Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Tamu Tak Diundang di Warung
"Berapa harga diri kamu sekarang, Maya? Kayaknya setelah menang lomba kemarin, tarif kamu naik ya?"
Suara cempreng yang sangat tidak asing itu membuat gerakan tangan Maya yang sedang mengelap meja kayu terhenti. Maya menarik napas panjang, menenangkan debar jantungnya yang mendadak panas.
Di ambang pintu warung, Siska berdiri dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya. Dia memakai gaun selutut warna krem yang harganya pasti cukup untuk membayar cicilan bank warung ini selama setahun.
"Lagi nggak terima pesanan cuci piring, Sis. Kalau mau makan, duduk saja. Menunya ada di papan," jawab Maya tanpa menoleh. Dia melanjutkan kegiatannya, menggosok noda lemak membandel di pojok meja dengan tenaga ekstra.
Siska melangkah masuk, suara sepatu hak tingginya beradu dengan lantai semen warung yang sudah mulai bersih. Dia mengibaskan tangan di depan hidung, seolah-olah udara di warung itu mengandung racun. "Duh, baunya tetap saja bau bawang ya. Biar dikasih cat baru juga, warung kampung ya tetap warung kampung."
Maya akhirnya menegakkan punggung, menaruh kain lapnya di atas meja, dan menatap Siska tajam. "Kalau memang alergi bau bawang, ngapain repot-repot masuk ke sini? Mau pamer perhiasan lagi?"
Siska tidak menjawab. Dia mengeluarkan selembar map kulit berwarna emas dari tas bermereknya dan mencampakkannya ke atas meja yang baru saja Maya lap. "Aku ke sini buat urusan bisnis. Kamu lihat itu. Itu surat kontrak katering buat pernikahanku sama Adit minggu depan."
Maya tertegun sejenak. Dia menatap map emas itu dengan dahi berkerut. "Kamu nggak salah alamat? Bukannya Pratama Food itu perusahaan katering besar? Ngapain nyari warung sekecil ini?"
"Nggak usah sok rendah hati deh, May. Kita berdua tahu kalau seluruh kabupaten lagi ngomongin Nasi Rempah Jati kamu itu. Aku nggak mau di pesta pernikahanku nanti tamu-tamu malah nanya kenapa makanannya kalah enak sama masakan tukang warung pinggir jalan," Siska melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan mata yang penuh dengan ambisi dan dengki. "Lagian, aku mau kasih kamu kesempatan. Aku bayar kamu tiga kali lipat dari harga standar kompetisi kemarin."
"Tiga kali lipat?" Maya menaikkan sebelah alisnya. "Tumben kamu jadi dermawan."
"Tentu ada syaratnya," Siska menyeringai, sebuah senyum yang membuat bulu kuduk Maya meremang. "Kamu sendiri yang harus masak di lokasi. Dan kamu, dengan seragam pelayan katering, harus melayani tamu-tamu VIP secara langsung. Termasuk aku dan Adit di pelaminan. Aku mau semua orang lihat kalau pemenang festival itu sebenarnya cuma koki carteran yang bisa aku beli kapan saja."
Maya mengepalkan tangannya di bawah meja. Penghinaan ini begitu terang-terangan. Siska ingin membelinya hanya untuk dijadikan tontonan, untuk menginjak-injak harga dirinya di depan semua orang yang mengenalnya.
"Jadi kamu mau aku jadi pelayan di pernikahan mantan tunanganku sendiri? Begitu?" tanya Maya dengan suara yang tetap tenang meski hatinya bergemuruh.
"Tepat sekali! Anggap saja itu panggung terakhir kamu sebelum aku benar-benar habisin bisnis kamu di sini. Gimana? Uangnya banyak lho, May. Bisa buat bayar semua utang ibumu dan mungkin sisa buat beli baju baru supaya nggak kucel terus kalau ketemu Pak Arlan," Siska tertawa renyah, tawa yang terdengar sangat memuakkan.
"Kenapa kamu terobsesi banget mau mempermalukan aku, Sis? Padahal kamu sudah dapet semuanya. Kamu dapet Adit, kamu punya perusahaan bapakmu, kamu punya segalanya. Kamu kerja juga. Kenapa masih kurang?"
Siska maju selangkah, mencondongkan tubuhnya ke arah Maya. "Karena kamu masih berani berdiri tegak, Maya! Karena kamu masih bisa bikin Arlan melirik kamu! Aku nggak suka ada orang yang aku buang tapi malah makin bersinar. Aku mau kamu tahu tempat kamu yang sebenarnya. Di bawah kakiku."
Maya menatap map emas itu kembali. Pikirannya berputar cepat.
Dia teringat kata-kata Arlan tentang singa dan anjing yang menggonggong. Dia juga teringat pada ibunya yang masih butuh biaya pengobatan jangka panjang.
