Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
°
°
°
Di sebuah rumah yang asri, terhampar keindahan alam. Pot-pot bunga berjejer rapi, pepohonan rindang di kedua sisi halaman, dan angin sepoi-sepoi menari di antara dedaunan, menciptakan melodi alami yang menenangkan. Beranda menjadi tempat sempurna untuk bersantai dan menikmati keindahan ciptaan Tuhan.
Rumah Pak Deni terletak di ujung desa, menghadap ke hamparan sawah yang membentang luas. Rumpun padi yang menghijau dan segar menari-nari diterpa angin, menciptakan pemandangan yang menenangkan.
Pagi yang sejuk Pak Deni dan Bunda Marini berbincang ringan di beranda rumahnya, sambil menikmati secangkir teh hangat serta kudapan, seperti pisang, ubi, dan jagung rebus sebagai menu sarapan mereka pagi ini.
"Yah, bagaimana kalau kita mengunjungi anak-anak? Bunda takut Khanza berbuat sesuatu pada menantu kita. Ayah tahu sendiri kan, sikapnya seperti apa?" Bunda Marini mengawali perbincangan. Wajahnya penuh kekhawatiran.
Pak Deni memberikan tatapan lembut pada istrinya seraya menyahut, "Apa tidak sebaiknya mereka menyelesaikan masalahnya sendiri, Bun?"
Bunda Marini menggeleng. "Tidak bisa, Yah! Bunda tidak mau nasib Anaya seperti Risna. Bunda tidak ingin Akmal menjadi duda dan Khanza pasti akan menjadikan celah itu untuk mendekati Akmal."
Ya, Bunda Marini sudah tahu dalang dari gagalnya pernikahan Akmal dan Risna. April yang memberitahu ayah bundanya setelah tidak sengaja menguping pembicaraan Khanza di telepon.
Pak Deni mengangguk lalu menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, kita kunjungi Akmal dan Anaya. Tapi kita harus bijak, agar tidak memperburuk keadaan."
"Kalau begitu, lebih baik kita berangkat sekarang. Bunda tidak ingin Anaya mengalami kesulitan seperti Risna. Kita harus mendukungnya."
Bunda Marini bangun dari duduknya, masuk ke dalam rumah dan menemui April, di kamarnya.
"April, bunda sama Ayah ingin mengunjungi Mas Akmal, apa kamu mau ikut, Nak?"
April menjawab dengan nada sedih. "Yaaah... April tidak bisa ikut dong, Bun. Sebentar lagi ujian dan April tidak mau ketinggalan mata kuliah."
Bunda Marini menepuk lembut bahu putri kesayangannya. "Ya sudah, kapan-kapan jika libur kamu bisa ke sana. Sekarang cepat pesankan bunda tiket pesawat, ya! Bunda mau siap-siap."
Bunda Marini segera bersiap, begitu pun dengan Pak Deni. April datang memberitahu bahwa tiket sudah dipesan dan mereka pun langsung berangkat menuju bandara Adi Sumarmo.
°
Kediaman Akmal
Sementara itu, Akmal terkejut dengan mata terbelalak menatap istrinya yang pagi itu tampak cantik menurutnya. Dia merasakan hangatnya pelukan Anaya yang tiba-tiba, dan lembutnya bisikan suaranya. "Mas Akmal mulai terpesona padaku, ya?" Senyum manisnya membuat hati Akmal meleleh.
"MasyaAllah... kenapa dia tampak sangat cantik? Apakah aku mulai jatuh cinta padanya?" Akmal berkata dalam hati.
"Iya, benar, Nay. Kamu telah membuatku terpesona." Akmal berkata jujur dan membalas pelukan istrinya dengan erat.
Anaya tertawa lembut, dengan mata berbinar. "Hari ini aku merasa bahagia, Mas. Semuanya terasa sempurna."
Mereka berdua menikmati keintiman pagi itu. Akmal menatap intens lalu bertanya, "Apa yang membuatmu bahagia, heum?"
Anaya menggelengkan kepala lalu tersenyum misterius.
Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil, berhenti di depan rumah. Anaya melepaskan pelukan dan bergegas membuka pintu.
"Assalamualaikum." Ersa datang membawa plastik kresek besar di tangannya.
"Waalaikumsalam," sahut Anaya dan Akmal bersamaan.
"Ayo masuk," Anaya menarik lengan Ersa.
Baru saja mereka akan masuk ke dalam, sebuah mobil berhenti lagi di depan rumah. Akmal langsung menghampiri mobil tersebut dan tersenyum lebar. Kemudian meraih salah seorang anak mereka. Baby Zo begitu gembira berada digendongan Akmal.
Anaya dan Ersa saling pandang, lalu tertawa sambil mengangkat bahu.
Arbi turun sambil menggendong Baby Zay. Sedangkan Adzana begitu turun dari mobil langsung menuju bagasi dan menurunkan beberapa plastik kresek beberapa ukuran.
Anaya dan Ersa datang untuk membantu dan langsung membawanya ke dapur. Mereka siap mengeksekusi bahan-bahan yang ada, menjadi makanan yang lezat untuk mereka santap siang nanti.
"Kita masak apa hari ini?" Ersa bertanya sambil mencuci sayuran.
