Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 19
Bertemu dengan Lia benar-benar membuatku terhibur. Sejenak aku lupa tentang masalah yang tengah melilit hidup. Tak ingin terus terbelenggu dengan rasa sakit yang tak berujung.
Pyaar!
Tak hanya aku dan Lia yang terkejut, tapi semua karyawan berhamburan keluar ketika sesuatu menghantam kaca etalase. Kaki berlari tanpa komando, memeriksa keadaan dari luar toko.
"Astaghfirullah al-'adhiim! Siapa yang ngelakuin ini, ya Allah?" pekik Lia saat melihat sebuah lubang cukup besar di lemari kaca tempat kue-kue tersimpan. Bahkan, bekas lemparan itu meninggalkan banyak retakan yang bisa saja meruntuhkan lemari kaca tersebut.
"Jangan, Lia! Biar ditangani ahlinya aja," sergahku sembari mencekal tangan Lia di saat ia hendak berhambur mendekat.
"Jangan diambilin dulu, takutnya kaca yang di atas jatuh lagi. Panggil tukang yang biasa, ya!" perintahku pada semua karyawan yang menganga di dekat lemari kaca tersebut.
Mereka manut dan segera melakukan panggilan telepon pada seorang tukang yang biasa membantu di toko. Aku menghela napas, mengedarkan pandangan mencari seseorang yang dengan tega menghancurkan tokoku.
"Kenapa, Sha?" tanya Lia, sentuhan tangannya di bahu cukup membuatku tersentak.
"Nggak apa-apa, aku cuma lagi nyari orang yang iseng aja lempar-lempar batu segala. Apa selama kamu di sini toko ada masalah sama pelanggan atau orang?" Aku menelisik wajah Lia yang tampak berpikir.
Beberapa saat sebelum akhirnya dia mengangkat wajah dan menggeleng.
"Kayaknya nggak ada, selama aku di sini semua aman-aman aja, deh. Pelanggan juga nggak ada yang bermasalah," jawab Lia dengan kerutan di dahinya.
Sekali lagi kuhela napas, membuang sesak yang merebak. Ya Allah, ujian apalagi ini? Seandainya aku boleh berprasangka buruk ... entah kenapa aku yakin yang melakukan ini adalah Shila.
"Kamu curiga sama seseorang, Sha?" tanya Lia lagi menerka.
Kupalingkan wajah padanya, ia tampak cemas. Kusapu bahunya untuk menenangkan. Aku tak ingin menuduh tanpa bukti.
"Nggak, sih. Mungkin anak kecil yang nggak sengaja lagi main. Bentar lagi tukang yang biasa juga datang," jawabku seraya membawa Lia untuk duduk di bangku depan toko menunggu.
Sementara semua karyawan bersiap memindahkan semua kue dari lemari kaca ketika tukang datang nanti. Ya Allah, astaghfirullah al-'adhiim! Dering ponsel di saku mengalihkan segala tanya di hatiku. Kutatap layar pipih tersebut, baru beberapa saat kunyalakan, sudah berdering berkali-kali.
Wati?
Aku mengernyit ketika membaca nama si penelpon. Belum lama aku pergi dari sana, tapi Wati sudah menelpon. Kukira Raka yang memaksa untuk datang ke rumah sakit.
"Iya, Wati!" jawabku setelah telepon kuangkat.
Aku diam mendengarkan laporan bernada panik dari karyawan di toko utama itu.
"Astaghfirullah al-'adhiim! Terus gimana?" tanyaku sembari membuang udara cukup kasar. Terkejut mendengar laporan darinya.
"Ya udah, kamu tahu, 'kan, harus apa. Tolong tanganin dulu, ya." Aku menutup telpon setelah Wati menyanggupi. Kuhembuskan napas panjang dan berat, refleks tanganku mengusap perut yang terasa gelisah. Dia ikut merasakan kegelisahan ibunya.
"Kenapa, Sha? Ada masalah di toko sana?" tanya Lia.
"Sama kayak di sini, lemari kaca di sana juga dilempar batu. Bukan cuma satu, tapi kedua tokoku jadi sasarannya."
Ingin aku menangis, tapi kutahan sekuat mungkin agar air mata tak tumpah di sini. Aku yakin, orang itu ada di sini dan mungkin sedang mengawasi.
"Ini pasti sengaja, Sha. Aku yakin ada orang yang mau menghancurkan bisnis kamu. Kamu hati-hati, Sha. Aku takut kayak di film-film itu, mereka nekad membakar toko kamu nantinya," cerocos Lia panik.
