Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2~ KAMU DIMANA, MAS?
Setelah menenangkan putranya seperti biasa, Jihan kembali ke kamarnya. Saat dia masuk, suaminya baru saja selesai berpakaian. Fahmi sudah tampak segar sehabis mandi.
"Mas, kapan sih kamu punya waktu untuk Dafa? Aku gak tega lihat dia sedih terus." Tanya Jihan sembari mengambil handuk yang dipakai suaminya mengeringkan badan sehabis mandi, yang diletakkan begitu saja di atas tempat tidur.
Kebiasaan Fahmi selama enam bulan terakhir, suka menaruh handuk basah sembarang tempat. Padahal, dulu suaminya itu selalu menjemur sendiri handuk yang habis dipakainya mandi. Tapi sekarang, bukan hanya sikap Fahmi yang berubah, tapi kebiasaannya juga.
"Harus berapa kali sih aku bilang? Aku capek Jihan, kamu kan tahu kalau sekarang pekerjaanku lebih banyak dari sebelum menjadi Manager. Seharusnya kamu ngertiin aku dong. Kalau Dafa mau ke Taman bermain, ya kamu bawa aja, gak usah nunggu aku." Kata Fahmi dengan nada kesal.
Fahmi lalu berjalan keluar kamar. Jihan gegas menyusul suaminya dan mensejajarkan langkah mereka.
"Aku ngerti, Mas. Tapi Dafa juga butuh kamu Ayahnya, masa gak bisa minta izin sebentar saja demi anak." Ucap Jihan.
Fahmi menghentikan langkahnya, ia menatap Jihan dengan tajam. "Kamu pikir, kantor itu punya Bapakku yang seenaknya saja aku bisa minta izin hanya demi untuk memenuhi permintaan Dafa. Kamu mau kalau jabatan ku diambil lagi, atau kamu mau suamimu ini dipecat dan hidup kita kembali susah seperti dulu. Itu yang kamu mau, huh?" Ucapnya dengan berteriak di depan wajah Jihan.
Nafas pria itu nampak naik turun karena amarah yang menguasi dirinya. Sudah berulang kali ia mengatakan hal yang sama pada Jihan, tapi sepertinya istrinya itu susah sekali diberi pengertian.
Jihan mengelus dada. Ia bukannya tidak mengerti, hanya saja ia tidak kuasa melihat putranya selalu bersedih. Maka itu, ia selalu berusaha membujuk suaminya agar meluangkan sedikit saja waktunya untuk Dafa. Tapi sepertinya, tidak ada celah untuk itu. Setiap kali ia memohon pada suaminya demi putra mereka, hanya keributan yang terjadi.
Jika hanya dirinya yang merasakan, mungkin ia masih terima. Tapi putranya juga turut merasakan kesedihan akan sikap suaminya itu, sungguh membuat hatinya kian sakit.
"Mas, kalau saja aku tahu, apa yang kita miliki saat ini membuatmu jauh dari putramu sendiri, aku lebih memilih kita hidup seperti dulu. Biar sederhana tapi aku bahagia atas kasih sayangmu untukku dan untuk putra kita." Ucap Jihan. Dia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.
Tersirat kerinduan dalam netranya. Rindu dengan kelembutan suaminya, rindu kasih sayang yang selalu tercurah meski hidup pas-pasan. Apalah artinya kemewahan jika hidupnya tak bahagia.
Kedua tangan Fahmi terkepal erat, rahangnya tampak mengeras seiring tatapannya yang semakin menajam bagai belati yang siap menghujam Jihan. Selama tiga tahun menjadi karyawan biasa, dengan kerja kerasnya hingga akhirnya ia berhasil mencapai posisi sebagai manager. Namun, setelah semua usahanya itu yang memberikan semua apa yang mereka tidak punya, Jihan justru menginginkan hidup seperti dulu, rumah yang kecil, motor butut dan gaji pun pas-pasan.
"Dasar istri yang gak tahu diuntung, sudah enak punya semuanya tapi malah pengen hidup miskin. Dimana otak kamu!?" Ibu Neny yang baru saja pulang, ikut tersulut emosi mendengar ucapan Jihan. Wanita paruh baya itu melangkah cepat menghampiri sang menantu.
Kini Jihan bagai berada diantara dua tombak yang runcing, ditatap tajam oleh suami dan ibu mertuanya membuatnya diam tak berkutik.
