Sudah sepantasnya kalau seorang istri menuntut nafkah pada suaminya. Namun bagaimana jika si suami sendiri yang tidak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya dalam menafkahi keluarga? Inilah yang dialami Hanum Pratiwi, istri dari Faisal Damiri selama 5 tahun terakhir.
Hanum memiliki seorang putra bernama Krisna Permana, yang saat ini masih kuliah di Jurusan Informatika. Tentu saja Hanum masih memerlukan biaya yang cukup banyak untuk biaya pendidikan putranya, ditambah juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Hanum harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan seringkali meminjam kepada saudara dan teman-temannya. Beruntung sang anak bersedia membantu menitipkan kue di kantin, yang bisa dijadikan sumber income keluarga. Namun pendapatannya yang tak seberapa itu, hanya cukup untuk transport dan uang saku sang anak, kalaupun ada lebih untuk membeli beras.
Bagaimana Hanum bertahan dalam 5 tahun ini? Apakah kesulitan ini mengharuskannya menyerah? Lalu bagaimana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Beda Pendapat Tentang Warisan
Beratnya beban dan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh Faisal sepertinya membuat dia sangat frustasi dan berfikir pendek. Sampai akhirnya tercetus ide untuk menanyakan tentang warisan kepada kakaknya. Memang secara hukum Islam warisan itu harus segera dibagikan kepada ahli warisnya, karena kalau ditunda khawatir akan terjadi konflik sengketa waris, hilangnya hak waris dan ketidakpuasan dari ahli waris. Pada saat Faisal masih memiliki rumah dan penghasilan, tidak pernah terbersit sedikit pun untuk mengungkit tentang harta warisan ini. Apalagi yang ditinggalkan orang tuanya itu hanyalah sebuah rumah di Kota Bandar Lampung yang saat ini ditempati oleh adiknya sekeluarga. Namun disaat Faisal tidak memiliki rumah dan penghasilan, yang selalu dikejar-kejar dengan kewajiban membayar uang kontrakan, membuatnya terfikir untuk meminta haknya. Dia pun menghubungi adiknya untuk berdiskusi tentang hal ini.
"Andi, setelah mengalami kebangkrutan beberapa kali, akhirnya aku berfikir tentang warisan orang tua kita. Bagaimana kalau rumah itu kita jual, terus duitnya dibagi berempat. Meski Donny sudah meninggal, tapi kan dia punya anak, jadi harus menerima haknya. Sekarang ini rumah saja aku nggak punya, nah maksud aku kalau warisan itu dibagi aku bisa beli rumah lagi dan punya modal untuk buka usaha baru. Kau sendiri kan sekarang ini belum punya rumah, berarti kan bisa beli rumah juga. Kalau Nani terserah dia, duitnya mau dipakai apa, karena dia kan sudah punya rumah. Bagaimana menurutmu Ndi?" tanya Faisal kepada Andi.
"Aku sih setuju saja, hanya rumah ini surat-suratnya nggak ada, jadi nggak bisa dibuat sertifikat secepatnya. Kalau mau harganya tinggi berarti kan harus dilengkapi dengan sertifikat." jelas Andi memberitahu kendalanya.
"Kalau bukti tagihan PBB tiap tahun ada kan?" tanya Faisal lagi.
"Ada, dan selalu kubayar."
"Setahu aku, bukti PBB itu bisa dijadikan dasar Kelurahan setempat membuat surat keterangan bahwa kita pemiliknya. Nanti surat itu yang kita bawa ke Notaris dan BPN untuk pengurusan sertifikat."
"Pasti biayanya besar untuk pengurusan ini, Sal"
"Memang. Makanya kalau aku waktu jual rumah dulu, biayanya pengurusan surat-surat ditanggung pembeli, pokoknya kita terima beres. Memang sih ada selisih harga yang lumayan dibandingkan yang sudah bersurat lengkap"
"Pastinya begitu. Rumah Bibi depan kita itu dijual tahun kemarin laku Rp 2,5 Milyar."
"Benar Ndi? Tapi dia tanahnya lebih luas dari kita. apa mungkin harga jual rumah kita bisa di harga Rp 2 Milyar?"
"Mungkin harga pasarannya segitu, Bibi itu jualnya sudah tahun lalu. Anggaplah tahun ini ada kenaikan."
"Ya sudah kalau kau setuju dijual, aku nanti pasang iklan di OXL. Kau foto-foto lah rumah bagian luar dan dalam, supaya bisa segera dipasang iklannya.!"
