NovelToon NovelToon
CINTA Di Ujung PISAU

CINTA Di Ujung PISAU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Rmaa

Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.

Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.

bagaimana kelanjutannya?

silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.

mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you

selamat membaca


see you 😍

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Saat mereka tiba di kafe tempat Axel menunggu, suasana di dalamnya terasa sedikit tegang. Ryan dan Elina melangkah masuk, dan Ryan segera melihat Axel duduk di sudut, wajahnya tampak serius. Ketika Axel melihat Elina, ekspresinya langsung berubah menjadi tidak senang.

"Ryan, kenapa kamu membawa dia kemari?" Axel langsung mengeluarkan protesnya, nada suaranya dingin.

"Aku butuh bicara denganmu tentang hal penting, dan kehadiran Elina di sini sama sekali tidak pantas."

Elina bisa merasakan ketegangan di udara. Dia menahan napas, berusaha untuk tidak merasa terintimidasi oleh sikap Axel. Meski mereka sudah saling mengenal, Axel selalu terlihat lebih dominan dan tidak segan untuk menunjukkan ketidaknyamanannya.

"Axel, ini bukan hanya tentang kita," kata Ryan, berusaha mempertahankan ketenangan.

"Elina ada di sini karena aku memintanya. Kami baru saja berbicara, dan aku ingin dia ikut."

Axel menggelengkan kepala, jelas merasa tidak senang dengan keputusan Ryan. "Kamu tahu ini bukan saat yang tepat. Ada hal serius yang harus kita bicarakan, dan aku tidak ingin ada orang lain di sini. Ini bukan urusan pribadi."

Elina merasa terjepit di antara dua pria tersebut. Dia tidak ingin menjadi beban atau penghalang, tetapi dia juga tidak ingin membuat Ryan merasa tertekan.

"Mungkin aku bisa pergi," kata Elina, suaranya lembut namun tegas. "Jika ini lebih penting, aku tidak ingin mengganggu."

Ryan menatap Elina dengan cemas.

"Tidak, Elina. Aku ingin kamu di sini." Dia berusaha untuk mendamaikan situasi ini.

Axel mendesah frustrasi.

"Ryan, kamu harusnya tahu bahwa ini bukan cara yang tepat untuk mengatasi hal ini. Kita perlu fokus pada masalah yang ada, dan kehadiran Elina hanya akan membuat segalanya lebih rumit."

Elina merasa hatinya sedikit sakit mendengar kata-kata Axel, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang.

"Saya akan pergi jika itu yang terbaik," katanya, menatap Ryan dengan harapan dia akan mengerti posisinya.

Ryan tidak ingin Elina merasa tidak nyaman, tetapi dia juga tidak ingin kehilangan kepercayaan diri di hadapan Axel.

"Tunggu, Elina," katanya, "Mungkin kita bisa menemukan cara untuk membuat ini nyaman untuk semua orang."

Dia berusaha mencari solusi, tetapi ketegangan di antara mereka bertiga semakin meningkat. Axel masih terlihat skeptis, sementara Elina merasa semakin tidak berdaya.

Elina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Meskipun hatinya berdebar karena ketegangan antara Ryan dan Axel, dia tahu dia tidak ingin menjadi penghalang. Dengan berat hati, dia memutuskan untuk duduk di antara mereka, berusaha terlihat tenang meskipun suasana hatinya berantakan.

Ryan dan Axel mulai membahas topik yang penting, tetapi Elina merasa seperti berada di luar percakapan. Dia berusaha untuk tetap fokus, tetapi kata-kata mereka terasa seperti gelombang yang mengalir tanpa bisa dia tangkap sepenuhnya. Dia pura-pura tidak mendengar, mencoba mengabaikan ketidaknyamanan yang menyelimuti mereka bertiga.

"Ryan, kita perlu segera mengambil keputusan tentang proyek itu," Axel berkata dengan nada tegas.

"Jika kita tidak bertindak cepat, kita bisa kehilangan peluang besar." Dia berbicara dengan penuh keyakinan, seolah-olah tidak ada yang berubah di sekitarnya.

