Update Sebulan Sekali (Opsional)
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca. The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Quantum Core: Pedang Pembunuh Jiwa di Dimensi Teknologi
Adam melangkah keluar dari bayangan, sosoknya tinggi dan gagah dalam balutan pakaian yang tampak seperti perpaduan antara armor divine dan jas modern. Di tangannya tergenggam sebuah senjata panjang dengan laras ganda yang berkilau ditimpa cahaya merah dari langit.
"Baiklah, karena kau begitu tertarik..." Adam mengangkat senjatanya. "Ini shotgun, salah satu varian senjata api. Berbeda dengan senapan biasa yang menembakkan satu peluru, shotgun mengeluarkan banyak peluru kecil yang menyebar - sangat efektif untuk pertarungan jarak dekat."
Arata mengangguk pelan, matanya tak lepas dari senjata di tangan Adam. "Dan semua ini bekerja tanpa energi divine sama sekali?"
"Benar. Hanya kimia sederhana - mesiu, yang ketika dipicu akan menciptakan ledakan terkendali." Adam membuka pengisi peluru shotgunnya, memperlihatkan selongsong di dalamnya. "Mesiu adalah campuran bahan kimia yang sangat reaktif. Saat pemicu shotgun ditekan, jarum pemantik akan memukul bagian belakang selongsong, menyulut mesiu di dalamnya."
"Ledakan terkendali..." Arata bergumam, mengingat sensasi panas yang ia rasakan saat terkena tembakan. "Jadi energi ledakan itulah yang mendorong proyektil?"
"Tepat sekali. Tekanan gas dari ledakan mesiu mendorong peluru dengan kecepatan luar biasa - bisa mencapai ribuan kaki per detik." Adam menutup kembali pengisi pelurunya. "Dan ini baru permulaan. Ada ribuan jenis senjata api berbeda, masing-masing dengan keunikannya sendiri."
"Seperti apa?" Arata bertanya, keingintahuannya semakin terpicu.
"Pistol untuk pertarungan jarak dekat, senapan serbu untuk rentetan tembakan cepat, senapan sniper untuk tembakan presisi jarak jauh..." Adam tersenyum tipis. "Bahkan ada yang bisa menembakkan granat atau roket. Teknologi terus aku kembangkan lewat pengetahuan yang dianugerahkan khusus untuk aku— The Creator terus mengajari untuk menciptakan senjata yang semakin canggih."
"Dan kau, sebagai divine, memilih menggunakan teknologi ini?" Arata mengangkat alisnya. "Bukankah kekuatan divine jauh lebih... superior?"
Adam tertawa pelan. "Kekuatan tidak selalu tentang kehebatan mentah, Arata. Terkadang... efisiensi dan kepraktisan lebih penting. Senjata api tidak membutuhkan energi divine, tidak perlu ritual rumit, dan sangat mudah digunakan. Plus..." ia mengangkat shotgunnya, "ada kepuasan tersendiri dalam menguasai teknologi yang murni diciptakan oleh kecerdasan, bukan kekuatan mistis."
"Hmm..." Arata memejamkan mata sejenak, mencerna informasi baru ini. "Tapi tetap saja, peluru biasa tidak bisa melukaimu atau aku, kan?"
"Ah, itulah bagian menariknya." Adam menyeringai. "Bagaimana menurutmu jika teknologi ini digabungkan dengan kekuatan divine?"
Mata Arata terbuka lebar. "Maksudmu..."
"Ya. Bayangkan peluru yang diisi energi divine, atau mesiu yang dicampur dengan esensi sihir." Adam mengangkat shotgunnya, dan Arata bisa melihat rune-rune kuno berpendar di sepanjang larasnya. "Inilah evolusi sejati - perpaduan antara teknologi dan divine."
Arata mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sesuatu terasa janggal sejak ia melangkah ke dimensi ini. "Adam... mengapa tempat ini begitu... sunyi?"
Adam terdiam sejenak, tatapannya menerawang ke arah gedung-gedung pencakar langit yang menjulang dalam kegelapan. "Kau menyadarinya?"
"Ya, kesunyian adalah hal pertama yang menarik perhatianku." Arata melangkah maju, suara sepatunya bergema di jalanan kosong. "Tidak ada tanda-tanda kehidupan divine yang biasa kurasakan di dimensi lain. Tidak ada monster-monster buas yang mengintai. Hanya... keheningan."
