Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Home Sweet Home
Adrian kembali ke kediaman lamanya, ia sengaja menemui Bapak Mulyadi di sana. Ia ingat ucapan Akasia, memang ia perlu mempersiapkan tempat tinggal sendiri kalau-kalau kutukan ini mendadak musnah seutuhnya. Kemarin Akasia panik ketika pemuda itu sempat tidak berhasil berubah menjadi boneka, dan ia paham kepanikannya itu.
‘Untuk mempersiapkan tinggal sendiri aku perlu biaya.’ Adrian teringat brankas peninggalan orangtuanya di kamar utama. Itu bisa menjadi sumber dananya. Ia tidak bisa terus berharap pada uang pemberian Akasia, harga dirinya sebagai laki-laki tidak mengizinkan.
Maka setelah diam-diam membuka brankas di kamar orangtuanya, Adrian berhasil menemukan beberapa batangan emas, surat investasi orangtuanya, dan beberapa surat penting untuk dibawanya sebagai bekal.
Ia berdiri di ruang tengah rumahnya demi memperhatikan kumpulan perabot yang tertutup kain, lalu menyingkap satu per satu kain yang menutupinya. Ia mengecek kondisi berbagai perabotan di ruangan itu satu per satu. Hampir semua meubel di rumah itu menggunakan kayu jati, jadi umumnya masih dalam kondisi baik, hanya cat, bantalan atau engselnya saja yang rusak atau lapuk karena usia. Bapak Mulyadi menghampirinya dan mulai ikut mengecek.
“Maaf, Pak. Bapak tahu kan saya keturunan pemilik rumah ini?” Adrian memulai niatnya, “Boleh saya memperbaiki meubel-meubel di rumah ini?”
Bapak Mulyadi mengangguk, “Oh boleh, Nak. Berarti harus dibawa ke tukang meubel ini, bisa ini dibuat seperti baru,” ia menyarankan, “Cuma kalau sebanyak ini akan mahal, Nak.”
“Bapak bisa bantu saya mengurusnya?” Adrian meminta tolong sambil menyerahkan satu batang emas peninggalan orangtuanya, beratnya satu kilogram. Di zaman Adrian hidup dulu emas seperti ini belum terlalu mahal dan berharga. Bapak Mulyadi terkejut melihat apa yang dipegang Adrian.
“Tapi itu emas zaman VOC loh, Nak, bersejarah, apa nggak apa-apa?” Ia seperti langsung paham tugasnya.
“Saya percaya Bapak. Uangkan saja, nanti kalau ada sisa sekalian kita pugar bagian dalam dan luar rumah ini. Kalau kurang bilang aja ke saya, Pak, nanti saya tambahkan. Begitu boleh kan?” Adrian tersenyum menenangkan.
Ia memegang tas selempang hitam yang dipinjamnya dari Akasia. Di dalamnya telah tersimpan batangan emas lainnya, dokumen dan surat berharga yang ia temukan, termasuk surat rumah itu. Sekarang ia resmi jadi pemilik rumah itu lagi, “Mohon bantuannya ya, Pak, supaya rumah ini layak ditempati lagi.” Pemuda itu berpesan.
“Wah kalau begini sepertinya saya perlu bantuan anak saya, boleh saya panggil?" Bapak Mulyadi meminta izin Adrian, tentu pemuda itu tidak keberatan. Setelah Bapak Mulyadi menelepon seseorang, beberapa waktu kemudian datang seorang pemuda umur 24 tahunan, “Nah, itu anak saya, Surya, sini!” Bapak Mulyadi memberi isyarat untuk mendekat.
Adrian berkenalan dengan Surya, pemuda itu bekerja mengelola pabrik minuman lama peninggalan Kakek-Neneknya. Surya kelihatan cerdas dan bisa diandalkan. Pemuda itu antusias mengenai rencana Adrian memugar kondisi rumah itu, setidaknya agar tidak lagi usang dan layak ditinggali. Ia tahu apa saja yang harus dilakukan dan siap membantu mengurusnya.
Bapak Mulyadi mengundang Adrian ke rumahnya yang ternyata besar. Pemuda Belanda tersebut tidak menyangka Bapak itu dari golongan berada. Mereka berdua duduk di sofa rumah tersebut, saling berhadapan.
“Jadi beginilah kediaman saya.” Beliau berbasa-basi, sementara anaknya menyajikan minuman untuk Adrian. Sebotol minuman limun yang desain botolnya tampak kuno, seperti minuman dari jaman kolonial yang biasa Adrian temui dulu, “Ini minuman kebanggaan keluarga kami. Kami hidup dari memproduksi minuman ini.”
“Wah, saya jadi nostalgia nih, Pak,” pria Belanda itu kelepasan, “Eh, maksudnya minumannya terkesan jadul ya, Pak, kayak diproduksi di zaman kolonial dulu.” Ia meralat.
Bapak Mulyadi menatap pemuda pirang di depannya lekat-lekat. “Bapak Frederick Van Ankeren dan Ibu Anneke Frelier adalah penghuni terakhir rumah Belanda itu,” beliau menginformasikan tiba-tiba tanpa diminta. Adrian tertegun, namun ia mengontrol ekspresinya agar tidak terlihat terkejut. “Setelah putra mereka hilang, mereka sempat mencari lama sampai akhirnya menyerah dan kembali berlayar ke Belanda, putri mereka sudah mereka kirim ke Belanda duluan supaya sekolah disana.”
Informasi dari Bapak Mulyadi cukup menjawab rasa penasaran di hati Adrian mengenai kabar anggota keluarganya selepas ia dikutuk menjadi boneka.
