Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Arin menghampiri Angga. "Ananya nggak mau bukain pintu, ya?" tanya Arin. Angga mengangguk.
"Kamu yang sabar, biarin dia sendiri dulu. Bunda yakin, Ana nggak akan marah lama-lama. Kamu itu sahabat terdekatnya, orang yang paling berarti buat dia. Ana pasti akan mengerti dan mendukung kamu. Dia hanya butuh waktu untuk menerima keadaan kalau kau akan pergi jauh," ucap Arin, memberi semangat pada Angga yang terlihat lesu.
"Iya, Bunda. Angga ngerti. Angga juga salah karena tidak bilang dari awal sama Ana dan Ana harus tahu dari orang lain. Ana pasti kecewa sama Angga." Angga akhirnya pasrah.
Arin lalu mengajak Angga turun dan duduk di ruang keluarga. "Ga, nggak usah lemas gitu, dong! Nanti Bunda bantu bicara sama Ana. Sekarang yang penting kalian harus sama-sama dewasa, saling pengertian juga saling support. Sebentar lagi kalian mau lulus, fokus kuliah buat masa depan. Kamu kapan berangkat?" tanya Arin.
"Tiga hari lagi," jawab Angga.
"Oh, gitu. Berati kamu nggak akan ikut acara wisuda, ya?"
"Nggak, Bunda."
"Kamu di sana nanti, jangan lalai sholatnya, harus bisa jaga diri jangan sampai terbawa pergaulan bebas, belajar yang rajin. Ingat Mama, Papa yang nunggu kamu pulang, ingat Bunda sama Ayah juga, kami akan kangen kamu, apalagi Ana, dia pasti akan sangat kehilangan."
"Iya, Bunda. Angga janji akan selalu ingat nasihat Bunda. Angga titip Ana, dia suka lupa makan kalau lagi serius belajar."
Arin terkekeh. "Kamu itu lucu, Ga. Masa nitip Ana sama orang tuanya?"
Angga tertawa canggung. Arin benar, Angga hanya spontan berkata seperti itu. Angga lalu pamit pada Arin.
Wanita paruh baya itu memeluk Angga yang sudah seperti anaknya sendiri. "Semoga kamu sukses," ucapnya.
"Amin, terima kasih, Bunda." Angga lalu mencium tangan Arin dan keluar dari rumah Ana.
Sementara itu, Ana duduk di pinggir tempat tidur. Ia kesal karena Angga langsung pergi. "Kenapa nggak terus bujuk, sih? Masa segitu doang usahanya?" Ana terus menggerutu kesal.
Ana lalu kembali berbaring dengan posisi kaki menjuntai ke lantai. "Sebenarnya gue udah nggak marah, Ga, tapi gue sedih lo pergi," gumamnya.
***
Angga masuk ke kamarnya. Ia langsung membuka jendela dan berdiri di balkon. Matanya menatap ke arah balkon kamar Ana. Pada saat yang sama Ana baru saja membuka jendela dan keluar dari balkon. Ia lalu menoleh ke kamar Angga. Tatapan mereka pun bertemu.
Angga menahan napas untuk sesaat. Mereka saling diam seolah bicara lewat tatapan. Masing-Masing tidak ada yang melepaskan pandangan. Mereka terpaku tak bergerak. Tak ada yang berkedip. Angga takut jika berkedip Ana akan hilang dari pandangan, ia rindu sahabatnya itu.
Namun, apa daya, Ana lebih dulu memutuskan pandangan lalu pergi masuk ke kamarnya dan menutup jendela. Angga menghela napas panjang. Sampai kapan Ana akan marah padanya?
Angga tak lagi ingin berada di balkon. Ia kembali ke kamar. Angga duduk di kursi belajarnya, mengambil selembar kertas juga pena. Ia menuliskan isi hatinya. Selesai mencurahkan isi hati, Angga memasukkan kertas itu ke dalam amplop lalu ia masukkan ke dalam laci meja belajarnya.
Arin datang menemui Ana di kamar. "An, boleh Bunda masuk?" tanya Arin seraya mengetuk pintu. Walau itu kamar anaknya, Arin tetap menghormati privasi si empunya kamar.
"Masuk aja, Bunda," sahut Ana dari dalam.
Setelah mendapat izin, Arin membuka pintu lalu menghampiri putri kesayangannya karena Arin adalah anak satu-satunya. Ia duduk di samping Ana.
"Kenapa masih belum mau menemui Angga? Kamu masih marah?" tanya Arin lembut.
Ana yang semula duduk bersandar sambil bermain ponsel, menegakkan badannya lalu meletakkan ponsel itu di samping. "Ana nggak marah sama Angga. Ana cuma sedih aja Angga mau pergi jauh. Kita nggak akan ketemu lagi dan parahnya aku harus tahu dari orang lain. Ana merasa jadi sahabat yang buruk. Masa Angga mau pergi Ana nggak tahu apa-apa," keluh Ana.
Arin membelai rambut Ana. "Kan Angga udah bilang, dia nggak mau konsentrasi kamu terganggu jadi, dia mau ngomong pas abis ujian, tapi ternyata keduluan sama Gendis. Maafin dia. Angga sebentar lagi bakal pergi, dari pada kalian marahan mending kalian senang-senang, buat momen bahagia untuk dikenang," ucap Arin menasihati Ana.
Ana terdiam, meresapi perkataan bundanya. "Nanti kalau dia pergi dan kamunya masih marah, kamu nggak bakal nyesel? Dia pergi lama, lho! Nggak tahu kapan kalian ketemu lagi?" tambah Arin.
Melihat Ana yang masih diam, Arin menyerah. "Terserah kamu aja, deh! Bunda udah nasihatin kamu. Masa cuma masalah sepele persahabatan kalian bertahun-tahun hancur gitu aja? Harusnya sebagai sahabat kamu yang pertama dukung Angga, memberi semangat, selalu ada di samping dia dalam keadaan apa pun. Ini malah nyuekin di saat penting, sahabat apa begitu?" cibir Arin.
Wanita itu lalu pergi dari kamar Ana. Meninggalkan Ana sendirian. Gadis itu kini termenung, perkataan sang bunda menusuk hatinya. Terlintas kepingan-kepingan memori ketika Angga dan Ana bersama dari kecil hingga sekarang.
"Gue, jahat banget!" tak terasa bulir bening membasahi pipinya. Ia sadar apa yang dilakukannya salah.
...----------------...
"