Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Iya, Dia Fahmi!
"Hasilnya mengarah kepada putra bungsu Bu Fatimah, Bu." Ungkap Kyai Haji Hasan.
Jegerrrrrr....!!!!
Bu Fatimah bagaikan tersambar petir. Hatinya teriris dan merasa tercabik-cabik. Mendengar apa dari hasil petunjuk yang mengarah kepada Putra bungsunya, yaitu Fahmi.
Mengapa harus Fahmi? Mengapa tidak kepada Zidan saja? Mengapa harus membuat sakit hati kepada antara beberapa pihak?
Bu Fatimah seketika terlihat gemetaran, tubuhnya lemas terasa kakinya ingin merosot ke lantai.
"Putra bungsu? Berarti itu adalah Fahmi, Kyai?" Tanya Bu Fatimah kembali untuk memastikan.
"Betul, Bu Fatimah. Apakah ada waktu untuk kita bertemu membicarakan lebih lanjut?" Kyai Haji Hasan sepertinya ingin mensegerakan proses ta'aruf antara Sarah dan Fahmi.
"Nanti akan saya atur kembali jadwalnya ya, Kyai. Karena, Fahmi sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya." Jelas Bu Fatimah.
"Memangnya, nak Fahmi pekerjaannya apa, Bu Fatimah?" Tanya Kyai Haji Hasan dengan penasaran.
"Dia seorang Pilot disalah satu maskapai ternama di Indonesia ini, Kyai. Jadi, butuh waktu lumayan lama untuk menyesuaikan jadwal Fahmi."
"Wah, hebat sekali. Baiklah kalau begitu, Bu Fatimah. Saya tunggu kabar baiknya segera. Kalau begitu, terima kasih sudah bersedia meluangkan waktunya untuk menerima panggilan telepon dari saya." Ujar Kyai Haji Hasan.
"Sama-sama, Kyai. Tidak apa-apa. Selagi saya ada waktu mengapa tidak? Hehehe." Sahut Bu Fatimah.
"Hehehe, Assalamu'alaikum, Bu Fatimah." Ucap salam dari Kyai Haji Hasan kepada Bu Fatimah.
Bu Fatimah pun menjawab salam Kyai Haji Hasan dan kedua panggilan akhirnya terputus.
"Bagaimana, Abi?" Tanya Umi Naima penasaran.
"Abi sudah meminta pada Bu Fatimah untuk membahas lebih lanjut, supaya tidak ada kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Tapi, Bu Fatimah akan menginformasikan segera jika Fahmi sudah mendapatkan jadwalnya. Karena, Fahmi sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya." Jelas Kyai Haji Hasan seraya meletakkan kembali ponselnya diatas meja.
"Memangnya pekerjaannya Fahmi apa?" Sahut Sarah.
"Dia seorang Pilot. Jadi, waktunya sangat sibuk sekali." Jawab Kyai Haji Hasan.
"Pilot? Wah, keren sekali!" Sahut Umi Naima seraya memandang Sarah.
Ekspresi Ibu dan Anak tampak kompak. Dengan mata membulat dan mulut terbuka.
"Iya. Kita menunggu saja ya kabar dari beliau." Ucap Kyai Haji Hasan.
***
"Ada apa, Bu? Kok sepertinya sedang galau begitu?" Tanya Fahmi seraya menuruni anak tangga dengan memperhatikan ekspresi wajah Bu Fatimah yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
Bu Fatimah berjalan kesana dan kemari. Dengan ponsel masih berada dalam genggamannya.
Sampai tidak memperhatikan bahwa Fahmi sudah berada didekatnya.
"Bu, ada apa?" Tanya Fahmi kembali.
"Fahmi, Fahmi.. Ada yang ingin Ibu sampaikan kepadamu, Nak. Bagaimana ini nanti jika menjadi pro kontra pada semuanya." Bu Fatimah tampak cemas.
Fahmi masih belum dapat mengerti apa yang sedang dialami oleh sang Ibu.
"Maksudnya apa sih, Bu? Fahmi tidak mengerti!" Sahut Fahmi.
"Sarah.. Fahmi. Sarah!"
"Iya, Sarah kenapa, Bu? Ada apa dengan, Sarah?" Fahmi menjadi semakin pusing dibuatnya.
"Sarah memilih kamu untuk menjadi calonnya!" Ungkap Bu Fatimah dengan rasa panik yang mendera.
"APAAA..?" Fahmi bagaikan disambar petir disiang bolong.
Perasaan yang dirasakan Fahmi kini tak menentu. Apakah dia harus menolak dan memberontak? Atau kah menerima takdir ini? Lalu, bagaimana dengan Ayana?
"Ibu jangan bicara sembarangan, Bu. Aku tidak bisa melakukannya!" Tegas Fahmi dengan tatapan tajamnya.
"Ibu juga bingung, Fahmi. Harus bicara apa kepada Kyai Haji Hasan. Ibi tidak ingin menyakiti hati Kyai dan Umi. Kyai adalah sahabat Ayah kamu. Bahkan banyak berjasa membantu perekonomian Ayah kamu dulu." Jelas Bu Fatimah.
"Aku tidak peduli, Bu. Aku nanti yang akan bicara langsung kepada Kyai jika aku tidak bisa menerima semua ini. Bagaimana dengan Ayana, Bu? Ini tandanya kita akan menyakiti hati Ayana yang tidak pernah bersalah sedikitpun kepada kita. Aku mencintai dan menyayangi Ayana, Bu." Hati Fahmi begitu kacau.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
Bu Fatimah hanya bisa menangis dan pasrah dengan semua ini. Disatu sisi ia tidak ingin menyakiti hati sahabat suaminya dan disatu sisi ia tidak ingin menyakiti hati Ayana.
