Aruna, namanya. Gadis biasa yatim-piatu yang tidak tau darimana asal usulnya, gadis biasa yang baru memulai hidup sendiri setelah keluar dari panti asuhan di usianya yang menginjak 16 tahun hingga kini usianya sudah 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
delapan
Pukul sepuluh malam. Cafe sudah sepi, Aruna, Arjun dan Kinan sibuk beberes untuk menutup cafe. Setelah menyelesaikan sapu dan mengepel lantai, Aruna mengelap keringat di dahinya.
Entahlah, semenjak mengetahui dirinya tengah berbadan dua, apapun kegiatannya Aruna selalu merasa begitu melelahkan, bahkan untuk jalan sebentar di halte depan menunggu angkot.
"Aruna, balik pulang dulu. Mas Arjun, kak Kinan. " Aruna mengucapkan pamit pada kedua orang itu setelah pintu cafe belakang sudah dikunci Arjun dengan rapat.
"Mas nganterin kamu pulang, ya? Kasian kamu baru selesai sembuh, apalagi udara malam ini dingin banget. " Arjun menawarkan Aruna untuk pulang bersama, laki-laki itu begitu khawatir akan fisik Aruna yang akhir-akhir ini yang gampang sekali sakit.
Udara malam ini juga tampak begitu dingin dari biasanya.
Aruna menghela nafas, sudah kesekian kali mendegar tawaran pulang bersama Arjun padanya, dan berkali-kali jawabannya tetap sama. "Gak usah mas Arjun yang paling tampan, kos ku gak begitu jauh dari sini, mas juga capek kan kerja seharian. Aku beneran gapapa kok. " ucap berusaha menyakinkan Arjun.
Laki-laki itu menghela nafas panjang, mendengar penolakan Aruna yang ke belasan kali ini. "Yaudah, tapi awas aja nanti mas dengar kamu sakit lagi, mas pites kepala batu mu itu! "
Aruna mencabik bibirnya kesal, "Iya-iya, galak bener, dasar ibu tiri. "
"Kepala mu beneran mas pites ya, Aruna. " kesalnya melihat Aruna yang senang sekali menggodanya.
"Marah-marah mulu dasar galak. " gumamnya pelan, "Udah, ah. Aruna mau pulang dulu, kak Kinan aku duluan yaaa. " pamit Aruna, melambaikan tangan pada Kinan yang sudah siap di atas motornya, bersiap untuk pulang juga.
"Pamit sama Kinan saja kamu?! Kamu gak anggap mas di sini, hah?" kesal Arjun, alisnya menyatu menukik tajam. Menatap jengkel pada Aruna yang malah ketawa penuh kemenangan melihat dirinya marah-marah.
"Iya-iya. Dadah mas Arjun, hati-hati ya dijalan takutnya nanti malah ketemu orang gila. " setelah mengatakan itu. Aruna terbirit-birit menjauh, takut Arjun tiba-tiba saja melemparkan sepatu dikenakan laki-laki itu padanya.
Arjun mengelus dadanya, berusaha sabar akan kelakuan Aruna di luar prediksinya, dulu. Awal bertemu, Arjun selalu menganggap Aruna seperti malaikat polos tak berdosa, dan untuk sekarang!! Bisa kalian simpulkan bagaimana.
"Hahaha. Yang sabar ya mas Arjun mengahadapi sifat toddler Aruna, sekalian juga belajar menghadapi anak kecil sebelum mas nikah nanti. Kali aja anak mas Arjun sifatnya sebelas duabelas sama kayak Aruna. " Kinan puas banget ngetawain Arjun yang mukanya udah merah banget, mana hidungnya kembang kepis seperti banteng yang siap menendang manusia yang mengganggunya.
Arjun mendengus mendengar ucapan Kinan yang meledeknya, "Kalau anakku nanti sifatnya kayak Aruna, ku buang nanti di laut bersama dengan Aruna. " ini cuman becandaan doang, yakali Arjun tega ngebuang anaknya ke laut?
Tapi kalau untuk sifatnya kayak Aruna. Arjun mohon semoga malaikat yang lewat dekat mereka gak catat omongan Kinan nanti, bisa cepat tua dia nantinya menghadapi sifat anaknya yang mirip seperti Aruna.
"Hahahaha." Kinan masih sibuk aja ketawa, kalau lihat kelakuan Aruna pada Arjun yang menggoda laki-laki itu sampai kesal. Kinan biasanya cuman bagian menonton dan tertawa saja.
"Sakit perut aku karena kebanyakan tertawa, kalau gitu aku pamit pulang duluan ya mas."
Arjun cuman ngangguk doang, dia sibuk mengecek barang bawaannya di dalam tas. Takut ada yang ketinggalan.
