sekali, San. Apa kamu sakit?" tanya Ayah Irfan saat aku datang. Dia bahkan menempelkan punggung tangannya di dahiku. "Tapi tubuhmu nggak hangat."

"Aku baik-baik saja. Mungkin karena belum makan."

"Apa masalahmu dan Niklas seberat itu? Sampai-sampai kamu seperti ini? Mau Ayah saja yang bicara dengannya?"

Aku menggeleng seraya menarik kursi. "Nggak perlu, Ayah. Nanti kalau sudah agak tenang, aku akan bicara dengannya."

"Tapi, San ...."

Kalimat Ayah Irfan tertahan saat aku menutup mulut. Tak tahan oleh aroma masakan di depanku. Padahal aku selalu suka masakan Ayah Irfan. Aku beranjak dari kursi menuju kamar mandi luar yang dekat dengan dapur. Ayah mengekor dari belakang.

"San, kamu benar-benar nggak apa-apa?" tanya ayahku.

Aku mengangguk. "Apa maag-ku, ya? Cuma mual sedikit, Ayah."

"Mau ke dokter saja? Ke klinik depan."

Lagi-lagi aku menggeleng. Ini tidak terlalu buruk, kurasa. Aku masih bisa menahannya. Setelah merasa baikan, aku keluar dari kamar mandi. Wajah panik Ayah Irfan menyapaku. Senyum tipis terlukis di bibirku yang terasa agak kering.

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja," tukasku.

Ayah ikut tersenyum tipis. "Kamu mual-mual saat melihat lauknya. Mau Ayah buatkan bubur saja? Biar perutmu enakan."

"Aku akan merepotkan Ayah."

"Nggak, Tsania." Ayah Irfan menggeleng selama sekian detik. "Ayah senang memasak untukmu. Tunggu Ayah di sofa. Ambil minyak angin di laci obat-obatan."

Perintah Ayah Irfan hanya aku balas dengan anggukan. Aku berbaring di sofa setelah mendapatkan sebotol kecil minyak angin. Aromanya yang khas sedikit menenangkan. Namun, gejolak mual dalam diriku belum juga ingin menghilang.

Tiba-tiba Ayah Irfan muncul dari dapur sambil menenteng panci kecil. Kedatangannya membuatku membulatkan mata. Aku memandanginya dengan heran.

"San, Ayah memang hanya asal berucap, sih, tapi apa jangan-jangan kamu ... hamil?"

"Apa?" Aku seketika bangkit dari posisi dan terduduk lesu. "B-bukan, sepertinya bukan."

Ayah menggaruk kepala bagian belakangnya. Dia terlihat sedikit kikuk. "Uh, ibumu nggak ada di sini dan cerewet meminta kamu memeriksa ke dokter. Bukankah Julia mengajakmu ke dokter kandungan? Pergilah besok, buat janji dengannya."

"Tapi, Ayah ... aku nggak hamil."

"Kita nggak tau apa yang terjadi, Tsania. Kamu memiliki suami dan kalau kamu hamil, ini berita yang baik, membahagiakan untuk kita."

Aku hendak menjawab, tetapi suara mesin mobil yang mendekat mengalihkan atensi kami. Degup jantungku berdetak lebih kencang. Tepat saat menyaksikan Jeep Niklas berhenti di halaman depan.

"Ayah!" sergahku saat Ayah hendak keluar. Aku menahan lengannya. "Jangan ... jangan katakan apa pun padanya. Kumohon."

1
Rahayu Kusuma dewi
dingin " nanti cinta loh/Drool/
Bunga🌞
Luar biasa
Nur Zia Aini
munafik bngt klo mau pisah ya pisah ribet,, udh tau dya cuek gtu
Nur Zia Aini
hrs nya ayah Irfan cerita sm Niklas klk tsania trpaksa biar gk jd slh phm niklasnya tsania jg gk di bnci trus2an,, ngapain pke mnta ijin ke tsania ngomong sm Niklas,, udh tau tsania trsiksa oon bngt jd ayah jg walaupun bkn ayh kndung
kimmy-san: wkwk sabar, nanti jg ngomong😂
total 1 replies
Surinten wardana
Ceritanya bagus penulisan katanya juga semangat thor
kimmy-san: terima kasih🤗
total 1 replies
Surinten wardana
Semangat thor
GRL VJAESUKE
lanjutt
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!