Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Class 320
Bruce menatap Luna dengan senyum kecil yang sulit diartikan. "Bu Evelyn, saya serahkan Luna kepada Anda. Tolong antarkan dia ke... kelas 320."
Nada Bruce terdengar biasa saja, tapi tatapan Bu Evelyn berubah sedikit gugup. Dia melirik Luna, lalu kembali ke Bruce, seperti ingin memastikan dia tidak salah dengar. "Baik pak Bruce" ucapnya pelan, seperti seseorang yang baru saja diminta untuk mengantar seseorang ke sarang naga.
"Luna, sebelum kau pergi. Ini adalah tata tertib sekolah ini, dan bu Evelyn adalah wali kelasmu. Karena kau masuk saat tahun ajaran sudah dimulai, saya harap kau bisa beradaptasi dengan baik. Untuk sementara bertahanlah di kelas 320, nanti jika situasi sudah reda, saya akan membantumu jika kau ingin transfer ke kelas 301" kata Bruce tegas.
"Melihat surat rekomendasi yang kau terima, saya yakin kau lebih dari mampu"
Luna, yang tidak tahu apa-apa tentang reputasi kelas 320, hanya mengangguk polos. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita pergi, Bu Evelyn."
Bu Evelyn tersenyum tipis, sedikit tegang. Dalam hati, dia berdoa agar Luna benar-benar setangguh kelihatannya.
...****************...
Sepanjang perjalanan menuju kelas 320
Luna memandangi lorong-lorong megah Imperial High School, yang dikelilingi oleh kaca-kaca besar dengan pemandangan taman indah. Semua tampak sempurna, sampai mereka mendekati bagian sekolah yang berbeda.
Lantai mulai berubah dari marmer berkilau menjadi ubin biasa. Poster-poster motivasi yang terbingkai rapi di dinding digantikan oleh coretan spidol permanen yang bertuliskan hal-hal seperti "Freedom is our right!" dan "Homework is a scam!"
"Wow," komentar Luna sambil memiringkan kepala. "Desain interior di sini... unik sekali."
Bu Evelyn menghela napas, menahan senyum kecil. "Yah, kelas 320 memang... istimewa."
Saat mereka tiba di depan pintu kelas, Luna mendengar suara gaduh dari dalam. Suara orang tertawa keras, suara meja yang digeser, dan seseorang yang tampaknya sedang memukul-mukul benda logam entah untuk alasan apa.
"Luna," kata Bu Evelyn dengan nada penuh kesabaran. "Kelas ini agak berbeda dari kelas lain di Imperial. Tapi saya yakin, kau bisa menyesuaikan diri."
Luna mengangkat alis. "Seberapa berbeda?"
Sebelum Evelyn bisa menjawab, pintu kelas tiba-tiba terbuka dengan suara BRAK! Seorang siswa dengan rambut acak-acakan dan jaket kulit muncul di ambang pintu, mengunyah permen karet sambil memiringkan kepala ke arah Evelyn dan Luna.
"Halo bu Evelyn, siapa ini?" tanyanya, matanya menatap Luna dari ujung rambut hingga ujung sepatu. "Murid baru?"
Luna melirik ke dalam kelas dan melihat pemandangan yang benar-benar... berwarna.
Di sudut ruangan, seorang siswa sedang tidur di atas meja dengan buku pelajaran sebagai bantal. Di belakang, dua siswa sedang memainkan kartu remi dengan tumpukan uang koin di antara mereka, seperti sedang berjudi. Dan di depan, seorang siswa dengan rambut biru terang sedang mencoba menyeimbangkan penghapus di ujung hidungnya, dengan sorakan dari teman-temannya.
"Jadi... ini kelas 320?" tanya Luna, berusaha menahan senyum.
"Benar," jawab Bu Evelyn dengan suara yang sudah terlalu lelah untuk protes. "Selamat datang."
Luna menghela napas panjang, lalu melangkah masuk. "Baiklah," katanya dengan nada ringan. "Sepertinya ini akan menarik."
Dan saat itu, Luna merasa bahwa hidupnya di Imperial High School baru saja dimulai—dengan gaya yang sangat, sangat unik.
Luna berdiri di depan kelas 320, menatap sekelompok siswa yang tampak seperti pemeran figuran dalam film tentang pemberontakan remaja. Beberapa memandangnya dengan ekspresi datar, beberapa tampak tidak peduli, sementara lainnya sibuk dengan urusan masing-masing, seperti mencoba membuat menara dari penghapus atau menulis sesuatu yang jelas bukan catatan pelajaran di dinding.
"Baiklah," Luna menghela napas dan tersenyum kecil. "Namaku Luna Harrelson."
Ruangan tetap hening, kecuali suara seseorang yang menarik kursinya dengan keras di sudut belakang.
"Aku baru pindah ke sini, dan... ya, aku berharap bisa bekerja sama dengan kalian semua," lanjutnya dengan sedikit formalitas.
