Namanya Tegar, pemuda dengan pembawaan ceria tapi hatinya penuh dengan dendam.
Di depan kedua matanya, Tegar kecil harus menyaksikan kedua orang tua meregang nyawa dan kakaknya digilir di rumahnya sendiri, oleh sekelompok orang.
Yang lebih menyakitkan, para penegak hukum justru tunduk pada orang-orang tersebut, membuat dendam itu semakin dalam dan melebar.
Beruntung, Tegar mendapat keajaiban. Sebuah sistem dengan misi layaknya pesugihan, Tegar menemukan jalan yang bisa dia gunakan untuk melampiaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Penguasa Kalah Lagi
Tegar hanya bisa tersenyum puas, menatap anak yang memandangnya dengan penuh kebencian. Anak penguasa itu dibuat tak berkutik di tangan Tegar. Vino pergi bersama anak buahnya dalam keadaan babak belur.
Bukannya jera, Vino lagi-lagi pergi dengan segala sumpah serapah dan dendam yang semakin membara. Anak itu yakin ayahnya tidak akan tinggal diam jika anaknya dipermalukan seperti ini.
Tegar singgah sejenak guna melepas lelah, di sebuah bangku panjang, di bawah pohon rambutan, di depan rumah seorang warga. Rasa lelah setelah bertarung, membuat dia harus mengistirahatkan sejenak tubuhnya untuk memulihkan tenaga.
"Pertarungan anda semakin hebat saja, Tuan," puji sosok tak kasat mata yang akhir-akhir ini selalu mengikuti Tegar.
Anak muda itu sontak tersenyum. "Semua ini berkat kamu, Fiza," balas Tegar. "Kalau bukan karena kamu, mungkin nyawaku sudah melayang oleh mereka."
"Tapi sepertinya, anak muda yang tadi tidak menerima kekalahannya."
"Aku tahu," balas Tegar. "Aku yakin setelah ini dia akan terus mengejarku sampai bisa mengalahkan aku. Pasti orang tuanya akan turun tangan juga."
"Bagus dong. Jadi anda bisa langsung melampiaskan dendam anda."
Tegar tersenyum tipis. "Aku tidak akan membalasnya dengan pertarungan. Aku ingin orang-orang itu merasakan sesuatu yang tidak bisa mereka lupakan seumur hidup mereka."
Fiza tidak lagi bersuara tapi Tegar yakin kalau Fiza saat ini memahami keinginannya.
"Kayanya aku harus berhenti jualan sejenak mulai besok, Za," ucap Tegar tiba-tiba.
"Loh, kenapa?" Sepertinya Fiza terkejut mendengar keputusan Tegar.
"Aku tahu siapa yang aku hadapi. Aku tidak mau orang-orang di sekitarku nanti ikutan celaka karena berhubungan denganku."
"Terus, nanti kamu dapat penghasilan darimana?"
Tegar tersenyum lalu dia merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Dari ponsel tersebut, dia lantas mengecek akun sosial medianya.
"Untuk sementara aku akan meneruskan usaha Nenek sambil melanjutkan rencana ini, Za," ucap Tegar.
"Apa ini?"
"Ini semacam video tentang banyak hal. Nama kerennya menjadi seorang konten kreator," balas Tegar. "Sayangnya ditengah jalan aku terpaksa berhenti ngonten karena keadaan."
"Karena keadaan?"
Tegar mengangguk. "Ponselku dirampas oleh preman yang kemarin bertarung melawanku. Dua kali ponselku dirampas oleh mereka, makanya aku tidak beli ponsel lagi meski butuh."
"Bukankah semalam kamu bilangnya ponselnya rusak?"
Tegar tersenyum. "Aku terpaksa bohong sama Nenek. Aku tidak mau Nenek terlalu khawatir."
"Ya sudah terserah anda enaknya bagaimana. Semua keputusan ada di tangan anda."
Tegar mengangguk, lalu dia beranjak untuk melanjutkan jualannya. "Ayo, Za, kita keliling lagi."
####
Hingga menjelang sore, Tegar memutuskan untuk pulang. Tak lupa, dia juga pamit kepada Bu Tatik untuk berhenti jualan sementara waktu. Meski berat, keputusan itu terpaksa Tegar pilih demi keamaanan Bu Tatik sendiri.
Di tengah perjalanan pulang, mata Tegar melihat seseorang sampai kening Tegar berkerut. Karena penasaran, Tegar pun merubah arah jalannya, menghampiri orang tersebut.
"Rio, kamu ngapain di sini?" tanya Tegar begitu jaraknya sudah dekat dengan seseorang yang dia kenal.
"Cuma duduk, Gar," jawab Rio.
Tegar tahu teman sekaligus tetangga itu lagi duduk. Tapi dari raut wajahnya, Tegar menduga kalau sedang terjadi sesuatu pada temannya itu.
