Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Humor In The Morning
Keesokan paginya, saat matahari belum sepenuhnya naik, seorang maid berambut pirang keemasan dengan pakaian hitam ketat mendatangi Arata. Dia membungkuk sopan, lalu berbicara dengan suara lembut namun tegas.
"Tuan Arata, Dewi Eika Hetra ingin bertemu denganmu. Ikuti aku."
Arata yang masih lelah akibat latihan semalaman, hanya mengangguk. Dia mengikuti maid itu menelusuri lorong-lorong megah kastil, yang kini terasa berbeda dari malam sebelumnya. Seolah seluruh ruangan telah berubah, atau mungkin persepsinya yang berbeda.
Mereka tiba di sebuah ruangan dengan jendela-jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman dengan air mancur keemasan. Dewi Eika Hetra sudah duduk di sebuah kursi berukir, mengenakan gaun kehijauan yang tampak ringan namun elegan.
"Duduklah," perintahnya lembut.
Arata duduk tanpa banyak bicara. Dia tahu Dewi Eika ingin mendengarkannya, dan dia akan menceritakan segalanya.
"Sebelum aku sampai di Dunia Fablohetra," Arata mulai bercerita, "aku bertemu diriku sendiri di Dunia Endignyu, sosok diriku yang lain benar-benar meremehkan aku — mengatakan sesuatu yang idealis untuk menerima semuanya berdamai tapi pada akhirnya aku menyadari rencana lain untuk tidak langsung berhadapan dengan Noah. Aku tau meski aku menerima — Noah tanpa susah akan langsung membunuhku."
Dia menceritakan pertemuannya dengan versi dirinya sendiri dari dunia lain, bagaimana mereka berbicara, berbagi pengalaman, dan bagaimana sang 'diriku lain' itu memberikan petunjuk untuk mencapai Dunia Fablohetra.
"Di Endignyu," lanjutnya, "aku bertemu dengan sosok yang aneh. Tidak sepenuhnya manusia, tidak pula sepenuhnya makhluk dewa. Dia memberiku petunjuk terakhir untuk sampai di sini, ke hadapanmu."
Dewi Eika Hetra mendengarkan dengan saksama. Sesekali dia menggerakkan jarinya, membuat secangkir teh. Tidak menyuruh, tapi seolah mengundang Arata untuk minum.
Arata meneruskan ceritanya, menjelaskan setiap detail perjalanannya. Tentang Noah yang terus mengejarnya, tentang keinginannya membuat manekin, dan tentang ketakutannya akan masa depan.
Sepanjang cerita, Dewi Eika hanya diam. Tidak bertanya, tidak menyela. Hanya mendengarkan dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dewi Eika Hetra tertawa anggun, suaranya merdu namun mengandung nada kegetiran. "Arata," ujarnya, "sosok dirimu yang lain itu pasti adalah hasil rekayasa Dewi Revalon Tunr. Dia memang terkenal senang membimbing seseorang ke jalan yang salah."
Arata mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Maksudmu?"
"Revalon Tunr adalah seorang Dewi yang senang bermain-main dengan takdir," Eika menjelaskan, jarinya memainkan ujung gaun. "Dia suka menciptakan situasi rumit, menggerakkan makhluk seperti catur, hanya untuk melihat apa yang akan terjadi. Sosok dirimu yang kau temui di Endignyu itu—" dia berhenti sejenak, "—pasti adalah salah satu permainannya."
Dia meletakkan cangkir teh, menatap Arata dengan tajam. "Kau adalah alat dalam permainannya, Arata. Dan kau bahkan tidak menyadarinya."
Arata mengerutkan dahinya. "Tunggu," ujarnya, "mengapa kau bisa menyimpulkan begitu? Apa buktinya?"
Dewi Eika tersenyum, sedikit miring. "Di Dunia Endignyu, segala sesuatu tidak pernah sederhana. Revalon Tunr adalah sosok yang sangat kompleks. Dia memang temanku, tapi dia juga makhluk paling berbahaya yang pernah kukenal."
"Jadi dia memang temanmu?" tanya Arata heran.