Salah satu siswa, seorang anak laki-laki kurus dengan rambut yang menutupi setengah wajahnya, mendengus pelan. "Semangat sekali. Kau yakin ini tempat yang tepat untuk itu?"
Tawa kecil terdengar dari belakang.
Luna menatap siswa itu dengan alis terangkat. "Yah, semangat atau tidak, aku tetap di sini. Jadi, mari kita coba berteman saja, ya?"
Tidak ada yang menjawab, tapi setidaknya tidak ada yang melempar sesuatu ke arahnya, yang Luna anggap sebagai awal yang cukup baik.
Dia melihat ke sekeliling ruangan, mencari tempat duduk. Pilihannya terbatas: sebelah seorang anak dengan headphone besar yang tampaknya tenggelam dalam dunia musiknya sendiri, di dekat siswa yang sedang menggambar sesuatu yang mencurigakan di meja, atau di samping seorang gadis bertubuh gendut yang duduk di dekat jendela, dengan wajah sedikit gloomy.
"Aku akan duduk di sana," kata Luna lebih kepada dirinya sendiri, sambil berjalan menuju kursi di sebelah gadis itu.
Gadis itu mengangkat sedikit pandangannya saat Luna mendekat, lalu kembali menunduk, bermain-main dengan ujung sweaternya.
"Hai," sapa Luna dengan nada ramah, menarik kursinya.
"Hai," jawab gadis itu pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara gaduh di ruangan.
"Aku Luna," katanya sambil mengulurkan tangan, mencoba mencairkan suasana.
Gadis itu melirik tangan Luna, ragu-ragu, sebelum akhirnya menjabatnya dengan lemah. "Aku Freya."
"Senang bertemu denganmu, Freya," kata Luna, tersenyum lebar.
Freya hanya mengangguk kecil, lalu kembali menunduk, tapi Luna bisa melihat sedikit rona merah di pipinya.
"Jadi, apa kau selalu duduk di sini, atau ini tempat khusus untuk orang-orang yang baru datang?" Luna bertanya dengan nada bercanda, mencoba membuat percakapan.
Freya akhirnya tersenyum kecil, sangat kecil, tapi cukup untuk memberi Luna harapan bahwa dia tidak sepenuhnya gagal.
"Kalau kau butuh panduan soal kelas ini, aku bisa bantu," kata Freya pelan.
"Hebat," jawab Luna sambil duduk tegak. "Karena aku rasa aku akan membutuhkannya."
Dan dengan itu, Luna merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, dia telah membuat satu koneksi di lautan kekacauan ini.
...****************...
Bel istirahat akhirnya berbunyi dengan suara yang lebih keras dari biasanya, seolah ikut bersorak bersama para murid yang langsung melompat keluar dari kelas dengan kegirangan. Luna, yang masih baru dan sedikit bingung harus berbuat apa, hanya bisa memandang para siswa yang berlarian ke sana kemari. Sementara Freya, yang duduk di sebelahnya, tampaknya juga lebih tertarik dengan buku catatan yang entah apa isinya daripada ikut serta dalam kegembiraan istirahat.
“Freya, kau nggak mau ikut keluar?” tanya Luna sambil menggugah niatnya untuk berkeliling sekolah. “Apa kau mau menemaniku ke kantin?”
Freya hanya mengangkat bahu, kemudian menatap Luna dengan tatapan sedikit ragu. "Err.... Aku mungkin lebih baik disini saja." katanya dengan suara pelan, seolah takut membangunkan seluruh kelas yang sedang riuh di luar.
Luna tersenyum lega. “Kenapa? Temani aku ya, aku lapar sekali. Yuk.”
Akhirnya, Freya mengangguk pelan dan berjalan bersama Luna. Mereka melewati lorong-lorong sekolah dengan suasana yang sedikit canggung, Luna mencoba untuk membuka percakapan, tetapi Freya lebih memilih untuk fokus pada langit-langit yang terlihat begitu menarik—atau mungkin hanya menghindari percakapan, siapa tahu.
Namun, kedamaian mereka tidak berlangsung lama. Sebuah suara yang sangat ceria, tapi dengan sedikit nada dibuat-buat, terdengar menghampiri mereka.
"Kak Luna??"
Luna menoleh, dan matanya langsung tertuju pada sosok yang sudah sangat dikenal, meski tidak ingin dikenali. Clara, adik tiri yang selalu tampil dengan wajah sok polos dan sok suci, berdiri di hadapan mereka dengan senyum yang bisa disalahartikan sebagai senyuman malaikat. Di sebelah Clara, ada Jackie, teman masa kecil Luna yang dulunya selalu berada di pihaknya—sebelum semuanya berubah. Dua teman perempuan lainnya juga tampak di sana, dengan ekspresi yang bisa dibilang sinis dan tajam seperti pisau.
Luna hanya bisa mendesah pelan. “Sial sekali aku bertemu dengan penyihir kecil seperti dia”