Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
°
°
°
Akmal melajukan mobil menuju kantor Bagaskara Group, tekadnya kuat untuk menuntaskan masalah yang terjadi. Mereka harus diberikan pelajaran sebab telah berani melakukan tindak kekerasan terhadap Anaya, istrinya.
Sebagai suami, Akmal merasa bertanggung jawab penuh atas keselamatan Anaya. Dia tidak ingin mengecewakan Anaya yang telah mempercayainya dan melepaskan keluarganya dari kesulitan.
Akmal tiba di kantor Arbi, dia langsung menuju ruangan sahabatnya melalui lift khusus. Arbi terkejut melihat Akmal datang menemuinya.
"Tumben pagi-pagi datang kemari? Apa ada sesuatu?" Arbi bertanya, penasaran.
Akmal menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku butuh bantuanmu, Ar."
Arbi mengerutkan kening. "Biasanya kamu menelepon. Apa yang terjadi?"
Ekspresi Akmal berubah serius. "Anaya dianiaya semalam. Pelakunya adalah karyawan di sini."
Arbi terkejut, lalu menegakkan tubuhnya. "Karyawan di sini? Siapa mereka?"
Akmal menatap Arbi dengan mata tajam. "Risna dan teman-temannya."
Ruangan menjadi sunyi. Akmal memperlihatkan rekaman CCTV dari ponselnya. Arbi langsung menghubungi bagian HRD. "Saya butuh kehadiran Anda sekarang juga!" perintahnya tegas.
Dengan langkah tegap, Kepala HRD langsung mendatangi ruangan CEO Arbani.
"Selamat pagi, Tuan Arbani. Anda memanggil saya?" tanya Kepala HRD.
Arbi mengangguk. "Silakan duduk, Pak."
Setelah duduk, Arbi memperlihatkan rekaman CCTV. "Perhatikan baik-baik. Saya yakin Anda tahu mereka."
Kepala HRD memperhatikan rekaman tersebut. "Mereka dari divisi pemasaran dan keuangan, Pak."
"Bagus," kata Arbi tegas. "Panggil mereka ke ruangan meeting sekarang juga."
Sementara itu, Akmal mengirimkan pesan kepada Haris, temannya. "Tolong datang ke alamat ini. Saatnya melakukan tugasmu sekarang!"
Tak lama kemudian, Haris dan rekannya tiba di kantor Bagaskara Group, menggunakan lift khusus untuk menghindari spekulasi.
Di ruangan meeting, Risna dan empat temannya duduk berjejer di depan meja bulat, terlihat gelisah. Apalagi dengan kedatangan polisi, semakin menambah kecemasan di benak mereka.
"Polisi? Apa yang terjadi?" Risna berpikir dengan heran.
Belum reda rasa terkejutnya, petugas Haris berbicara dengan nada tegas. "Sebaiknya Anda sekalian ikut kami ke kantor polisi!"
Kelima gadis itu saling pandang dan dilanda berbagai pertanyaan. Mereka tidak merasa melakukan kesalahan apapun pada perusahaan kenapa harus dibawa ke kantor polisi?
"Tapi, Pak. Apa kesalahan kami?" Nola bertanya, bingung.
"Semua bisa Anda jelaskan di kantor," jawab petugas Haris.
Kelima gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut meski dalam keadaan kebingungan kecuali Tiara yang mulai menyadari sesuatu.
Setiba di kantor polisi mereka langsung di bawa ke salah satu ruangan untuk diinterogasi.
Namun, hal yang membuat mereka terheran-heran, ketika Akmal dan CEO Arbi memasuki ruangan. Risna bahkan terkejut lebih dalam. Mata Akmal memancarkan kemarahan yang tak tersembunyi.
"Ada apa ini sebenarnya?" Risna berpikir semakin cemas.
Tiara juga terlihat gusar, gadis itu meremas tangannya yang gemetaran. Keringat dingin membasahi tubuhnya, membayangkan konsekuensi terburuk.
"Siapa sebenarnya mantan calon suami Risna?" Tiara bertanya dalam hati. "Mengapa dia bersama CEO Arbi? Apa hubungan mereka?"
Suasana ruangan begitu dingin dan mencekam, mencengkeram wajah-wajah mereka dengan perasaan resah dan ketakutan.
Akmal berbicara dengan suara tegas, memecah keheningan. "Kalian pasti tahu mengapa kalian dibawa ke sini!"
Matanya menatap tajam, bagai pisau yang menusuk. "Apa yang terpikir oleh kalian, saat menganiaya seseorang yang tidak kalian kenal?"
Keheningan kembali mencekam ruangan. Semua orang terpaku dalam pikiran mereka masing-masing.
Tiba-tiba, Tiara berdiri disusul Wina dan Ria, dengan wajah penuh penyesalan. Mereka menangkupkan kedua tangan di depan dada, menatap Akmal dengan mata nanar.
"Maafkan kami," katanya dengan suara lembut. "Risna tidak tahu apa-apa, dia tidak bersalah. Kami hanya tidak terima melihat teman kami didzalimi."
Akmal melanjutkan ucapannya dengan nada kecewa, "Kalian hanya tahu cerita sepihak. Saya tidak pernah membatalkan pernikahan, tapi Risna yang kabur sehari sebelumnya dan membatalkannya."