Bayangan gedung-gedung menciptakan lorong-lorong gelap yang seolah tak berujung. Angin dingin berhembus di antara bangunan, membawa aroma logam dan beton yang menggelitik hidung Arata.
"Ada 47 dewa minor di sini," Adam akhirnya bersuara, "mereka tentaraku."
"Oh. Aku pikir kau akan tutup mulut, tidak akan memberikan informasi apapun untuk aku demi melindungi sebagian— seluruhnya," Arata mengernyitkan dahi. "Aku tidak merasakan kehadiran divine sama sekali."
Adam menggenggam shotgunnya lebih erat. "Mereka... tersembunyi. Tidak ada untungnya untuk menyembunyikan sesuatu darimu— bukan berarti kau bisa langsung membuat replika, kota ini dirancang khusus untuk menyembunyikan kehadiran divine. Teknologi yang sama yang membuat senjata ini bekerja, juga mampu menekan dan menyamarkan energi divine."
"Untuk apa?" tanya Arata, masih berusaha memahami situasi ini.
"Keuntungan strategis," jawab Adam sambil berjalan mendekati salah satu gedung. "Dalam perang, kemampuan untuk menyembunyikan keberadaanmu adalah segalanya. Para dewa minor— tentaraku bisa bergerak bebas tanpa terdeteksi oleh musuh."
Arata mengikuti langkah Adam, matanya masih mengamati sekeliling dengan waspada. "Jadi kota ini... seperti kamuflase raksasa?"
"Lebih dari itu," Adam berhenti di depan sebuah pintu baja yang tampak biasa. "Ini adalah benteng yang menyamar sebagai kota mati. Setiap gedung, setiap sudut jalan, semuanya dirancang untuk perang yang akan datang— Termasuk kedatanganmu yang mengancam seluruh dimensi!"
Saat Adam menyentuh pintu itu, rune-rune yang sama dengan yang ada di shotgunnya mulai berpendar redup.
Kata-kata Adam membuat rahang Arata mengeras. Kesombongan dalam nada suara divine di hadapannya ini mulai mengusik kesabarannya.
"The Creator memberikan ilmu khusus untukmu? Sombong sekali!" Arata mendengus pelan. "Kau bicara seolah-olah kau adalah anak emas-Nya."
Adam menoleh, seringai tipis masih tersisa di wajahnya. "Bukankah itu memang kenyataannya? Lihat sekelilingmu, Arata. Semua ini—" ia menggerakkan tangannya dalam gestur luas, "—adalah bukti nyata kepercayaan-Nya padaku."
"Kepercayaan?" Arata tertawa getir. "Atau mungkin kau hanya kebetulan menjadi alat yang berguna untuk-Nya?"
Seringai Adam memudar. Genggamannya pada shotgun mengerat hingga kuku-kuku jarinya memutih. "Hati-hati dengan ucapanmu."
"Kenapa? Takut mendengar kebenaran?" Arata melangkah maju, matanya menatap tajam. "Kau begitu bangga dengan teknologimu, dengan kota rahasiamu, dengan tentara divine-mu yang tersembunyi. Tapi pada akhirnya, bukankah The Creator sengaja memilih mu kemudian kehancuran mu karena ini juga. Kamu mungkin menganggap semua yang kau bangun ini adalah sangkar emas. Untuk dirimu sendiri— tapi tidak," Arata menyebut dirinya yang terpilih dengan pede.
"hanya sedang membangun sangkar emas untuk dirimu sendiri?"
"Kau tidak tahu apa-apa," desis Adam.
"Mungkin," Arata mengangkat bahunya. "Tapi setidaknya aku tidak berpura-pura menjadi kesayangan The Creator."
Udara di sekitar mereka terasa semakin berat. Rune-rune di shotgun Adam berpendar semakin terang, merespon emosi pemiliknya. Pintu baja di hadapan mereka mulai bergetar pelan.
"Masuk," perintah Adam dengan suara dingin, mendorong pintu hingga terbuka. "Akan kutunjukkan padamu seberapa 'berguna' aku bagi The Creator."
Arata tersenyum tipis. Mungkin akhirnya ia akan melihat apa yang sebenarnya tersembunyi di balik topeng kesombongan Adam.
Pintu baja terbuka dengan suara desisan pelan, menampakkan pemandangan yang membuat Arata terpaku. Sebuah hangar raksasa membentang sejauh mata memandang, dengan langit-langit setinggi puluhan meter yang dipenuhi lampu industrial. Namun bukan ukurannya yang mencengangkan—melainkan isinya.
