Mereka bertemu dalam tujuan masing-masing. Seperti kata temannya dalam hubungan itu tidak ada perasaan yang dipertaruhkan hanya ada profesionalitas semata.
Bersama selama tujuh bulan sebagai pasangan suami-istri palsu adalah hal yang mudah pikir mereka. Tapi apakah benar takdir akan membiarkannya begitu saja?
"Maksudku. Kita tidak mudah akur bukan? kita sering bertengkar dan tidak cocok."
"Bernarkah? tapi aku merasa sebaliknya."
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Ibarat Air Dan Minyak
Mereka saling berpandangan tapi tidak tau apa yang terjadi dengan pikiran mereka masing-masing dan yang pasti Kani tampak terkejut dan khawatir di saat bersamaan karena semua terlihat tidak nyata baginya persis seperti apa yang kini dilihatnya.
Wanita itu membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar. Rasanya seperti setiap kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokannya. Ia hanya bisa berharap pria itu tidak mendengar degup jantungnya yang semakin keras.
Di hadapannya, seorang pria berparas tampan. Wajahnya dihiasi garis-garis tegas, dengan rahang kokoh dan bibir yang jarang tersenyum. Tatapan matanya tajam, seolah mampu menembus pikiran siapa pun.
Badannya tegap dan tinggi sekitar 187 cm memiliki rambut hitam yang ditata rapi. Penampilannya tak kalah mempesona, dia mengenakan three piece suit dengan warna steel grey dipadu kemeja putih di dalamnya dengan dasi warna hitam melengkapi tubuhnya yang proporsional itu.
Aura dingin mengelilinginya membuat siapapun akan berpikir dua kali sebelum berurusan dengannya.
Kani merasakan perasaan tidak biasa dari orang di hadapannya, hanya dengan tatapan matanya saja membuat nyali Kani menciut. Mungkin Chika sepenuhnya benar tentang penampilan pria itu tapi Kani ragu apakah sifatnya bisa ia terima nanti
"Apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?" tanya Baswara penasaran.
"Apa ada sesuatu yang harus aku hindari malam ini?" tanyanya takut.
"Kurasa tidak ada. Jangan terlalu kaku itu saja." Pesan pria itu sepertinya tidak efektif di diri Kani yang sedari tadi sudah sangat gugup.
"Bagaimana jika aku tiba- tiba terlalu takut dan ingin mundur?".
Baswara memicingkan matanya berusaha menebak apa yang ada di pikiran wanita itu, "Kupikir kau adalah tipe pejuang yang tangguh. Apa aku salah?".
"Aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Pastinya wajar jika aku gugup," ucap Kani sambil berbisik takut ada yang mendengar mereka.
"Kau pikir aku sering melakukan hal ini? Orang gila mana yang akan melakukannya berulang kali." Baswara menghela napasnya dan tampak agak jengkel.
"Ada satu hal yang ingin aku tanya, tapi mendadak lupa," ucap Kani jujur mungkin lain kali akan dia tulis satu persatu.
"Mari kita bahas nanti. Untuk malam ini jangan takut, ikuti arahanku maka semuanya akan baik-baik saja." Kani membalasnya dengan anggukan kecil sembari mencuri pandang kearah Baswara yang kini terlihat mengambil sesuatu dari meja dan perlahan berjalan kearahnya.
"Ini pakailah. Pilihanmu bukan?" ucap Baswara sembari menyodorkan kotak cincin yang beberapa waktu lalu dia beli.
Kani yang diam menatap kotak itu, perlahan dibukanya dan ia menatap cincin yang selama ini selalu dia impikan, dimasukkannya perlahan cincin itu kejari telunjuk miliknya, sangat pas. Bagaimana dia tau ukuran jarinya pikir Kani heran.
***
Makan malam itu berlangsung sangat menyenangkan bagi Kani karena keluarga pria itu sangat hangat dan ramah kepadanya kecuali paman dan bibi yang dulu pernah diceritakan oleh Chika kalau hubungan Baswara dengan pamannya kurang baik, banyak konflik terkait masalah posisi hotel yang menjadi pemicu keduanya.
"Katanya kalian teman satu kampus ya? Lantas Kani ada di jurusan apa?" tanya Dira dengan ramah kepada Kani yang bingung dengan pertanyaan itu.
Dia menatap Baswara memohon bantuan tapi nampaknya pria itu malas ikut campur dan hanya duduk manis menatapnya yang juga penasaran akan jawabannya.
"Jurusan sastra bahasa inggris kak," jawab Kani sembari melirik melihat ekspresi Baswara yang kini menatapnya dengan tatapan kosong seakan pikirannya sedang melayang ketempat lain.
