Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saudara Kembar Ariana Akhirnya Setuju untuk ke Indonesia
Selama satu minggu penuh, Dewa, Ezra, dan Rangga menghabiskan waktu mereka untuk mencari cara agar saudara kembar Ariana mau datang ke Indonesia. Awalnya, ini bukan tugas yang mudah.
Saudara kembar Ariana, yang bernama Alana, telah hidup dengan keluarga angkatnya sejak kecil. Ia tumbuh di lingkungan yang berbeda, dengan kehidupan yang jauh dari bayangan Ariana.
Saat pertama kali mereka menghubungi Alana dan menjelaskan semuanya, reaksinya tidak seperti yang mereka harapkan.
"Maaf… tapi aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini," kata Alana dengan suara ragu saat mereka berbicara melalui video call. "Aku bahkan tidak tahu apakah aku benar-benar ingin bertemu dengannya."
Dewa bisa memahami perasaannya. Bertemu dengan keluarga yang selama ini tak pernah ia ketahui pasti membuatnya bingung.
Namun, mereka tidak menyerah. Hari demi hari, mereka mencoba berbicara lebih dalam dengan Alana.
Ezra dan Rangga mencoba mendekatinya dengan cara yang lebih santai, membicarakan bagaimana Ariana adalah orang yang sangat baik, penuh semangat, dan sangat ingin mengenalnya.
Dewa, di sisi lain, berusaha menyentuh hatinya dengan kisah perjuangan Ariana melawan penyakitnya.
"Ariana mungkin tidak punya banyak waktu, Alana," kata Dewa di hari keempat. "Tapi dia ingin menggunakan sisa hidupnya untuk mencari sesuatu yang hilang dalam dirinya. Dan kamu adalah bagian dari itu."
Perlahan, Alana mulai melunak.
Di hari keenam, mereka bertemu langsung dengan Alana dan keluarga angkatnya. Orang tua angkatnya ternyata sangat baik dan memahami situasi ini.
"Kami tidak pernah ingin memisahkan mereka," kata ibu angkat Alana dengan suara lembut. "Kami hanya ingin memberikan kehidupan yang lebih baik. Jika ini memang yang terbaik untuk Alana dan Ariana, kami akan mendukungnya."
Akhirnya, setelah satu minggu penuh usaha dan pembicaraan yang panjang, Alana mengambil keputusan besar.
"Baiklah... Aku akan pergi ke Indonesia."
Dewa, Ezra, dan Rangga saling bertukar pandang sebelum tersenyum lega. Akhirnya, misi mereka berhasil.
Kini, tinggal satu langkah lagi—membawa Alana pulang untuk bertemu dengan saudara kembarnya.
...****************...
Dewa, Ezra, Rangga, dan Alana akhirnya menaiki pesawat menuju Indonesia. Perjalanan panjang yang penuh dengan ketegangan, terutama bagi Alana yang akan bertemu dengan saudara kembarnya untuk pertama kali.
Di dalam pesawat, Alana terlihat diam, tatapannya kosong menatap keluar jendela.
Dewa yang duduk di sebelahnya melirik sesekali, lalu mencoba membuka percakapan. "Kau baik-baik saja?"
Alana menghela napas pelan. "Aku tidak tahu. Aku merasa gugup... dan sedikit takut."
Rangga yang duduk di belakang mereka menyandarkan kepalanya ke kursi. "Itu wajar. Bertemu seseorang yang memiliki darah yang sama tapi tumbuh di dunia yang berbeda pasti terasa aneh."
Ezra menimpali, "Tapi percayalah, Ariana pasti lebih gugup darimu. Seumur hidupnya dia tidak tahu bahwa dia memiliki saudara kembar. Dan sekarang, dia akan bertemu denganmu."
Alana tersenyum kecil, meski raut wajahnya masih menyimpan kekhawatiran.
Dewa mencoba menenangkan hatinya. "Ariana pasti akan menerima kehadiranmu dengan hangat. Jangan terlalu memikirkan hal-hal buruk. Percayalah, ini akan menjadi awal yang baik."
Alana menatap Dewa, lalu mengangguk. "Aku harap begitu."
Pesawat terus melaju di langit, meninggalkan negara yang selama ini menjadi tempat tinggal Alana. Perjalanan ini bukan hanya membawa tubuhnya ke Indonesia, tapi juga membawa hatinya ke dalam bagian dari kehidupannya yang selama ini tidak ia ketahui.
Setelah beberapa jam di udara, akhirnya pilot mengumumkan bahwa mereka akan segera mendarat. Jantung Alana berdegup kencang.