"Selamat datang di arsenalku," ucap Adam, melangkah masuk dengan langkah mantap.
Di hadapan mereka, berbaris rapi puluhan tank yang tampak jauh lebih canggih dari yang pernah Arata bayangkan. Bukan tank konvensional dengan roda rantai besi, tapi kendaraan tempur yang melayang beberapa meter di atas tanah, dilengkapi meriam ganda yang berpendar dengan energi biru. Armor mereka berkilau dengan corak kamuflase digital yang seolah bergerak-gerak, menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
"Zeno-7 Hover Tank," Adam menjelaskan sambil menepuk salah satu tank. "Menggunakan teknologi anti-gravitasi yang digabung dengan sistem pertahanan berbasis divine. Bisa bergerak tanpa suara dan praktis tak terdeteksi radar."
Arata mendongak, matanya menangkap barisan pesawat tempur yang tergantung di langit-langit hangar. Desainnya begitu aerodinamis hingga tampak seperti predator metalik yang siap menukik. Sayap mereka dipenuhi rune-rune yang identik dengan yang ada di shotgun Adam.
"Dan itu?" tanya Arata, menunjuk deretan silinder raksasa di sudut hangar yang memancarkan cahaya keunguan.
"Ah," Adam tersenyum tipis. "Itulah mahkota dari koleksiku. Rudal balistik dengan hulu ledak fusion [Nexus]—perpaduan antara reaksi nuklir dan energi divine murni. Satu rudal bisa menghancurkan sepertiga dimensi dalam sekejap."
Namun yang paling menarik perhatian Arata adalah struktur berbentuk kubah di tengah hangar. Benda itu tampak seperti terbuat dari kristal hitam yang menyerap cahaya, dengan jaringan sirkuit rumit yang berdenyut dengan energi keemasan.
"Quantum Core," Adam berkata sebelum Arata sempat bertanya. "Reaktor yang memanfaatkan celah antara dimensi untuk menghasilkan energi tak terbatas. Sumber tenaga untuk semua teknologi di sini."
Arata melangkah mendekati Quantum Core, merasakan gelombang energi yang terpancar darinya. "Mengesankan," ia mengakui. "Tapi tetap saja, semua ini hanya membuktikan bahwa kau terobsesi menumpuk kekuatan. Bukankah itu justru menunjukkan kelemahanmu?"
"Kelemahan?" Adam mendengus. "Ini adalah masa depan perang antar dimensi, Arata. The Creator memberiku pengetahuan ini karena Dia tahu apa yang akan terjadi. Dan ketika waktunya tiba..." ia mengarahkan shotgunnya ke Quantum Core, "...kita akan lihat siapa yang benar-benar lemah."
Udara di sekitar mereka bergetar dengan tegangan tak terlihat. Di kejauhan, Arata bisa mendengar suara mesin mulai mendengung, seolah arsenal Adam merespon amarah pemiliknya.
"Menarik," Arata tersenyum mengejek. "Tapi kau lupa satu hal, Adam. Semua teknologi ini... tetap saja rapuh. Dan apa yang bisa dibuat..." ia mengangkat tangannya, energi divine murni mulai berpendar di sekitar jarinya, "...bisa dihancurkan." sentuhan Arata memberikan efek penyok yang meluas.
"Menarik..." Arata menggenggam Agroname lebih erat. "Sangat menarik. Tapi kurasa sudah cukup pelajaran teknologinya." Ia mengambil kuda-kuda bertarung. "Tunjukkan padaku seberapa efektif senjata hybridmu itu melawan Agroname."
Adam tersenyum lebar, mengokang shotgunnya yang kini berpendar dengan energi divine. "Dengan senang hati, dewa kegilaan!"
Dentuman pertama shotgun Adam menggetarkan udara. Peluru-peluru yang diselimuti energi divine melesat bagai hujan cahaya keemasan. Namun Arata bergerak dengan kecepatan tak masuk akal, Agroname menari di tangannya, membelah setiap proyektil menjadi serpihan tak berbahaya.
"Kau pikir teknologi divine-mu bisa menandingi pedang pembunuh jiwa?" Arata menyeringai. Mata kanannya berkilat dengan cahaya supernatural, memantulkan seluruh dimensi seperti cermin kosmik. Melalui mata itu, ia bisa melihat setiap detail mikroskopis dari realm Adam - setiap partikel energi, setiap aliran divine, setiap kelemahan.