"Tapi nggak bengong di sini juga kali, Ri," Tegar pun ikut duduk di sebelahnya. "Duduk dipinggir jalan, sendirian, kaya orang kebingungan."
Rio lantas tersenyum. "Jujur, Gar, sebenarnya, aku memang lagi bingung."
"Nah kan! Bingung kenapa?"
"Ibuku mau menjalani operasi, Gar."
"Loh, Ibumu lagi sakit?"
Rio mengangguk. "Sebenarnya sakitnya Ibu udah agak lama. Tapi kamu tahu sendirikan keadaan kami bagaimana. Ditambah lagi, usaha Bapak juga terancam gulung tikar. Makanya, aku bingung, harus bagaimana, terpaksa deh aku menggalau di sini."
Tegar mengangguk paham. Sejenak dia terdiam sembari melempar pandangan ke arah yang sama seperti Rio.
"Aku bingung, Gar, kalau usaha Bapak beneran bangkrut, gimana nasib adik-adiku yang masih sekolah. Belum lagi mikirin operasi yang biayanya tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah. Mana cari kerjaan susah banget lagi."
Tegar lantas tersenyum. Bukan senyum menertawakan, tapi lebih ke arah turut prihatin.
"Kalau usaha orang tua kamu, aku modalin lagi bagaimana?"
Rio tertegun mendengarnya sampai mata anak muda itu agak melebar, menatap teman masa kecilnya. "Maksud kamu bagaimana?"
"Ya, aku kasih modal lagi buat bapak kamu, tapi sistemnya bagi hasil. Jadi kaya investasi gitu. Gimana?"
"Wahh," mata Rio langsung berbinar. "Kamu lagi banyak uang ya, Gar?"
"Ya nggak banyak juga, tapi cukup lah, buat bantu kamu," balas Tegar merendah.
"Boleh juga tuh," Rio sepertinya setuju. "Tapi lebih baik, kamu ketemu sama Bapak dulu, Gar. Kan yang tahu soal usaha itu, Bapak."
"Ya udah, nanti malam aku ke rumahmu."
"Oke aku tunggu," balas Rio. "Terus sekarang, kamu mau kemana?"
"Sebenarnya aku akan pulang, tapi aku mau mampir dulu ke mini market."
"Oh, ya udah, kalau gitu aku pulang dulu, mau ngasih tahu Bapak."
Tegar mengangguk.
Setelah Rio pergi, Tegar juga ikut pergi menuju mini market terdekat. Setelah semua yang dibutuhkan terbeli, Tegar segera pulang menuju rumahnya.
Karena dalam dua malam sebelumnya Tegar bisa menjalankan misi lebih dari satu kali, uang yang didapat Tegar pun jumlahnya lebih banyak. Bahkan jika ditotal, sebentar lagi uang dari misi yang dijalankan hampir menyentuh satu miliar.
Di mata Tegar, tentu saja jumlah uang segitu termasuk banyak. Apa lagi dia mengumpulkan semua itu dalam waktu tiga hari saja. Tegar bertekad, akan mengumpulkan uang lebih banyak lagi sampai tidak ada orang yang berani memandang remeh kepadanya.
####
Seperti yang sudah diperkirakan oleh Tegar, di kediamannya, Gunawan tidak kuasa memendam amarahnya, kala mendapat laporan tentang kekalahan anaknya.
"Bagaimana bisa kalian kalah dari anak kecil, hah!" Selain geram, Gunawan juga merasa tidak percaya kalau tiga anak buah yang mendampingi anak kesayangannya, dibuat babak belur.
"Harusnya kalian bisa menaklukan anak itu dengan mudah! Kalian tuh dibayar untuk menang! Bukan untuk kalah!"
Ketiga anak buah hanya bisa menunduk. Nyalinya menciut karena harga diri mereka semakin runtuh dan terjatuh, dimarahi di depan rekan kerja mereka.
"Sekarang, kalian semua, cari informasi yang berkaitan dengan anak itu. Secepatnya! Bila perlu, seret siapapun yang dekat dengan anak itu, paham!"
"Siap, Tuan!"
Beberapa anak buah bergegas meninggalkan Tuannya.
"Awas aja, anak itu akan aku buat menyesal dan menangis darah," sumpah Gunawan.
####
Tanpa terasa, malam kini telah datang. Sekitar pukul sembilan malam, Tegar baru saja pulang dari rumah temannya yang tadi ketemu di jalan. Setelah terjadi kesepakatan tertulis dengan orang tuanya Rio, Tegar pulang dengan senyum yang menenangkan.
"Motor siapa itu?" Tegar agak terkejut kala matanya menangkap sebuah motor terparkir di depan rumahnya. "Apa ada tamu?"
Tegar pun mempercepat langkah kakinya. Apa lagi dia mendengar suara Nenek yang sedang berbincang, Tegar jadi penasaran, ada siapa di dalam rumah.
lanjut thor