Baswara cukup terkesan dengan wanita itu yang mampu berpikir cepat mengarang satu kebohongan. Jika dilihat wanita itu datang dengan persiapan terbaik malam ini.
Dari tempatnya duduk dia memperhatikan wanita itu diam-diam sama seperti di ruang kerja tadi. Ada sesuatu yang menyita perhatiannya.
Hal yang paling memikat dari wanita itu adalah matanya. Sepasang mata berwarna cokelat yang seolah menyimpan seluruh rahasia hidupnya. Sorotnya tajam, penuh percaya diri. Ketika ia berbicara, setiap kata yang keluar seperti telah dipikirkan matang-matang.
Namun ia tau pasti wanita itu tidak sepenuhnya yakin dengan hal yang akan mereka jalani, sama seperti dirinya. Ada keraguan yang menjalar bukan karena kontraknya namun wanita itu, pertama kali bertemu dengannya di ruangan tadi, ada perasaan takut yang dia rasakan, ia takut akan goyah. Buru-buru ditepisnya hal itu, hatinya jelas masih penasaran dengan seseorang yang dulu meninggalkannya. Kini ia mendengar kabar dari orang lain bahwa wanita itu telah kembali dan tinggal menunggu waktu dia akan datang menemuinya.
Setelah acara makan malam itu selesai Kani mengikuti Baswara yang berjalan kearah pintu depan.
"Apa maksudnya kita berdua satu kampus?" tanya Kani sambil berusaha menyamai langkah kaki dari pria tinggi itu.
"Apa kau berharap keluargaku tau soal kontrak kita? Ibuku bisa pingsan mengetahuinya." Kani mencoba memahami segalanya dengan perlahan.
"Mungkin juga hal yang terburuk bisa terjadi. Maksudku harusnya kau merundingkan hal itu denganku agar aku tidak tampak seperti orang bodoh," ujar Kani setengah kesal.
Dibalas Baswara dengan seringai di sudut bibirnya, "Bagiku kau tidak terlihat bodoh, mungkin belum."
Kani pun tak ragu untuk membalasnya, "Apa?! Karena kita bekerjasama sudah pasti harus selaras, kau harus memberitahukan apapun padaku."
Tak mau kalah Baswara dengan malas menimpalinya, "Kau tau, kau terlalu mendalami peranmu. Aku sebagai pemberi kerja dan kau sebagai pekerjanya. Bukankah kau harus fokus pada pekerjaanmu dan berhenti mengurusi hal lain." Kani lalu berhenti di hadapannya sambil mengecek keadaan sekitar takutnya ada yang mendengar perdebatan mereka. Pikir Kani sepertinya mereka tidak akan pernah akur karena tidak ada kecocokan di antara mereka.
"Ini juga bagian dari pekerjaanku. Jika ada yang salah maka reputasiku juga dipertaruhkan. Tolong pikirkan diriku juga."
Baswara menghela nafas sembari memasukkan tangan kanannya ke saku celana sedangkan tangan kirinya menggaruk telinganya yang tidak gatal, "Kalau aku tau kau seberisik ini pasti aku tidak akan memilihmu." Kani melotot mendengarnya. Wah, dasar brengsek! Sudah kuduga pasti kami tak cocok batinnya.
Belum puas lagi, Kani akan membuka mulutnya namun lengannya ditarik Baswara ke arah mobil yang sudah terparkir di depan mereka.
"Ayo kuantar pulang." Sebelum dia sampai ke mobil langkah kaki Baswara terhenti untuk mengecek ponselnya yang berdering.
Ekspresinya berubah saat melihat nama di layar itu Kani yang memperhatikannya juga turut penasaran dan tidak sengaja menatap pada layar yang menampilkan sebuah nama.
Panggilan masuk Hany...
Pandangan Kani lalu beralih ke Baswara dan menoleh pada Jona yang baru saja keluar dari mobil. Baswara yang masih menatap ponselnya mengalihkan pandangannya pada Jona.
"Antarkan dia pulang. Aku ada urusan," ucapnya cepat dan tanpa menoleh pada Kani dia berbalik pergi masuk ke dalam rumah meninggalkan Kani yang berdiri dalam diam memandangi punggung pria itu.
**Note: Bagaimana pendapat kalian tentang novel ini? Apa ada yang perlu diperbaiki atau ceritanya kurang menarik? Silahkan tulis komentar pendapat kalian ya, terima kasih sudah membaca novelku sejauh ini. Nantikan part selanjutnya :)