Adam tidak menjawab. Ia menekan pelatuk di shotgunnya, dan senjata itu bertransformasi. Laras ganda memanjang, rune-rune berpendar lebih terang, mengubahnya menjadi senapan energi. Tembakan beruntun plasma divine menyambar, namun Arata menari di antara laser-laser mematikan itu dengan gerakan yang tampak mustahil.
"Terlalu lambat!" Arata melesat maju. Agroname terayun dalam sabetan mematikan.
Adam melompat mundur, tubuhnya mendadak diselimuti armor divine yang muncul dari ketiadaan. Pedang Arata hanya menggores permukaan armor, namun goresan itu langsung melebar, seolah logam divinenya terinfeksi kegilaan.
"Menarik," Adam mengangkat tangannya. Seluruh hangar bergetar. Tank-tank melayang mulai aktif, meriam-meriam berpendar dengan energi biru. "Tapi bagaimana dengan ini?"
Rentetan tembakan energi memenuhi udara. Arata berputar, Agroname menciptakan pusaran energi darah kecil, [Agil].
yang mementalkan sebagian besar serangan. Namun beberapa tembakan berhasil menembus, menghantam tubuhnya dengan telak.
Asap mengepul dari beberapa luka di tubuh Arata, tapi ia justru tertawa. "Sudah kubilang, teknologimu tak berarti!" Mata kanannya bersinar semakin terang. Melalui mata Sargceva, ia bisa melihat pola serangan tank-tank Adam, bisa membaca aliran energi divine yang mengalir dari Quantum Core.
"Kalau begitu..." Adam mengarahkan shotgunnya ke Quantum Core. "Mari kita lihat bagaimana kau menghadapi ini!"
Tembakan energi murni melesat, bukan ke arah Arata, tapi ke reaktor. Saat energi itu menghantam permukaan kristal hitam Quantum Core, terjadi reaksi berantai. Gelombang energi meledak ke segala arah, menciptakan distorsi realitas.
Namun mata kanan Arata telah memberinya pemahaman sempurna akan dimensi ini. Ia melihat gelombang itu datang dalam gerak lambat, melihat celah-celah di antaranya. Agroname bergerak dalam pola rumit, membelah realitas itu sendiri, menciptakan ruang aman di tengah kekacauan energi.
"Kau masih belum mengerti," Arata melangkah maju, tidak terpengaruh distorsi di sekelilingnya. "Mata ini... mata yang dulunya bagian dunia Adomte aku mentransformasi menjadi eye apocalypse, membuatku bisa melihat segalanya. Termasuk..." ia menunjuk ke arah Adam, "...kelemahanmu yang sebenarnya."
Adam menggertakkan gigi. Seluruh arsenalnya kini aktif - tank-tank menembakkan laser, rudal-rudal meluncur dari sikosnya, pesawat tempur menukik dengan tembakan energi. Seluruh hangar berubah menjadi badai api dan divine.
Tapi Arata bergerak seperti air, mengalir di antara kehancuran. Agroname membelah rudal, memantulkan laser, menghancurkan pesawat. Setiap gerakannya dipandu oleh penglihatan sempurna dari mata kanannya.
"Ini dia!" Arata mendadak muncul di hadapan Adam. Agroname terayun dalam sabetan final. "Kau terlalu bergantung pada teknologimu, pada anugerah The Creator. Tapi aku... aku adalah dewa kegilaan itu sendiri!"
Pedang pembunuh jiwa itu menembus armor divine Adam seperti menembus kertas. Energi kegilaan mengalir dari mata kanan Arata, melalui Agroname, langsung ke jantung targetnya.
Adam terhuyung, matanya melebar saat merasakan jiwanya mulai terkoyak. "Tidak... tidak mungkin..."
Adam terjatuh ambruk, darah divine mengalir dari celah armornya yang retak. Agroname masih tertancap di dadanya, energi kegilaan menggerogoti jiwanya perlahan. Namun di tengah rasa sakit yang membakar, ia melihat sesuatu yang tak terduga di mata Arata - sebersit kebahagiaan.
"Kau tahu, Adam. Tanpamu, aku mungkin tak akan pernah memahami keindahan teknologi divine ini."
Adam terbatuk, mencoba bicara di tengah rasa sakit yang menghujam. "Apa... maksudmu?"
