"Cahaya di Tengah Hujan"
Rini, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya demi wanita lain, berjuang sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil. Dengan cinta yang besar dan tekad yang kuat, ia menghadapi kerasnya hidup di tengah pengkhianatan dan kesulitan ekonomi.
Di balik luka dan air mata, Rini menemukan kekuatan yang tak pernah ia duga. Apakah ia mampu bangkit dan memberi kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?
Sebuah kisah tentang cinta seorang ibu, perjuangan, dan harapan di tengah badai kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 1337Creation's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di Ujung kesabaran
Bab 17: Harapan di Ujung Kesabaran
Malam itu begitu mencekam di rumah kecil Rini. Lampu redup menerangi wajah pucat Nayla yang terbaring lemah di atas kasur tipis mereka. Suasana begitu sunyi, hanya suara nafas tersengal Nayla yang memenuhi ruangan. Aditya duduk di sudut ruangan, menatap dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak berani mengatakan apa pun, takut melihat ibunya yang sudah hampir kehilangan akal.
“Nayla... bertahan ya, Sayang... tolong bertahan...” bisik Rini sambil menggenggam erat tangan mungil putrinya. Tubuh kecil Nayla sudah mulai dingin. Rini bisa merasakan detak jantung Nayla melemah, nafasnya makin pendek, dan bibirnya membiru.
Tidak ada pilihan lain. Jika Rini tetap diam, anaknya bisa pergi kapan saja.
Dengan cepat, Rini bangkit. Dia harus mencari pertolongan. Tidak peduli bagaimana caranya, dia harus menyelamatkan Nayla.
Memohon pada Ibu Ayna
Satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya adalah Ibu Ayna, tetangga yang tinggal tidak terlalu jauh. Meskipun wanita itu dikenal angkuh, Rini tetap berharap bahwa malam ini hatinya akan sedikit tergerak.
Dengan tergesa-gesa, Rini membungkus Nayla dengan selimut tipis. Dia menggendong tubuh mungil anaknya yang terasa begitu ringan. Aditya mengikuti di belakangnya dengan wajah penuh kecemasan.
Mereka berjalan di gang kecil, dengan cahaya remang dari lampu jalan yang berkedip-kedip. Jantung Rini berdegup kencang. Setiap langkah terasa berat, seakan seluruh dunia menekan pundaknya.
Sampai akhirnya, mereka tiba di depan rumah besar Ibu Ayna.
Tanpa ragu, Rini mengetuk pintu keras-keras.
Tok! Tok! Tok!
Tidak ada jawaban.
Tok! Tok! Tok!
“Ibu Ayna! Tolong buka pintunya! Saya mohon!” suara Rini nyaris serak.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah mendekat. Pintu terbuka, dan muncul sosok Ibu Ayna dengan wajah tidak senang. Wanita itu mengenakan daster mahal dan terlihat baru saja bangun.
“Ada apa ini ribut-ribut malam-malam?” tanya Ibu Ayna dengan nada kesal.
Rini menelan ludah, lalu berlutut di depan Ibu Ayna dengan Nayla yang masih digendongnya. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi.
“Ibu Ayna... saya mohon... Nayla sakit parah... dia hampir mati... tolong bantu saya...” suara Rini bergetar.
Ibu Ayna melipat tangan di dada, mengamati Rini dengan ekspresi dingin. “Jadi, kamu mau minta uang lagi?” tanyanya sinis.
Rini menggeleng cepat. “Bukan uang, Bu... Saya cuma butuh bantuan untuk membawa Nayla ke rumah sakit... Saya mohon...”
Ibu Ayna mendengus dan melirik ke arah Nayla yang tampak begitu lemah. Matanya sekilas menunjukkan keraguan, tapi ekspresinya kembali kaku.
“Sudah malam. Aku tidak bisa membantu,” jawabnya singkat.
Rini mencengkeram ujung baju Ibu Ayna dengan tangan gemetar. “Tolong, Bu... Saya mohon, Nayla butuh pertolongan... Dia sudah tidak bisa menunggu lebih lama...”
Ibu Ayna menghempaskan tangan Rini dengan kasar. “Jangan pegang-pegang aku! Kamu pikir semua orang di dunia ini harus membantu kamu? Kamu pikir aku ini panti sosial?”
Rini tercekat. Air matanya semakin deras.
“Tapi... dia masih anak kecil... tolonglah...”
Ibu Ayna tertawa kecil, lalu berkata dengan nada merendahkan, “Anak kecil? Hah! Itu bukan urusanku! Kalau kamu tidak bisa merawat anakmu sendiri, kenapa kamu punya anak? Dasar wanita bodoh, miskin, dan menyedihkan!”
Kata-kata itu menancap seperti pisau di hati Rini. Namun, dia tidak bisa marah. Tidak ada waktu untuk marah.
Dengan putus asa, dia kembali meraih kaki Ibu Ayna, berlutut semakin dalam.
“Bu, saya mohon... hanya kali ini saja... Tolong bantu Nayla... Saya akan melakukan apa saja... Saya akan bekerja tanpa dibayar... Saya akan membersihkan rumah Ibu setiap hari... Tolong, Nayla masih kecil... dia tidak bersalah...”
Air mata Rini membasahi lantai. Aditya yang berdiri di belakangnya hanya bisa menunduk, menahan tangisnya sendiri.
Namun, Ibu Ayna hanya menghela napas kasar. “Aku tidak punya waktu untuk ini. Sana pergi!”
Rini menggeleng, masih berlutut, masih berharap. “Tolong, Bu... kalau Nayla mati, saya tidak tahu harus bagaimana...”
Ibu Ayna mendengus kesal, lalu tanpa peringatan, dia meraih segenggam beras dari wadah di dekat pintu dan melemparkannya ke wajah Rini.
“Ambil ini! Itu saja yang pantas kamu dapatkan!” teriaknya.
Rini terdiam. Butiran beras jatuh ke tanah. Matanya membelalak, air matanya semakin deras.
Ibu Ayna menatapnya dengan tatapan penuh hinaan. “Sana pergi! Aku tidak mau tetanggaku melihat aku berurusan dengan orang miskin seperti kamu!”
Rini masih berlutut, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa sakit yang begitu mendalam.
Aditya yang melihat ibunya diperlakukan seperti itu akhirnya tidak bisa menahan emosinya. Dia maju beberapa langkah, menatap Ibu Ayna dengan mata penuh amarah.
“Ibu saya sudah memohon dengan sangat... Kenapa Ibu setega ini?” suaranya bergetar.
Ibu Ayna hanya melirik bocah itu dengan tatapan malas. “Diam, anak kecil! Jangan ikut campur urusan orang dewasa!”
Rini segera menarik Aditya ke belakangnya, takut kalau Ibu Ayna akan berbuat lebih kejam lagi.
Dengan hati yang hancur, Rini akhirnya berdiri dengan lemas. Dia memeluk Nayla lebih erat, lalu menunduk dalam.
“Terima kasih, Bu...” katanya pelan, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan pergi.
Malam itu, langkah Rini terasa begitu berat. Harapannya pupus, tubuhnya lelah, dan hatinya hancur berkeping-keping. Aditya berjalan di sampingnya, menahan tangis, tetapi matanya penuh kebencian terhadap dunia yang begitu kejam pada mereka.
Sementara itu, Nayla masih dalam pelukan ibunya, semakin lemah, semakin sunyi.
Malam semakin larut, dan harapan Rini semakin menipis. Apakah masih ada jalan untuk menyelamatkan Nayla?