"Mengapa Sarah tidak memilih Kak Zidan saja? Yang jelas-jelas masih single dan juga latar belakang mereka sama. Sama-sama anak Pondok Pesantren dan juga dunia paham Pesantren. Sedangkan aku? Jauh berbalik dari Sarah. Seorang anak Kyai dan juga juga pemilik Pesantren!" Jelas Fahmi kembali.
"Sarah sudah melakukan sholat istikharah, Fahmi. Dia melakukannya tiga kali, dan hasil semuanya tertuju kepada kamu." Ucap Bu Fatimah.
"Pokoknya aku tidak bisa! Terserah Ibu dan yang lain ingin berkata apa, aku hanya ingin hidup bersama Ayana saja. Tidak dengan yang lainnya." Tegas Fahmi.
Ia kemudian berjalan menuju kamarnya dan meraih ponselnya.
***
"Kak, bisa bertemu sekarang? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" Fahmi segera menelepon Zidan.
Wajahnya begitu gusar, pandangannya mengedar kemana-mana.
"Ada apa, Fahmi? Kamu dimana?" Tanya Zidan tampak penasaran.
"Nanti aku bicarakan ketika kita sudah bertemu, Kak. Aku ada di sebuah Kafe tidak jauh dari Pesantren. Kakak sendiri saja ya, Ayana tidak perlu tahu. Aku akan segera share location." Ujar Fahmi.
"Oke, tunggu. Aku akan segera kesana!" Jawab Zidan.
Fahmi kemudian memutuskan panggilannya secara sepihak. Ia mengirimkan share locatio kepada Zidan.
Ia mencari tempat duduk yang sedikit jauh dari jangkauan orang-orang. Agar pembicaraannya nanti dengan Zidan lebih private.
Tidak membutuhkan waktu lama, datanglah Zidan menggunakan motor.
Ia mengedarkan pandangannya dan terlihat sedang mencari-cari Fahmi.
Fahmi melambaikan tangannya, Zidan segera menghampiri Fahmi.
"Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa? Tampaknya penting sekali?" Zidan berjalan mendekati Fahmi.
"Wa'alaikumsalam, kakak mau minum apa?"
"Apa saja." Jawab Zidan.
Fahmi memanggil pelayan dan memesan dua gelas jus jeruk.
"Ada apa sih? Mengapa kamu bilang jangan sampai Ayana tahu?" Tanya Zidan penasaran.
"Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Yang jelas, Sarah anak dari Kyai Haji Hasan memilihku, Kak." Jelas Fahmi.
"Apa?" Zidan terkejut bukan kepalang. Matanya membulat. Dahinya mengerut bersatu. Seketika hatinya berkecamuk, ia langsung membayangkan betapa sedih dan hancurnya jika Ayana mengetahui akan hal ini.
"Iya, Kak. Sarah memilihku. Katanya dia sudah sholat istikharah sebanyak tiga kali, namun hasilnya masih tetap sama. Petunjuk mengarah kepadaku. Aku tidak bisa menerimanya, bagaimana dengan pernikahanku, bagaimana dengan Ayana? Aku sangat mencintai dan menyayanginya, kak. Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya Ayana jika dia mengetahuinya." Ungkap Fahmi dengan buliran air yang hampir jatuh dari sudut matanya. Dadanya terasa sesak. Emosinya tidak stabil.
Zidan terdiam, ia sedang mencerna ucapan Fahmi.
"Apakah tidak sebaiknya kita bicara langsung kepada keluarga Kyai saja?" Ujar Zidan.
Ia juga tidak ingin membuat Ayana bersedih akan masalah ini.
"Kapan kira-kira, kak?" Tanya Fahmi.
"Tergantung jadwal kamu, bisanya kapan?" Zidan balik bertanya.
"Aku akan mengatur jadwal terlebih dahulu, kak. Nanti akan segera aku informasikan." Jawab Fahmi.
"Oke!"
Pelayan datang membawa dua gelas jus jeruk.
"Minum dulu, Fahmi. Supaya kamu bisa sedikit rileks. Bismillah, takdir semua sudah diatur oleh Allah. Kita hanya bonekanya saja yang tinggal mengikuti alurnya." Ujar Zidan.
"Mengapa takdirku seperti ini, kak?" Tanya Fahmi dengan perasaan sedih. Tatapannya begitu kosong.
"Sudah aku bilang, takdir ditangan Allah. Bismillah saja. Semua akan baik-baik saja." Zidan berusaha menenangkan Fahmi.
Fahmi dan Zidan menyedot jus jeruk yang ada dihadapannya.
"Nanti kita pikirkan kembali. Kamu jangan banyak pikiran dulu, jaga kondisi kamu." Pesan Zidan kepada Fahmi.
Fahmi mengangguk tanda mengerti.
"Kakak membawa motor siapa itu?" Tanya Fahmi mengalihkan pandangannya kepada motor yang dibawa oleh Zidan.
"Motor Kamal. Tadi aku harus buru-buru. Lagi pula, jarak dari Pesantren kesini kan tidak terlalu jauh." Jawab Zidan.
"Lalu, Ayana sedang apa?" Tanya Fahmi.
"Ayana masih mengajar. Jadi, dia tidak tahu kalau aku pergi." Jelas Zidan.
"Alhamdulillah, kalau begitu, Kak." Sahut Fahmi dengan perasaan sedikit lega.
Zidan menatap wajah Fahmi yang sedikit murung. Dalam hatinya, ia kasihan pada adiknya. Mengapa Fahmi akan menanggung tanggungjawab yang begitu berat diusia yang masih begitu muda.
"Apakah tidak sebaiknya kita beritahukan kepada Ayana terkait hal ini?"
sarahh
udahh lepasin ayana kasian dia