"Setiap detail yang kau tunjukkan padaku beberapa menit lalu- cara kerja Quantum Core, aliran energi divine, bahkan desain tank-tank, atom, pesawat yang sempurna." Arata berlutut di hadapan Adam yang sekarat. "Kau mengajarkanku bahwa teknologi bukan hanya alat. Tapi seni... seni yang bisa dipadukan dengan kegilaan."
Mata Adam melebar saat memahami maksud Arata. "Kau... tidak bermaksud..."
"Ya," Arata tersenyum, tangannya menyentuh permukaan tank terdekat. "Aku akan menciptakan tank yang sama seperti ini, Arata menunjukkan tank Neuxus. Tapi bukan dengan divine." Mata kanannya berkilat penuh determinasi. "Aku akan mengisinya dengan [Water Dew] - dunia kecil yang akan aku rusak selanjutnya. Membuat mesin perang yang memadukan kegilaan dan teknologi."
"Tidak..." Adam meronta, bukan karena rasa sakit di tubuhnya, tapi karena horror yang membanjiri pikirannya. "Kau tidak boleh... itu akan menciptakan kekacauan yang tak terkendali! [Water Dew] dunia kecil yang amat rapuh jika kau menghancurkan demi kekuasaan dan kekuatan maka aku tidak akan memaafkan mu!"
"Itulah tujuanku," Arata bangkit berdiri, perlahan mencabut Agroname. "Menciptakan kekacauan sempurna yang bahkan The Creator tak bisa prediksi."
"Arata... kumohon..." Adam menatap Dewa kegilaan dengan mata berkaca-kaca, penyesalan mendalam terpancar di wajahnya. "Jangan... gunakan... pengetahuan yang kuberikan... untuk ini... Kau akan merusak dunia kecil dan para mahkluk!"
Namun Arata hanya tersenyum penuh horor. "Selamat tinggal, Adam! Dan... terima kasih untuk segalanya."
Adam hanya bisa menatap dalam diam saat tubuhnya, darah dan energi divine mulai diserap pedang Agroneme. Di saat-saat terakhirnya, yang ia rasakan bukan amarah atau kebencian, tapi kesedihan mendalam. Kesedihan karena ilmu yang ia ajarkan dengan tulus akan digunakan untuk menciptakan kehancuran yang tak pernah ia bayangkan.
Saat energi divine terakhir Adam terserap, Arata berdiri sendirian di tengah hangar yang porak poranda. Mata kanannya memantulkan bayangan tank-tank divine [Neuxus] yang akan segera ia transformasi menjadi mesin pembawa kegilaan [Water Dew].
"Inilah akhirnya," Arata berbisik, mata kanannya memantulkan kehancuran dimensi ini seperti cermin apokalipsis. "Selamat tinggal, anak emas The Creator."
Quantum Core meledak dalam dentuman energi divine yang memekakkan, menandai runtuhnya kekuasaan Adam atas dimensi ini. Namun Arata tetap berdiri tegak, mata kanannya menyaksikan setiap detail kehancuran dengan ketenangan yang mengerikan.
Para Dewa Minor, tentara elit Adam berjumlah sekitar 47, bergerak dalam formasi sempurna. Armor divine mereka berpendar dengan energi suci, senjata-senjata mereka teracung siap. Mata mereka memancarkan kebencian saat melihat Arata berdiri di tengah kehancuran.
"Itu dia!" salah satu Dewa Minor berteriak. "Pembunuh Lord Adam!"
"Kurang Ajar!" yang lain menggeram. "Dia telah menodai teknologi divine dengan kegilaannya!"
Arata hanya melangkah maju dengan tenang. Mata kanannya berkilat, memantulkan bayangan ke-47 Dewa Minor dalam dimensi yang berbeda-beda. Melalui mata Sargceva, ia bisa melihat aliran energi divine di tubuh mereka - begitu murni, begitu teratur, begitu... mudah untuk dihancurkan.
"Kalian datang untuk membalas dendam?" Arata mengangkat Agroname yang masih menetes dengan energi divine Adam. "Atau kalian datang untuk mati?"
"Tunggu! Bukankah dia Dewa Kegilaan Arata," salah satunya mulai ketakutan.
Dalam satu kedipan mata, ia sudah berada di tengah formasi mereka menebas— menyerap energi mereka.
apa maksudnya begini,
Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.