"Eh, ini kunci cafenya kelupaan. " Arjun memberikan kunci cafe pada Kinan saat perempuan itu hendak menjalankan motornya. Kinan menerima, kemudian motornya sudah berjalan meninggal Arjun yang sibuk memasangkan helm di kepalanya.
••••••
Dengan memeluk tubuhnya sendiri. Aruna bersenandung kecil mengisi kesunyian tiap jalannya menuju kos. Ponselnya kehabisan daya, Aruna biasanya akan memutarkan musik untuk mengisi tiap langkahnya untuk pulang.
'Pukk'
"Argghhh." Aruna berteriak kencang karena terkejut saat bahunya dari belakang tiba-tiba saja ada yang menepuk.
Reflek Aruna berbalik dan memundurkan langkahnya, cukup trauma dengan kejadian yang pernah menimpanya dulu.
Matanya membelalak saat di depannya ada Tama, pelaku yang menepuk dan mengagetkannya tadi. Badan Aruna tiba-tiba saja merinding, pupil matanya membola, serpihan kejadian yang menimpanya karena ulah Tama dan tempat ini membuat Aruna merasa was-was.
Melihat gelagat aneh Aruna yang di mengertinya, Tama melepaskan tangannya yang masih bertengker di bahu Aruna.
"T-tenang, gua gak bakal macam-macam sama lo, sumpah. " ucap Tama berusaha meyakinkan Aruna.
Aruna sudah membaik mendengarnya, walau badannya masih sedikit terasa bergetar ketakutan. Trauma di dirinya susah di hilangkan begitu saja.
"Lo kenal gua, kan? " Tama kembali membuka suara saat keheningan beberapa saat menyerbu mereka, menggaruk belakang lehernya dengan canggung.
Aruna mengerjapkan matanya dua kali, kepalanya reflek mengangguk. "Tama, nama kamu Tama. "
Tama menjilat sebentar bibinya entah mengapa terasa begitu kering. "Lo kan yang waktu itu, di s-sini. " ucap Tama setelah saat rasa canggung beberapa saat dirasakannya.
Aruna tak langsung menjawab. Badannya mendadak kaku semua, kepalanya tertunduk tak berani menatap mata Tama yang menunggu jawabannya.
"Aruna? Jawab gua. S-sorry, waktu itu gua gak sengaja, saat itu gua dipengaruhi obat perangs*ng, minuman gua ada yang sengaja campurin sama obat sial*n itu. " ujar Tama menjelaskan, namun dari nada suaranya terdengar sedikit mendesak.
Aruna masih saja terdiam, kepalanya senantiasa menunduk.
"Na, jawab gua! Jangan cuman diam aja. "
Aruna dengan pelan mengangkat kepalanya, kemudian mengangguk setuju akan ucapan Arjun barusan.
Tama membuang nafas gusar. Di usap wajahnya dengan kasar. "Sorry, gua tau perbuatan gua salah besar. Maaf untuk kejadian malam itu, Aruna. Anggap aja kejadian malam itu sebuah kesalahan yang gak berarti, kita lupain aja. "
Aruna kembali menundukkan kepalanya, bibirnya di gigit kuat menahan agar isakan tangisannya tidak keluar di hadapan Tama. Kemudian dia mengangguk dengan terbata-bata, ada rasa tak rela dengan ucapan Tama barusan yang begitu menyakitkan.
"Lo gak bakalan h-hamil kan? " ujar Tama begitu berat di tenggorokannya, kata-kata itu seakan susah sekali dia keluarkan.
Aruna mendongak ketika mendengar pertanyaan dari Tama, tatapan itu begitu penuh harap agar apa yang di takutkannya selama ini tidak terjadi. Namun...
"A-aku hamil, Tama... "
Nafas Tama sejenak seperti berhenti, mendengar jawaban Aruna yang tidak di harapkannya.
Tama diam, menatap wajah Aruna dengan lambat. "Lo yakin itu anak g-gua? "
Aruna seketika langsung menatap penuh pada Tama setelah melontarkan kalimat itu. "M-maksud kamu? " menatap nanar wajah Tama yang tampak begitu gelagapan.
"Na, maaf... Gua gak bermak–
–Gapapa kalau kamu gak mau tanggung jawab, aku sadar diri juga. Apalagi kamu udah punya pacar yang kamu cintai, kamu tenang aja, anak ini biar jadi urusan aku sendiri. "
Setelahnya Aruna berbalik pergi, meninggalkan Tama yang berdiri kaku menatap punggung kecil Aruna yang kian menjauh dari pandangannya dengan tatapan penuh bersalah.
•
•
•