Risna menunduk malu, wajahnya memerah. Matanya tak berani menatap.
Teman-temannya menatap Risna dengan rasa penasaran. Apakah cerita yang baru saja mereka dengar salah?
Akmal memperdengarkan rekaman suara Risna dari ponselnya, membongkar kebenaran yang selama ini tersembunyi.
"Cukup...! Aku tahu aku salah, tapi apakah harus dipermalukan seperti ini?" Risna berusaha menahan air mata.
Akmal tersenyum sinis, "Sifat aslimu akhirnya terungkap. Aku bersyukur tidak jadi menikah denganmu."
Lalu petugas Haris melanjutkan ucapan Akmal dengan nada tegas. "Sekarang, katakan apa alasan kalian menyerang korban!"
Akmal bergeser mendekat pada Arbi yang terdiam tanpa berniat ikut campur, seolah menjadi saksi bisu. Namun, tanpa sepengetahuan orang lain, Arbi merekam percakapan tersebut dengan ponselnya, dan mengirimkannya kepada seseorang.
"Tolong, maafkan kami. Sebagai teman kami hanya merasa simpatik, karena teman kami dikhianati. Itu saja. Sekali lagi maafkan kami, Tuan!" Tiara memohon dengan wajah memelas.
Akmal berdiri dan tersenyum tipis, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Apa kalian pikir meminta maaf saja cukup?" katanya dengan nada dingin. "Luka fisik dan mental yang dia alami, bahkan kalian juga menyebutnya pelakor, tanpa tahu kebenarannya."
Akmal marah tak terhingga. Dia merasakan emosi yang mendidih. Ingin sekali menghakimi mereka. Andai saja mereka laki-laki pasti akan menghajarnya sampai babak belur. Namun, dia masih bisa mengendalikan diri. Dengan mata masih terpejam, Akmal membayangkan wajah terluka Anaya.
"Mungkin istriku bisa memaafkan kalian, tapi hukum harus tetap ditegakkan!" ucapnya datar.
Akmal lantas berlalu meninggalkan ruangan tersebut, disusul oleh Arbi. Namun sebelum pergi suami Adzana itu memberikan ultimatum.
"Aku memberi kalian dua pilihan. Meminta maaf pada korban atau kalian akan menghadapi konsekuensi hukum. Ini peringatan pertama dari perusahaan. Tindakan kalian telah merugikan orang lain!"
Tinggallah Petugas Haris serta rekannya di sana lalu keduanya membawa kelima gadis itu memasuki sel tahanan sementara.
°
°
°
Anaya terlihat serius di depan komputer, matanya tanpa berkedip memandang layar. Tumpukan pekerjaan setelah cuti membuatnya tak bisa santai.
Ersa datang mendekat tanpa disadarinya. "Nay, sudah waktunya istirahat! Keluar, yuk!"
Anaya menoleh, lalu melihat jam tangannya. "Aah, iya juga! Aku terlalu fokus sampai lupa."
Anaya menutup laptop lalu meregangkan tubuhnya yang lelah. Namun Ersa menatapnya dengan khawatir.
"Nay, apa yang terjadi? Memar di wajahmu... Kak Akmal tidak melakukan kekerasan terhadapmu, kan?" tanya Ersa, matanya penuh kecemasan.
Anaya tersenyum pelan dan menarik tangan Ersa. "Ayo, keluar dulu! Aku akan ceritakan semuanya."
Di kafe, mereka duduk dan memesan makanan. Ersa menatap Anaya dengan penasaran. "Ceritakan, Nay! Apa yang sebenarnya terjadi?"
Anaya menghela napas dalam, kepalanya tertunduk. "Semalam Mas Akmal mengajakku belanja kebutuhan dapur. Lalu.... Saat aku keluar toilet tiba-tiba ada orang yang menyerangku."
Suara Anaya bergetar. "Mereka memanggilku pelakor, dan memukulku. Aku benar-benar tidak berdaya."
Ersa mendengarkan dengan wajah khawatir. "Astaghfirullah, Nay! Terus bagaimana kamu bisa selamat?"
Anaya menatap Ersa. "Mas Akmal datang tepat waktu menyelamatkanku. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku."
"Kejam sekali mereka tanpa tahu kebenarannya. Kenapa kamu tidak lapor polisi?"
"Mas Akmal sudah mengurusnya." jawab Anaya.
Pesanan datang, obrolan berhenti sejenak. Lalu mereka menyantap makan siang diselingi obrolan. Anaya makan dengan pelan karena masih merasakan nyeri pada kedua pipinya.
"Kira-kira kamu tahu nggak, siapa mereka?" tanya Ersa penasaran.
Anaya menggeleng lemah. "Tidak tahu, aku bahkan tidak sempat melihat wajah mereka."
Mereka melanjutkan makannya, lalu ponsel Anaya berbunyi pertanda pesan masuk. Ia segera mengambilnya dari saku celana dan membukanya. Dia langsung tercengang begitu melihatnya.
"Ada apa, Nay? Apa yang kamu lihat?" Ersa merebut ponsel Anaya.
"Ini....?"
°
°
°
°
°
Astaga, Akmal yang mau bermanja-manja/Facepalm/