"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 19
Tentu saja, firasat buruk itu tidak hilang. Dia mempercepat langkahnya menuju halte bis,bertekad untuk segera pergi sejauh mungkin dari tempat itu.
Di dalam bis, dia membuka amplop yang diberikan nenek Esme. Alamat rumah itu berada di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
"Baiklah, Ariella. Kurasa sebaiknya kau memulai hidupmu dari sini."
Karena Ariella sudah di kota itu, ia berencana kembali ke rumahnya untuk mengambil beberapa barang-barangnya.
Waktu itu, barang-barang pribadi Ariella yang tertinggal di apartemen Carlton, sudah dikirim ulang ke flat Maria, dan gadis itu membawakan semua barang-barang itu pada Ariella.
"Baiklah, ayo kita pergi!"
Tanpa disadari, di belakang sana. Ariella tengah diawasi oleh salah satu orang Carlton Rutherford dan juga penguntit dari pihak para penagih hutang.
Sekali lagi Ariella dalam bahaya, tetapi gadis itu tidak menyadarinya.
"Aku harus cepat."
Ariella tahu, ia punya beberapa benda kesayangan, benda-benda yang diberikan neneknya, berkas-berkas penting dan segala macamnya, masih berada di rumah.
Sepertinya Ariella juga akan menjual rumah kecil itu dengan harga miring, karena jelas ia tidak bisa hidup di sana lagi.
Di sinilah Ariella berada. Setelah berjalan melalui gang-gang kecil menuju rumahnya dan memastikan wilayah itu tidak diawasi oleh para penagih hutang.
Ariella berdiri, menatap rumahnya yang gelap.
Sudah lama sekali rumah itu mati, sudah lama sekali rumah itu tidak memberikan Ariella kehangatan, cinta, dan juga keamanan.
Malah, rasanya seperti tempat siksaan, sebuah neraka.
Karena ayah dan ibunya adalah peminum berat, mereka kasar dan suka berteriak. Ariella mungkin utuh secara fisik, tetapi di dalam sana ia adalah gadis yang cacat.
"Baik, berhenti mengasihani dirimu. Mari kita ke dalam Ariella, lalu setelah itu kita pergi dari sini untuk selamanya."
Perempuan itu kemudian melangkah masuk.
Kunci rumah yang ia tinggalkan di bawah pot bunga yang tanamannya sudah mati masih berada di tempatnya, lalu ia masuk.
Ingatan-ingatan tentang masa lalunya berkelebat di kepala.
Sepanjang hidupnya, ia menderita.
Sejak remaja, ia sudah bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena orang tuanya hanya melahirkannya saja, tetapi tidak memenuhi kewajiban mereka sebagai orang tua.
Kalau saja tidak ada orang tuanya, Ariella yakin ia mungkin memiliki tabungan yang cukup untuk hidup sendiri dan meneruskan kuliahnya, ia sangat ingin menjadi seorang jurnalis, tetapi Ariella hanya berkuliah selama dua semester ketika bersama Ruben dan lalu memutuskan untuk berhenti karena tidak dapat membagi waktu setelah perceraiannya. Antara harus berkuliah atau bekerja untuk melunasi hutang-hutangnya.
Ibunya menolak memberikan Ariella sedikit pun harta gono-gini yang didapatkannya dari Ruben, dan ia terpaksa mencari uangnya sendiri sementara ayah dan ibunya sibuk dengan dunia kotor mereka.
"Kau beruntung tidak dijadikan pelacur oleh ibumu, Ariella."
Ariella benci Ruben, karena pria itu telah menyia-nyiakannya, tetapi di sisi lain ia bersyukur Ruben menikahinya karena hal itu membuat Ariella bebas dari ibunya yang haus akan uang.
Jika saja Ariella tidak menikah, Maria benar. Ia mungkin akan dijual dan dijadikan pelacur.
"Baiklah, mari kita mulai."
Ariella lantas masuk. Rumah itu sedikit pengap, sofa-sofa yang berada di ruang tamu berjamur karena terkena tetesan air dari atap yang bocor, tidak ada benda berharga di sana, lemari es, apa saja yang setidaknya dapat dijual.
Sudah lama Ariella jual.
Ia berjalan ke kamarnya yang sempit, sama sekali tidak mencoba menghidupkan lampu dan hanya menggunakan senter dari ponselnya.