“Sejujurnya, saya percaya kamu itu putra mereka yang hilang. Cara kamu berjalan di rumah itu nggak kayak pertama kalinya kamu kesana. Kamu seperti terbiasa berjalan di dalamnya. Saya nggak tahu dan nggak perlu tahu gimana kamu muncul di jaman ini, kamu nggak perlu menjelaskan,” Bapak Mulyadi menegaskan, membuatku terdiam, bingung harus merespon bagaimana. Intuisi Bapak ini kuat sekali sampai-sampai aku dengan mudahnya ketahuan, “Karena itu saya membiarkan kamu mengambil alih pengelolaan rumah itu, memang sudah waktunya saya memberikan kembali amanah ini ke pemiliknya.”
Adrian tersentuh, ia merasa sangat berterima kasih dengan sikap pengertian pria paruh baya di depannya. “Terima kasih Pak Mulyadi, ini sangat menolong saya.” Ia tersenyum penuh arti, “Kalau begitu saya juga mau bertanya mengenai kemana saja aset keluarga saya, seperti perusahaan, perkebunan, dan terutama pabrik, Bapak tahu?” Adrian tahu ia harus mencari peluang untuk kembali menghasilkan uang sebagai persiapan kehidupannya ke depan.
Bapak Mulyadi menceritakan panjang lebar. Perusahaan dan pabrik keluarga Van Ankeren sempat berpindah ke tangan pemerintah Indonesia namun tutup karena bangkrut. Sementara perkebunan telah diambil alih pemerintah Indonesia karena tidak memiliki pemilik di Indonesia.
Bapak Mulyadi lalu menghela napas, “Sebenarnya ada satu usaha yang tersisa.” Mendengarnya Adrian jadi antusias, ia mencondongkan tubuhnya kedepan untuk menyimak dengan seksama, “Kamu tahu kan usaha pabrik minuman milik keluarga saya? Sebenarnya itu usaha kerjasama keluarga kami dengan keluarga Van Ankeren. Kesepakatannya keluarga Van Ankeren sebagai pemilik modal akan menerima 50% dari keuntungan perusahaan ini. Selama ini saya kira nggak ada ahli waris, sekarang karena kamu muncul, saya akan memberi komisi yang sudah saya pisahkan untuk keluarga kamu.”
Kemudian Bapak Mulyadi memanggil Surya untuk menjelaskannya. Mereka berbincang alot, lalu Bapak itu menunjukkan sebuah dokumen lama yang menuliskan kesepakatan yang dimaksud.
“Sejujurnya usaha kami sebenarnya sudah menurun, karena perkembangan zaman, sekarang banyak minuman serupa. Produk minuman kami jadi kurang peminat, kami cuma mengandalkan penjualan di kedai kami, itu pun dari pembeli langganan aja.” Surya menjelaskan.
Adrian berpikir sejenak, “Boleh saya ikut serta mengembangkan produk ini? Saya akan berusaha meningkatkan penjualan produk.” Pria Belanda itu meminta izin kepada Surya dan bapaknya yang ada di hadapannya.
“Boleh aja, karena berdasarkan kesepakatan, sebetulnya keluarga kamu terhitung pemilik perusahaan ini juga.” Bapak Mulyadi mempersilakan.
Adrian memperhatikan dengan seksama botol kaca dari minuman yang dipegangnya, “Oke, kita mulai dengan merubah kemasan. Untuk memperluas distribusi kita menggunakan botol plastik atau kemasan pack, jadi bisa kita kirim keluar pulau.” Ia tersenyum optimis.
Surya mencatat ucapan dari Adrian.
“Lalu untuk pembeda dengan minuman sejenis di pasaran, kita gunakan gula stevia. Kita labeli produk ini sebagai minuman sehat. Untuk variasi rasa juga kita perbanyak, bukan cuma sari lemon, kita juga membuat sari buah dari timun, terong belanda, belimbing, dan sirsak.” Adrian mengungkapkan idenya, “Surya, kamu juga gunakan sosial media kamu untuk promosi dan gunakan berbagai marketplace untuk menaikkan penjualan. Kita juga akan mengincar pameran UMKM di sekitar Jakarta untuk memperkenalkan produk kita ini. Dan ingat, kita pertahankan naturalitas tanpa pengawet dan pewarna, jadi kita maksimalkan kualitas kemasannya agar bertahan lama."
“Aneh banget pilihan buahnya.” Surya heran.
“Justru karena aneh, kita bisa menyingkirkan saingan. Kita akan menjadi satu-satunya.” Adrian tersenyum penuh rencana.
“Coba kepalanya lebih tegak sedikit. Tersenyum sedikit, jangan terlalu lebar.” Surya mengarahkan Adrian yang duduk tegak di bangku di depan latar tembok putih. Surya menekan tombol potret dari kamera SLR-nya, “Nice, nanti kalau dokumen-dokumen dan kartu identitas kamu sudah jadi, saya kabari.” Janjinya. Mereka berdua pun bertukar nomor ponsel.
“Terima kasih banyak Surya, kalau begitu saya pamit dulu,” Adrian mengundurkan diri.
“Biar saya antar,” Surya membawa kunci mobilnya serta untuk mengantar Adrian. Pemuda Belanda itu sempat menolak karena segan, namun akhirnya setuju. Ia meminta diturunkan agak jauh dari rumah Akasia untuk menghindari kecurigaan.
Selepas mobil Surya pergi, Adrian menyelinap masuk kembali ke kamar Akasia. Di rumah pun Adrian masih sibuk memikirkan strategi penjualan, ia mencatatnya dalam sebuah buku catatan.
semangat /Good/