Elina menatap meja, bermain dengan ujung jari di atas permukaan kayu. Dia merasa seolah berada di dunia yang berbeda, terjebak dalam ketidakpastian dan kebingungan tentang apa yang harus dia lakukan. Dia tidak ingin mengganggu Ryan, tetapi dia juga merasa tidak nyaman berada di sini, terjebak dalam ketegangan antara keduanya.

Ryan mencoba untuk menjelaskan posisinya.

"Aku tahu, Axel, tapi kita juga perlu memperhitungkan pendapat tim. Ini bukan hanya keputusan kita berdua." Dia berusaha menjaga suasana tetap profesional, tetapi Elina bisa merasakan ketegangan di suaranya.

Axel mengerutkan dahi, tampak semakin frustrasi.

"Kita tidak punya waktu untuk diskusi yang panjang. Ini adalah keputusan strategis. Kita harus bertindak sekarang." Nada suaranya semakin mendesak, seolah-olah dia tidak peduli siapa yang mendengarnya.

Elina merasa terjepit di antara mereka. Dia ingin berkontribusi, tetapi situasi ini membuatnya merasa tidak berdaya. Dia berusaha mengalihkan perhatian dengan menatap jendela, melihat kendaraan melintas di luar. Dia berharap bisa menemukan cara untuk mengubah suasana, tetapi saat itu, semua terasa sulit.

Mengetahui bahwa mereka tidak akan menemukan solusi dalam suasana tegang ini, Elina memutuskan untuk menyimpan pikirannya sendiri. Dia akan duduk di sana, mendengarkan, dan berharap semuanya akan segera membaik. Namun, di dalam hatinya, dia merasa semakin jauh dari kedua pria tersebut, terasing dalam kebisingan yang tidak diinginkannya.

Saat Ryan dan Axel membahas proyek mereka, suasana tegang mulai terasa. Axel, dengan sikap dinginnya yang khas, langsung ke intinya.

"Ryan, ada hal yang lebih penting dari proyek ini. Ingat Daniel? Sahabat kita dulu?"

Ryan mengangguk, wajahnya berubah serius. Elina, yang duduk di antara mereka, hanya mendengarkan tanpa mengerti. Nama Daniel asing baginya. Ia merasa semakin tidak nyaman di tengah ketegangan yang semakin terasa.

Axel melanjutkan dengan nada datar.

"Dia terlibat dalam perdagangan manusia. Aku baru dapat informasi ini."

Elina terkesiap. Meskipun ia tak mengenal Dimas, kata-kata

"perdagangan manusia" cukup untuk membuatnya merinding. Ia merasakan ketegangan di antara kedua pria itu, tetapi sikap dingin Axel membuatnya merasa seperti pengamat yang tak diinginkan.

Ryan menghela napas.

"Bagaimana bisa? Daniel...?"

Axel tetap dingin.

"Sumberku terpercaya. Aku perlu bantuanmu untuk menangani ini. Ini bukan urusan yang bisa diabaikan." Ia menatap Elina sekilas, kemudian kembali fokus pada Ryan. Sikapnya yang acuh tak acuh terhadap kehadiran Elina semakin terasa. Seolah Elina hanyalah sebuah perabotan di ruangan itu.

Elina merasa semakin canggung. Ia berusaha untuk tetap tenang, tetapi rasa tidak nyaman dan sedikit ketakutan mulai menguasainya. Ia ingin pergi, tetapi ia juga tidak ingin meninggalkan Ryan sendirian menghadapi masalah serius ini.

Ryan menatap Elina sebentar, kemudian kembali menatap Axel.

"Aku akan membantumu. Tapi aku perlu tahu lebih banyak detail."

Axel menjelaskan detail yang ia ketahui, sementara Elina hanya mendengarkan, merasa seperti seorang penonton dalam drama yang menegangkan. Kehadirannya di sana seolah tak berarti, diabaikan oleh kedua pria yang tengah menghadapi masalah besar. Sikap dingin Axel semakin memperkuat perasaan terasing itu. Elina merasa ia hanya menjadi penghalang, sebuah detail yang tak penting dalam situasi yang serius ini. Ia hanya berharap pembicaraan itu segera selesai, sehingga ia bisa pergi dan menenangkan dirinya.

.

.

.

lanjut yah

See you😍

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!