"Kamu bilang apa tadi, huh? Memilih hidup sederhana tapi bahagia, bahagia apanya? Makan tahu tempe tiap hari itu yang kamu bilang bahagia, pake otak kamu Jihan!" Ibu Neny berkata sarkas sambil menoyor kepala Jihan.
Fahmi hanya diam melihat perlakuan ibunya, sama sekali tak ada niat untuk membela istrinya. Menurutnya apa yang dilakukan oleh ibunya itu sudah benar, Jihan memang harus diberi pengertian agar paham bahwa hidup mereka sekarang jauh lebih baik daripada dulu.
"Sudahlah, Bu. Percuma ngomong sama dia, gak bakal ngerti juga. Aku pamit," Fahmi mencium punggung tangan ibunya kemudian mengayun langkah menuju pintu utama.
"Mas, mau kemana?" Jihan gegas menyusul suaminya. Ia sudah memasak makanan kesukaan sang suami, tapi pria itu malah ingin pergi.
"Mas, tunggu." Panggil Jihan sembari berlari pelan, tapi Fahmi tak menghiraukan panggilannya. Suaminya itu malah semakin mempercepat langkahnya menuju pelataran. Setelah berada dalam mobil, Fahmi gegas melajukan mobilnya.
Jihan mematung dengan nafas yang tersengal-sengal, kedua matanya berkaca-kaca menatap mobil suaminya yang melaju cepat. Katanya capek, tapi kenapa sekarang malah pergi lagi.
Jihan baru beranjak dari tempatnya berdiri ketika mendengar teriakkan ibu mertuanya memanggil. Ia pun gegas masuk ke dalam rumah.
"Ada apa, Bu?" Tanyanya.
"Kalau Fahmi pulang telat, kamu makan saja bareng Dafa dan sisa makanannya simpan saja, bisa dipanaskan untuk sarapan besok. Ibu juga mau keluar, ada janji makan malam sama teman-teman arisan Ibu." Setelah mengatakan itu, bu Neny pun pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap.
Jihan melangkah dengan gontai menuju ruang makan, menarik kursi lalu duduk diiringi dengan helaan nafas berat. Menatap nanar makanan yang terhidang di atas meja makan. Ia sudah susah payah memasaknya, namun suami dan ibu mertuanya justru meninggalkan rumah.
Ketika mendekati waktu Maghrib, Jihan bergegas membersihkan diri. Setelah itu mengajak putranya untuk sholat bersama.
"Bunda, kok Ayah sama Nenek udah gak pernah sholat bareng kita lagi?" Tanya Dafa.
Jihan yang baru saja memasangkan kopiah putranya, tersenyum sembari memegang kedua pundak putranya. "Ayah sama Nenek ada urusan di luar, Nak. Tapi Ayah sama Nenek pasti sholat kok walau gak bareng kita."
"Gitu, ya Bunda?"
Jihan mengangguk, senyum masih menghiasi wajahnya. Padahal dalam hati tengah menahan sesak.
Setelah selesai sholat Maghrib, Jihan kemudian mengajak putranya makan berdua. Hening dan terasa hampa tanpa kehadiran suami dan ibu mertuanya, entah di mana mereka sekarang.
Bahkan usai Jihan menunaikan sholat Isya, masih belum ada tanda-tanda Fahmi dan ibu Neny akan pulang. Ia masih menunggu sampai waktu menunjukkan pukul sembilan malam, merasa cemas ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi suaminya. Berdering, namun tak kunjung ada jawaban.
Ketika mendengar suara bel berbunyi, ia bergegas keluar kamar. Berjalan cepat menuju pintu utama, yang pulang pasti suaminya.
"Kamu ngapain aja sih, lama banget buka pintunya!" Tukas bu Neny.
Jihan tersentak, senyumnya seketika surut. Ia kira suaminya yang pulang, tapi ternyata ibu mertuanya. "Bu, apa Ibu tahu Mas Fahmi pergi kemana?" Ia memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya mana Ibu tahu, kamu kan istrinya seharusnya kamu lebih tahu kemana suami kamu pergi." Ucap bu Neny lalu melangkah masuk.
Setelah menutup pintu, Jihan kembali menghubungi suaminya. Namun, hasilnya sama saja, masih tak ada jawaban.
"Kamu di mana sih, Mas?" Ia menatap nanar layar ponselnya.
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