"Nanti untuk Neni biar aku yang hubungi, daripada kamu yang kena omelan"
Setelah memutus telpon dengan Andi, Faisal langsung menghubungi Neni dan mendiskusikan hal yang sama.
"Jadi begitu ceritanya Nen, kalau aku sudah dapat bagian kan bisa bayar hutang ke kamu dan Andi juga. Aku nggak mau meninggalkan hutang saat akhir hayat nanti, makanya mau minta warisan dijual dan dibagikan."
"Tapi apa nggak akan jadi ribut dengan keluarga Pak Cik dan anak-anaknya?" tanya Neni ragu-ragu.
"Justru kalau dijual sekarang lebih baik, masih ada saksi kalau rumah itu milik Bapak sepenuhnya. Jadi tidak ada yang bisa menuntut, karena hak adik-adik Bapak sudah diberikan sebelumnya. Bisa saja kalau Pak Cik meninggal, anak-anaknya pada nuntut karena tidak tahu cerita sebenarnya mengenai rumah itu" ujar Faisal menjelaskan kemungkinan yang terjadi.
"Ya sudah aku setuju saja, tapi harganya harus Rp 2 Milyar ya minimal" ucap Neni menyampaikan persetujuannya.
"Iya lah, kalau kurang dari Rp 2 Milyar aku juga nggak mau. Terus jangan lupa haknya di Tiara, kamu yang pegang saja. Mungkin nanti kalau dia mau kuliah atau nikah baru kita berikan" Ucap Faisal mengingatkan hak keponakannya yang saat ini masih SMP.
Seminggu berlalu dari percakapan itu, namun tidak ada lagi yang menghubungi Faisal bagaimana kelanjutannya. Foto-foto rumah yang diminta Faisal dari Andi juga belum dikirimkan. Faisal mencoba untuk menunggu sampai beberapa waktu lagi.
🌾🌾🌾🌾🌾
Dua bulan sudah berlalu, namun kabar yang ditunggu Faisal juga tak ada. Karena penasaran Faisal menghubungi Andi kembali.
"Jadi bagaimana Ndi? Kok nggak ada kabar lanjutannya." tanya Faisal begitu telpon tersambung.
"Beberapa hari yang lewat aku main ke rumah Neni, terus ngebahas tentang penjualan rumah ini. Terus Neni bilang, Kak Budi tidak setuju. Dia bilang jangan dijual, biar saja itu untuk tempat ngumpul keluarga besar kalau lagi pulang ke Lampung" jawab Andi menjelaskan kenapa tidak berlanjut.
"Lah kenapa dia ikut campur? Dia itu bukan ahli waris, statusnya hanya suami Neni. Sedangkan ahli warisnya Neni, suara dia lah yang kita perhitungkan. Ya sudah aku coba telpon Neni saja" ujar Faisal dengan nada kesal langsung mengakhiri panggilan.
Faisal pun langsung menelpon Neni ingin mendengar kepastian informasi yang disampaikan Andi.
"Nen, jadi bagaimana rencana menjual rumah Bapak itu?" tanya Faisal langsung to the poin.
"Setelah kita ngobrol waktu itu, terus aku ngobrol lah sama Kak Budi. Dia bilang nggak usah dijual, biar saja itu jadi rumah tempat kumpulnya keluarga besar. Jadi kalau kalian pulang ke Lampung, nggak harus nginap di hotel. Sama seperti rumah Bapak Kak Budi, yang sampai saat ini tidak dibagikan kepada anak-anaknya"
"Beda kasusnya Neni. Kak Budi dan kakak-kakaknya itu sudah menerima warisan sebelumnya, dan memang masih sering ngumpul di kampung. Ya wajar saja kalau satu rumah itu dijadikan milik bersama. Lah kita ini warisannya hanya itu, jadi biar semua merasakan warisan dari orang tua ya dijual dan dibagikan."
"Terus kalau kamu pulang ke sini tidur dimana nantinya?"
"Kalau kami pulang ya urusannya nanti, sekarang ini jangankan ongkos untuk pulang ke sana, untuk makan saja kami kesusahan. Makanya aku usul dijual rumah Bapak itu."
"Kami ini sekarang nggak punya tempat tinggal, Andi juga nggak punya.Jadi lebih baik dibagikan haknya supaya Aku dan Andi bisa punya rumah sendiri."