Ezra menepuk pundaknya. "Siap bertemu dengan saudara kembarmu?"
Alana menarik napas panjang sebelum menjawab. "Siap atau tidak, aku akan melakukannya."
Dan tak lama kemudian, pesawat menyentuh landasan di Indonesia. Perjalanan baru bagi Alana dan Ariana akhirnya dimulai.
...****************...
Setelah melewati pemeriksaan imigrasi dan mengambil bagasi, Alana melangkah perlahan di area kedatangan. Hatinya berdebar kencang. Di depan sana, ia bisa melihat seorang pria berdiri dengan ekspresi tegang, matanya terus mencari-cari seseorang.
Bang Ardan.
Dewa berjalan di samping Alana, lalu menepuk pundaknya pelan. "Itu abangmu."
Alana menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. Selama ini ia tak pernah berpikir bahwa ia memiliki saudara, apalagi seorang kakak.
Bang Ardan akhirnya melihat mereka. Tatapannya langsung tertuju pada Alana. Wajahnya sedikit terkejut, seperti tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Tanpa menunggu lama, ia melangkah cepat mendekati mereka.
Alana berdiri diam di tempatnya, tangannya mengepal erat. Saat Bang Ardan sudah berada di depannya, mereka saling bertatapan dalam diam.
Bang Ardan menelan ludah. "Alana?" suaranya terdengar bergetar.
Alana mengangguk pelan. "Ya… aku Alana."
Untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara. Hanya tatapan penuh makna yang terjalin di antara mereka. Seolah mereka sedang mencari sesuatu di wajah masing-masing—sesuatu yang menghubungkan mereka sebagai saudara.
Lalu, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Bang Ardan menarik Alana ke dalam pelukan.
"Akhirnya… akhirnya aku bisa bertemu denganmu," ucapnya dengan suara bergetar.
Alana terkejut, tapi perlahan, ia membalas pelukan itu. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba menyelimuti hatinya.
"Maaf… aku terlambat menyadari bahwa aku memiliki keluarga lain," bisik Alana pelan.
Bang Ardan menggeleng tanpa melepaskan pelukan. "Bukan salahmu… yang penting sekarang, kau ada di sini."
Dewa, Ezra, dan Rangga hanya tersenyum melihat momen itu. Mereka tahu, ini bukan pertemuan biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang besar.
Setelah beberapa saat, Bang Ardan melepaskan pelukannya dan menatap wajah Alana dengan lebih jelas.
"Ariana pasti akan sangat bahagia melihatmu," katanya sambil tersenyum. "Ayo, kita temui dia."
Alana mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya.
Dan dengan langkah yang lebih mantap, mereka pun meninggalkan bandara—menuju pertemuan yang telah dinantikan seumur hidup.
...****************...
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil terasa sedikit hening. Alana terus menatap keluar jendela, mencoba memahami perasaannya sendiri.
Setelah sekian lama, akhirnya ia membuka suara, "Dewa."
Dewa yang sedang fokus mengemudi meliriknya sekilas melalui kaca spion. "Ya?"
Alana menarik napas dalam sebelum bertanya, "Sebenarnya… siapa kamu di kehidupan Ariana?"
Dewa terdiam sesaat. Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya tidak mudah.
Ezra dan Rangga yang duduk di kursi belakang ikut memperhatikan. Mereka tahu, ini adalah pertanyaan yang mungkin sudah lama terlintas di benak Alana.
Setelah beberapa detik, Dewa tersenyum tipis. "Aku… seseorang yang ingin selalu ada untuknya."
Alana mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. "Maksudku, hubungan kalian apa?"
Dewa menatap lurus ke depan. "Aku mencintainya."
Alana terdiam. Jawaban itu jelas, tegas, tanpa keraguan.
Dewa melanjutkan dengan suara lebih pelan, "Ariana adalah seseorang yang spesial bagiku. Aku ingin membuatnya bahagia, menemani dia melewati masa-masa sulit, dan…" ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "aku ingin melihatnya bertahan lebih lama di dunia ini."
Suasana kembali sunyi. Alana bisa merasakan ketulusan dalam suara Dewa.
Setelah beberapa saat, Alana menatap Dewa dan berkata pelan, "Terima kasih, sudah ada untuknya."
Dewa tersenyum, "Aku akan selalu ada untuknya, Alana. Dan mulai sekarang, aku harap kau juga ada di sisinya."
Alana mengangguk, untuk pertama kalinya ia merasa bahwa mungkin, pulang ke Indonesia bukanlah keputusan yang salah.