"Ya," Eika mengangguk. "Tapi pertemanan kami tidak seperti yang kau bayangkan. Di dunia para Dewi, pertemanan bukan soal kedekatan emosional, melainkan kesepakatan dan kepentingan. Revalon Tunr suka bermain dengan takdir, menciptakan situasi rumit, dan melihat apa yang akan terjadi. Dia menganggap makhluk hidup sebagai pecahan catur yang bisa dia gerakkan sesukanya."
Dia meletakkan cangkir teh, menatap Arata tajam. "Dan kau, Arata, tampaknya baru saja menjadi salah satu bidak dalam permainannya."
"Apa maksudmu?" Arata bertanya, suaranya mengandung campuran kebingungan dan kewaspadaan.
Dewi Eika menyandarkan dirinya di kursi, jarinya membuat gerakan halus yang seolah mengusir bayangan tak kasat mata. "Revalon Tunr tidak pernah melakukan sesuatu tanpa tujuan. Setiap langkahnya memiliki maksud tersembunyi. Dia mendorongmu ke sini, memberimu petunjuk, mengatur seolah-olah kau memiliki pilihan, padahal sejak awal kau sudah berada dalam genggamannya."
Arata meremas ujung bajunya. "Lalu apa tujuannya?"
"Itu yang menarik," Eika tersenyum misterius. "Aku pun belum tahu pasti. Tapi yang jelas, dia ingin sesuatu terjadi. Sesuatu yang melibatkanmu, Noah, dan beberapa kekuatan lain yang bahkan mungkin belum kau sadari."
Dia memberi isyarat pada maid di dekatnya untuk menuangkan teh lagi. "Kau adalah bagian dari permainan yang lebih besar, Arata. Dan Revalon Tunr adalah sutradara utamanya."
Arata terdiam. Untuk pertama kalinya sejak datang ke tempat ini, dia merasa dirinya tidak hanya sekadar pelarian, tapi bagian dari sesuatu yang jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.
"Aku harus apa?" bisiknya hampir tak terdengar.
Eika menatapnya tajam. "Bertahan. Dan berhati-hati."
Arata menelan ludah, mencerna setiap kata Dewi Eika. Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat, hanya terdengar dentingan lembut cangkir teh di atas tatakan porselen.
"Jadi," Arata akhirnya berbicara, suaranya terdengar serak, "Noah tetap akan mengejarku. Dan Revalon Tunr memiliki rencana tersembunyi yang melibatkanku."
Eika mengangguk pelan. "Pada dasarnya, ya."
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Arata, kali ini nadanya lebih tegas. "Aku tidak bisa terus-menerusan berlari. Dan kau sudah menolak membantuku membuat manekin."
Senyum Dewi Eika berubah menjadi seringai tipis. "Siapa bilang aku tidak akan membantumu?"
Arata mengangkat alis, terkejut. "Maksudmu?"
"Aku menolak membantumu membuat manekin dengan cara yang kau inginkan," Eika menjelaskan, "bukan berarti aku tidak akan membantumu sama sekali."
Dia bangkit dari kursinya, gaun hijaunya bergerak lembut mengikuti gerakannya. "Ikut aku."
Arata berdiri, mengikuti Dewi Eika menyusuri lorong-lorong kastil yang tampak berbeda. Setiap langkah mereka membuat bayangan-bayangan aneh bergerak di dinding, seolah-olah ruangan ini hidup dan bernapas.
Mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan cahaya keemasan yang merembes dari jendela-jendela tinggi. Di tengah ruangan, terdapat meja besar penuh dengan sketsa, diagram rumit, dan beberapa benda yang tampak seperti potongan tubuh manusia dalam berbagai tahap pembentukan.
"Inilah cara sesungguhnya," Eika berkata, "bukan sekadar membuat tiruan, melainkan memahami esensi kehidupan itu sendiri."
"Lihat ini," Dewi Eika mengambil sebuah sketsa rumit dari meja. "Manekin bukan sekadar boneka yang menyerupai manusia. Mereka adalah wadah untuk jiwa, untuk esensi kehidupan itu sendiri."
Jari lentiknya menelusuri garis-garis di sketsa tersebut. "Setiap manekin memiliki tiga lapisan utama. Lapisan pertama adalah physical essence—bentuk fisik yang kau lihat. Tapi di dalamnya," dia menunjuk bagian yang tampak seperti rangkaian sirkuit magis, "ada spiritual circuit—jaringan magis yang mengalirkan energi kehidupan."