Astaghfirullah al-'adhiim. Benar kata Lia, bisa saja dia nekad membakar tokoku, tapi kenapa? Dan untuk apa? Aku sendiri tidak tahu siapa pelakunya. Shila? Raka? Ya Allah!
"Soal itu kamu nggak usah khawatir, Lia. Tiap malam di sini ada satpam yang jaga. Jadi, nggak mungkin ada kejadian kayak gitu. Lagian ruko di sini bukan cuma punya aku," jawabku menenangkan Lia.
Namun, raut panik masih belum pergi dari wajahnya. Hatiku juga seperti itu, cemas dan takut, tapi aku pasrahkan kepada Allah karena DIALAH sebaik-baik Pelindung.
"Apa mungkin Shila?" Lia menebak, matanya menelisik manikku mencari dukungan.
Kubuang udara sambil berpaling darinya. Menghendikan bahu karena sungguh aku tak ingin berprasangka buruk yang jatuhnya akan menjadi fitnah.
"Kamu tenang aja, karyawan di dalam pasti lagi meriksa CCTV. Toko ini ada CCTV, beda sama yang di sana. Bentar lagi kita tahu siapa yang ngelakuin ini." Aku tersenyum pada Lia, menepis rasa takut di hatinya.
"Langsung laporin aja ke polisi kalo emang udah ketahuan. Ini nggak bisa dibiarin, Sha. Nanti malah semakin menjadi," ucap Lia kesal.
"Bu! Ibu harus lihat ke dalam!" Karyawan yang bertugas mengawasi CCTV memanggilku, segera aku bangkit bersama Lia untuk melihat siapa pelaku pelemparan batu itu.
"Kayaknya emang sengaja, Bu. Coba lihat, dia tahu di toko ini ada CCTV. Makanya pake penutup wajah segala."
Aku perhatikan sesosok tubuh yang asing di rekaman tersebut. Dia memang mengenakan penutup wajah, melempar batu dan berlari dengan cepat. Aku tidak dapat menebak meski kuperhatikan cukup lama.
"Kamu kenal, Sha?" tanya Lia setelah beberapa saat memperhatikan.
"Nggak. Kayaknya bukan dari daerah sini, deh." Aku menggeleng bingung.
"Itu perempuan apa laki, sih? Kok, samar-samar gitu, ya," cetus Lia kembali memperhatikan sosok yang ada di dalam rekaman tersebut.
"Nggak jelas, Bu. Bisa jadi laki-laki bisa juga perempuan, tapi larinya gesit. Coba kalo lagi rame, pasti ketangkep," sahut karyawan tersebut berandai-andai.
Benar, keadaan sekitar toko memang sedang sepi. Sayangnya, dia berlari dan tidak menggunakan kendaraan apapun. Mungkin disembunyikannya di tempat lain. Aku yakin, pelakunya tidak hanya satu. Peristiwa ini terjadi bersamaan, pasti sudah direncanakan.
Ya Allah, beri hamba petunjuk.
"Simpan ini sebagai bukti, kalo teror terjadi terus menerus kita ambil langkah hukum," titahku padanya. Ia mengangguk pasti, begitu pula dengan Lia.
Sepertinya aku juga harus memasang CCTV di toko utama. Siapa yang akhir-akhir ini bermasalah denganku selain Raka dan Shila? Hanya dua orang itu yang berseliweran di dalam otakku. Shila? Apa dia memang senekad itu?
Ya Allah, luaskan kolam kesabaranku. Aku membangun usaha ini untuk membantu mereka yang kesulitan secara ekonomi. Aku mohon, lindungi tempat ini demi mereka yang berjuang untuk keluarga.
Tak terasa air mataku menetes, mengingat semua karyawan bila usaha ini harus hancur nantinya. Akan sulit bagi mereka mencari pekerjaan tanpa memiliki ijazah.
"Sha!" Lia mengusap-usap bahuku, merengkuh tubuhku yang sedikit terguncang. Toko ini nggak boleh hancur!
"Yang sabar, ya," katanya.
Salah satunya adalah Lia, sahabatku yang harus menjadi tulang punggung untuk keluarga. Kubalas pelukannya, menangis membayangkan kehidupan sahabatku ini. Tidak! Tempat ini tidak boleh hancur.
"Shanum! Shanum!"