"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemegang Kendali
Gue usap wajah, tapi nggak ada jawaban buat pertanyaan itu. Ellaine masih terus muncul di kepala gue. Dia akhirnya mengizinkan gue buat nyium dia, nyentuh dia... dan sekarang gue harus menjauhi dia?
Lagi?
Mungkin emang takdir gue sama dia penuh rintangan. Gue suka dia, banget. Tapi prioritas gue tetap perusahaan ini, dan gue harus ngejaga bisnis ini apa pun yang terjadi. Nggak boleh ada yang ngalahin tujuan gue, bahkan Ellaine sekalipun.
Tapi kenapa rasanya kayak gini?
Gue ngerasa nggak enak. Gue nggak mau Ellaine mikir gue cuma main-main sama dia. Tapi bagaimana caranya gue ngejelasin ini semua tanpa kedengeran kayak cowok brengsek?
..."Gue cium lo, tapi gue bakal balikan sama cewek gue."...
Kedengeran tolol banget.
Gue juga nggak bisa minta dia buat nungguin gue atau jadi yang kedua. Ellaine nggak pantes diperlakuin kayak gitu.
Pas gue balik ke kantor, nggak kaget lagi pas lihat Maurice udah ada di sana. Dia pake rok hitam ketat, blus putih yang desainnya elegan, heels merah yang matching sama tasnya. Rambut merah panjangnya diikat tinggi.
Dia senyum ke gue. "Maaf soal semua ini."
Gue tahu dia jujur. Dia juga kejebak di situasi ini, sama kayak gue. "Nggak apa-apa. Memang begini cara kerja dunia."
"Gue udah coba ngomong ke bokap gue dari berbagai sisi, gue…"
"Udah, stop," gue kasih dia senyum tipis. "Lo nggak perlu jelasin. Gue kenal lo, gue tahu lo pasti udah nyoba segalanya. Bokap-bokap kita emang nggak gampang nerima perubahan."
Dia hembuskan napas. "Jangan ngomong ke gue. Ini semua ketinggalan zaman banget. Kita kayak masih hidup di era kerajaan atau apa? Bokap yang milih pasangan buat anaknya?"
"Kita bukan anak mereka," gue nyandar di meja, nyilangkan tangan di dada. "Kita cuma aset buat mereka. Sekarang, kita jadi semacam asuransi buat kesepakatan bisnis mereka. Yang mereka butuhin cuma jaminan."
Maurice mendekat, melingkarkan tangannya di leher gue. Wangi parfumnya yang floral langsung menghantam hidung gue.
"Gue lega karena lo yang jadi pasangan gue," mata dia ngunci sama punya gue. "Gue nggak bakal kuat kalau ini terjadi sama orang lain."
Gue elus pipinya. "Gue juga."
Mata gue jatuh ke bibirnya. Gue sentuh pelan pake ujung jari sebelum akhirnya melingkarkan tangan ke pinggangnya.
"Gue kangen lo," bisik gue.
Dia senyum lebar. "Wow, Antari Batari bisa jadi manis juga, ya? Kayaknya kita harus lebih sering putus."
Senyum licik muncul di wajah gue. "Dari satu sampai sepuluh, seberapa kangen lo gue hajar?"
Dia gigit bibir bawahnya. "Sebelas."
Gue nyerah sama dia. Gue cium dia.
Mungkin gue meremehkan seberapa besar sebenarnya gue suka sama dia. Kita udah bareng lebih dari setahun, dan kita saling ngerti karena punya latar belakang keluarga yang mirip.
Bohong kalau gue bilang satu-satunya alasan gue pacaran sama dia cuma karena bokap gue. Gue nyaman sama dia. Gue suka dia.
Seks sama dia juga luar biasa. Waktu pertama ketemu, dia masih perawan, dan ngajarin dia soal seks bikin segalanya jadi lebih gampang, gue bisa membentuk dia sesuai yang gue suka, dan sekaligus tahu apa yang dia suka.
Begitu dia lepasin ciuman, rasa bersalah mulai nyelip di kepala gue. Ellaine muncul lagi di pikiran gue. Tapi gue langsung negur diri sendiri.
Ini dunia gue.
Begini cara kerja semuanya.
Nggak ada ruang buat hal absurd kayak perasaan.
Apa yang gue punya sama Maurice udah cukup.
Praktis, dan dia menarik buat gue. Itu aja yang gue butuhin, situasi di mana gue punya kendali penuh, tanpa kejutan atau risiko.
"Laper?" tanya dia, mundur selangkah. "Liat tuh mata lo, udah berapa hari lo nggak tidur?"
"Gue baik-baik aja," jawab gue, jalan ke balik meja buat duduk lagi di kursi.
"Lo nggak harus ngerjain semuanya sendirian," protesnya. "Lo tau kan lo bisa minta bantuan gue?"
"Gue udah cukup ngerepotin lo dengan desain-desain yang lo review tiap minggu. Makasih buat laporannya, akurat banget, by the way." Gue buru-buru ngomong sebelum dia bisa protes. "Lo bukan karyawan gue, lo tunangan gue."
Gue ngeklik sistem perusahaan buat ngecek beberapa hal.
"Gue malah pengen kerja buat lo," dia mendesah, duduk di meja sebelah gue, nyilangkan kakinya.
Gue muter kursi buat menghadap dia.
"Susah kasih lo kerjaan kalo lo aja udah jadi manajer di perusahaan sebesar punya gue."
Dia mendelik. "Nah, lo lebih tau seberapa berat tanggung jawab itu. Kalo gue salah dikit aja, bisa aja belasan orang kehilangan kerjaannya. Orang-orang yang punya keluarga, anak-anak yang harus mereka nafkahi." Tatapannya beralih ke jendela. "Kadang gue pengen jadi pegawai biasa aja, yang kerja dengan benar dan pulang bawa makanan ke rumah. Gue pengen cuma mikirin diri sendiri, bukan ratusan orang."
"Kalo ada pegawai lo yang denger lo ngomong gitu, mereka bakal nyebut lo nggak tau bersyukur."
Dia menggenggam tangan gue. "Untungnya, lo bukan pegawai gue. Lo ngerti gue."
Gue ngangguk. Dia benar. Gue sama Maurice saling ngerti dengan cara yang bikin gue nyaman banget.
Kenyamanan dan pemahaman. Itu aja yang gue butuhin.
"Gue pergi beli makanan."
"Kok lo punya banyak waktu luang sih?"
Dia kedipin mata sebelum cabut dari kantor.
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