"Banyak banget duitnya, Sis. Tiga kali lipat ya?" Maya mengambil map itu, membukanya perlahan. Matanya menyapu angka-angka yang tertulis di sana.
Memang gila. Siska benar-benar membuang uang demi egonya.
"Gimana? Silau ya lihat nol-nya?" ejek Siska sambil bersedekap.
"Lumayan. Bisa buat renovasi dapur ini jadi kelas dunia," sahut Maya santai. Dia menaruh kembali map itu ke meja. "Tapi aku punya aturan sendiri kalau mau kerja sama orang kayak kamu."
"Aturan apa? Kamu jangan ngatur aku ya, aku yang bayar!" Siska mulai meradang.
"Tenang saja. Aku nggak bakal minta yang aneh-aneh," Maya mengambil secarik kertas kosong dan pulpen dari laci meja kasir. Dia mulai menulis no rekening dengan cepat. "Pertama, karena reputasi kamu yang suka main curang dan tiba-tiba cancel pesanan atau fitnah orang, aku minta pembayaran lunas seratus persen di depan. Tunai atau transfer sekarang juga."
Siska terbelalak. "Lunas di depan? Kamu gila? Mana ada bisnis katering bayar lunas sebelum acara!"
"Ada. Bisnis katering yang owner-nya tahu kalau kliennya itu ular," balas Maya tanpa ekspresi. "Kalau nggak mau, ya sudah. Silahkan cari katering lain. Tapi ingat, ya, di kabupaten ini nggak ada yang bisa masak Rempah Jati selain aku. Kamu mau pesta kamu dibilang hambar sama tamu-tamu VIP kamu?"
Siska mendesis, giginya bergeletuk. Dia tahu Maya benar. Nama Rempah Jati sudah jadi standar kemewahan baru di wilayah ini sejak kemenangan festival kemarin.
"Oke! Aku bayar sekarang! Dasar mata duitan!" Siska mengeluarkan ponselnya, jemarinya menari dengan kasar di atas layar untuk melakukan transfer bank. "Sudah masuk! Cek sana!"
Maya melihat notifikasi di ponselnya. Angka yang masuk benar-benar fantastis. Cukup untuk membuat warungnya naik kelas dalam semalam.
"Satu lagi," Maya menyodorkan kertas yang baru saja dia tulis lagi. "Tanda tangani ini."
Siska menyambar kertas itu. "Apa lagi ini? Surat pernyataan tidak akan mengganggu warung ibuku lagi? Kamu pikir aku pengganggu?"
"Memang iya, kan? Aku mau pernyataan hitam di atas putih. Kalau kamu, Adit, atau orang suruhan Pratama Food macam Bang Jago, ayam berkokok atau siapapun itu, berani nyentuh warung ini atau ganggu ibuku lagi, uang katering ini hangus dan aku bakal bawa bukti ini ke polisi. Termasuk semua rekaman sabotase dan fitnah di festival kemarin," Maya menatap Siska dengan pandangan yang sangat dominan.
"Kamu berani ngancam aku?" suara Siska meninggi.
"Ini bukan ancaman, Sis. Ini proteksi bisnis. Kamu kan pengusaha, masa nggak tahu soal manajemen risiko?" Maya menyodorkan pulpen dengan ujung jarinya. "Tanda tangan, atau aku balikin uangnya sekarang dan kamu silahkan masak sendiri di hari pernikahanmu."
Siska menatap Maya dengan kebencian yang mendalam. Dia merenggut pulpen itu dan menorehkan tanda tangannya dengan sangat kasar sampai kertasnya nyaris robek. "Sudah! Puas kamu?!"
Maya mengambil kertas itu, meniupnya sebentar agar tintanya kering, lalu melipatnya dengan rapi dan menyimpannya di dalam saku celemeknya.
"Puas banget. Senang bekerja sama denganmu, Siska. Sampai ketemu di hari pernikahanmu. Aku bakal pastikan masakanku punya rasa yang... nggak akan pernah kamu dan Adit lupakan seumur hidup," Maya tersenyum manis, sebuah senyum yang kali ini membuat Siska justru merasa sedikit gemetar.
"Jangan coba-coba macam-macam ya, May! Awas kamu!" Siska segera memakai kembali kacamata hitamnya dan berbalik pergi dengan langkah seribu, seolah-olah dia baru saja sadar kalau dia baru saja masuk ke sarang macan, bukan warung kucing.
Maya menatap kepergian mobil Siska dari jendela warung. Dia menarik napas dalam, memegang saku celemeknya yang berisi surat pernyataan itu.
"Maya? Itu tadi Siska? Dia ngapain ke sini, Nak?" Ibu muncul dari pintu belakang, wajahnya tampak cemas.
Maya menoleh dan tersenyum tenang, mencoba menyembunyikan badai yang ada di kepalanya. "Nggak apa-apa, Bu. Dia cuma mau pesan katering paling mahal di dunia. Dan dia baru saja bayar biaya keamanan warung kita selamanya."