"Tapi aku juga setuju dengan Kak Budi, biarlah rumah itu jadi tempat ngumpul keluarga besar kita"
"Kalau memang kamu nggak setuju dijual, ya sudah bayarlah hal aku. Kau sama Andi patungan untuk bayar aku, potong hutang aku pada kalian, dan sisanya biar aku pakai untuk beli rumah di sini sama modal toko"
"Kami tuh kenapa ngotot banget ingin jual rumah Faisal? Kamu ingin lepas tangan dari keluarga? Kamu ingin enak sendiri" berondong Neno dengan nada tinggi
"Aku nggak lepas tangan dari keluarga, aku hanya meminta hak aku sendiri. Kamu yang ngotot nggak mau jual, berarti kamu ingin memilikinya. Kamu sih enak sudah punya rumah, anak sudah selesai kuliah semua, suami ada kerjaan tetap. Coba dibalik posisinya kalau menjadi aku bagaimana! Aku nggak bisa memberi nafkah padakeluarga saat ini, anakku berhenti kuliah, rumah nggak punya, terus salahnya dimana kalau aku nuntut hal yang memang belum kuterima? Andi nggak pusing, karena dia menikmati tinggal di rumah itu tanpa mikirin bayar sewanya." ujar Faisal dengan suara lirih disertai tangisan
"Itu kan kesalahan kamu sendiri, kenapa jadi kami yang nanggung?"
"Justru aku tidak ingin menjadi beban kalian, makanya aku ngomongin hak warisanku. Kamu tanya langsung sama ustadz tempat kamu ngaji tuh, bagaimana hukum waris yang sebetulnya. Warisan itu wajib segera dibagikan kepada ahli warisnya, salah satunya untuk membantu ahli waris yang kesusahan. Kalian memang saat ini sedang dalam kondisi mapan, dan baru mengerti apa yang aku lakukan ini saat sedang terpuruk sepertiku."
"Terserah kamu mau ngomong apa, pokoknya aku dan Andi tetap tidak akan menjual rumah itu" Neni kukuh dengan pendiriannya.
"Baik kalau begitu, berarti kalian sudah dzolim denganku. Dan aku tidak akan rela sedikitpun atas hak warisku yang ditahan. Silahkan kalian nikmati rumah itu, anggap saja kalian sudah membayar hakku senilai Rp100 juta, jadi hutangku sudah kuanggap lunas. Aku pun tidak akan mengungkitnya lagi dan anggap saja ahli warisnya sudah mati." Faisal langsung memutuskan sambungan telpon dengan kedua mata bercucuran air mata.
Selang beberapa jam kemudian handphone Faisal berdering, terlihat nama Andi di layar panggilan, namun Faisal abaikan. Hingga beberapa berdering, namun tak satupun yang diangkat. Kemudian muncul juga panggilan dari Kak Budi, dan Faisal masih tetap mengabaikannya. Faisal melihat beberapa chat dari Andi dan Kak Budi, namun tidak ada satupun yang dibukanya.
"Tuh handphone bunyi terus kenapa nggak diangkat?" tanya Hanum yang memang tidak tahu ada kejadian ribut dengan kakaknya
"Biar saja lagi malas ngomong sama mereka, daripada nanti emosi mendingan didiamkan saja" jawab Faisal cuek.
"Memang ada masalah apa sampai malas jawab panggilan merek? Biasanya asyik ngobrol sampai bahkan bisa sampai sejam an" tanya Hanum lagi heran
"Sebenarnya tadi sudah ngobrol sama mereka berdua cukup lama, jadi ya malas saja kalau sudah nyalahin Ayah tanpa tahu kejadian sesungguhnya"
"Menyalahkan karena apa? Nggak mungkin tiba-tiba menyalahkan kalau nggak asal mulanya"
"Ibu kepo banget sih, biarin saja nanti juga mereka hubungi Ayah lagi kalau sudah mode santai"
Hanum hanya mengangkat bahunya, lalu meninggalkan Faisal kembali ke dapur untuk menyiapkan bahan-bahan kue. Bukannya Hanum tidak penasaran dengan Faisal, apalagi sekilas melihat kedua matanya yang sembab. Dia hanya mengira-ngira ada perdebatan dengan kakaknya atau adiknya. Yang Hanum tidak tahu, ternyata itu kontak terakhir Faisal dengan adik dan kakaknya. Sedangkan Hanum sendiri memang jarang berhubungan dengan adik dan kakak iparnya, kecuali memang ada yang perlu untuk dibicarakan.
Memang benar kata orang kalau harta warisan itu panas dan bikin perpecahan. Apalagi kalau ahli warisnya kurang ilmu agama, pasti akan terjadi perselisihan.