"Masak ayam dan ikan bakar, ditambah sambal sama lalapan kayaknya enak, cocok untuk cuaca cerah begini." Anaya menjawab seraya mencuci ikan.
"Oke, mantap lah itu. Setuju!" seru Adzana.
Ersa menyambung, "Aku urus sambalnya, Anaya tanggung ayam dan ikannya, Adzana siapkan lalapannya!"
Anaya tersenyum, "Bagus, kerja tim!"
Suasana dapur menjadi hangat dan penuh canda. Aroma bumbu rempah mulai memenuhi udara di ruangan itu.
Ersa memperhatikan sekeliling, lalu bertanya, "Nay, di mana tikus kecilmu? Aku tidak melihatnya?"
"Tidur mungkin, aku juga tidak peduli!" jawab Anaya.
Adzana menimpali, "Aku sudah kirim profil dia ke email kamu, Nay."
"Thanks ya, Na." Anaya tersenyum manis menatap Adzana.
"Jangan menatapku seperti itu, aku masih normal." Adzana berseloroh dan membuat kedua sahabatnya tergelak.
Khanza keluar kamar ketika mendengar suara gaduh di dapur. Ia lantas menghampiri lalu berkata dengan ketus. "Bisa tidak sih, suaranya pelan. Hargai privasi orang lain, dong!"
Ketiga sahabat itu saling berpandangan lalu selanjutnya tertawa lebih kencang. Seolah kata-kata Khanza bukanlah apa-apa.
Merasa kesal Khanza kembali bersuara, "Ini di rumah, bukan di hutan! Ganggu saja!"
Anaya mendekat lalu menunjuk dada Khanza dan berkata penuh penekanan, "Yang bilang ini di hutan itu siapa? Kalau kamu merasa terganggu, lebih baik enyah dari rumah ini!"
"Kak Akmal...! Istri Kakak sudah berani kurang ajar sama aku!" Khanza berteriak histeris. Membuat Adzana dan Ersa menahan tawanya.
Akmal yang sedang berbincang bersama Arbi di balkon, bergegas turun ke bawah, dan melihat Khanza tengah bersitegang dengan Anaya istrinya.
Akmal mendekat dan bertanya, "Ada apa lagi ini?"
Melihat Akmal mendekat Khanza langsung mengadu, "Kak, lihat! Dia sudah berani menunjukkan jarinya padaku, bahkan kemarin lusa dia membuatku jatuh terjengkang. Apa itu tidak keterlaluan namanya!"
Akmal memejamkan mata seraya menekan kedua bibirnya kuat-kuat, menahan emosinya yang sudah mencapai di ubun-ubun. Sejak kedatangan Khanza rumahnya tidak pernah tenang, selalu ada keributan dan ketegangan.
"Khanza, kamu bisa nggak sih, sehari saja rumah ini tenang? Mereka sedang memasak untuk makan siang, kamu harusnya membantu bukan malah membuat ulah!"
Tidak mau kalah Khanza pun membalas. "Aku... membantu mereka? Sorry... tidak level!"
Khanza menghentakkan kakinya lalu masuk ke dalam kamar.
Anaya yang sudah memendam geramnya lantas berteriak, "Awas saja kalau sampai kamu ikut makan bersama kami!"
Akmal merangkul Anaya berusaha menenangkan. "Sudah, Nay. Sana kembali ke dapur, lanjut masak. Aku sudah lapar."
Akmal memegangi perutnya sambil tersenyum, tapi itu tidak membuat Anaya luluh. Dengan perasaan kesal dia kembali melanjutkan masaknya, dan Akmal kembali ke lantai atas.
Di balkon Arbi menyambut Akmal dengan pertanyaan, "Ada apa sih, Mal? Naya ribut sama adik sepupumu?"
"Ya, begitulah. Sebenarnya aku tidak enak sama Anaya, tapi aku lihat dia seperti menemukan mainan baru. Ya sudah, aku biarkan saja." Akmal menjawab sambil tersenyum.
"Bagaimana hubunganmu dengan Anaya? Jangan kau gantung dia, kasihan. Tapi aku lebih kasihan lagi, kalau sampai Adzana ngamuk sama kamu." Arbi tertawa renyah sambil mendekap Baby Zay, yang mengantuk.
Akmal mendesah pelan. "Aku sedang berusaha membuka hatiku untuknya. Tapi aku ingin semuanya mengalir seperti air."
Arbi merasa gemas mendengar ucapan sahabatnya. "Seperti air, maksudnya diam-diaman tidak ada yang berinisiatif memulai, begitu maksudmu? Astaga... Akmal! Sejak kapan kamu jadi begini?"
Akmal meniupkan napasnya, matanya menatap Baby Zo yang kini berada di pangkuannya. Lalu membuang pandangan jauh ke jalanan depan rumahnya. Saat itulah dia menyadari ada taxi berhenti di depan rumahnya. Dan dia langsung terbelalak saat tahu siapa penumpang taxi tersebut.
°
°
°
°
°
Kira-kira siapa yang datang ya???🤔
°
Saat ada masalahnya pun nggak berlarut-larut dan terselesaikan dengan baik.
Bahagia-bahagia Anaya dan Akmal, meski ada orang-orang yang berusaha memisahkan kalian.
Semangat untuk Ibu juga. Semangat nulisnya dan sukses selalu💪💪🥰❤️❤️❤️