Arata mendekat, matanya terpaku pada detail-detail rumit di sketsa tersebut. "Dan lapisan ketiga?"
"Soul resonance," Eika tersenyum. "Inilah yang membuat manekinmu berbeda dari boneka biasa. Setiap garis, setiap ukiran, harus mampu beresonansi dengan jiwa yang akan menempatinya."
Dewi Eika berjalan ke sudut ruangan, mengambil sebongkah kristal berwarna keemasan. "Lihat ini. Kristal Essence. Di dalamnya terkandung esensi murni dari berbagai elemen." Dia meletakkan kristal itu di tangan Arata. "Rasakanlah."
Arata merasakan getaran halus dari kristal tersebut, seperti detak jantung yang sangat lembut. "Ini... hidup?"
"Tepat," Eika mengangguk. "Untuk membuat manekin yang benar-benar hidup, kau harus memahami bahwa kehidupan bukan sekadar tentang bentuk atau fungsi. Ini tentang harmoni antara jiwa dan wadah."
Dia mengambil selembar perkamen kosong dan mulai menggambar. "Pertama, kau harus memahami anatomi spiritual. Setiap bagian tubuh memiliki titik-titik energi yang harus terhubung sempurna." Tangannya bergerak cepat, menciptakan diagram rumit. "Lihat ini—titik-titik ini harus saling terhubung dalam pola yang tepat. Satu kesalahan saja, dan resonansinya akan kacau."
"Bagaimana dengan jiwanya sendiri?" tanya Arata.
"Ah, pertanyaan bagus," Eika tersenyum. "Jiwa adalah energi murni yang mencari wadah. Tapi tidak sembarang wadah bisa menampungnya. Wadahmu—manekinmu—harus memiliki karakteristik yang sesuai dengan jiwa yang akan menempatinya."
Dia mengambil sebatang kayu dari meja. "Misalnya kayu ini. Untuk menjadi bagian dari manekin, ia harus diproses dengan cara khusus. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara spiritual." Tangannya bergerak di atas kayu tersebut, meninggalkan jejak cahaya keemasan. "Setiap material harus diberi 'signature' magis yang unik."
Arata memperhatikan dengan seksama saat Dewi Eika mendemonstrasikan proses pemberian signature magis. "Ini seperti... memberikan identitas pada material?"
"Tepat sekali!" Eika tampak senang. "Kau mulai memahaminya. Setiap bagian manekin harus memiliki identitasnya sendiri, tapi tetap bisa harmonis dengan bagian lainnya. Seperti sebuah orkestra—setiap instrumen unik, tapi bersama-sama menciptakan simfoni yang indah."
Dia mengambil sketsa lain, kali ini menunjukkan detail rumit dari wajah sebuah manekin. "Dan yang paling penting adalah ekspresi. Manekin bukan boneka kaku. Mereka harus bisa mengekspresikan emosi. Lihat garis-garis ini," dia menunjuk detail halus di sekitar mata dan mulut. "Setiap lekukan, setiap kontur, harus dirancang untuk bisa bergerak secara alami, merespons emosi jiwa yang menempatinya."
"Ini... jauh lebih rumit dari yang kubayangkan," Arata mengakui.
"Tentu saja," Eika tertawa kecil. "Kau tidak sedang membuat mainan, Arata. Kau sedang menciptakan wadah untuk kehidupan. Ini adalah seni tertinggi dalam penciptaan."
Dia meletakkan tangannya di bahu Arata. "Tapi aku melihat potensi dalam dirimu. Kau memiliki kepekaan yang dibutuhkan. Yang kau perlukan hanyalah pemahaman yang lebih dalam dan... latihan yang sangat, sangat banyak."
Arata mengangguk mantap. "Aku siap belajar."
"Bagus," Eika tersenyum puas. "Mari kita mulai dengan yang paling dasar—memahami aliran energi spiritual dan bagaimana menggambarkannya dalam desain." Dia mengambil perkamen baru dan mulai menggambar. "Perhatikan baik-baik. Ini akan menjadi awal dari perjalanan panjangmu sebagai seorang creator sejati."