Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17: Lost
"Huh, lelahnya …" keluhku begitu kaki ini menginjakkan kaki di lantai kamarku yang terasa begitu dingin, dengan segera aku merebahkan diri di sana. Hawa dingin menyebar ke seluruh tubuhku, menenangkan pikirku yang terasa begitu ramai seperti hiruk-pikuk kota.
Manik hazelku mengamati setiap sudut ruangan yang telah kutempati selama beberapa bulan itu, ruangan yang dulu terasa begitu asing kini menjadi tempat berpulang ternyaman kala lelah menyatakan perang. Sudah tak terhitung tangis dan tawa yang merekah di ruangan ini, semuanya menjadi saksi atas kesakitanku.
Hawa dingin semakin terasa dalam henyut nadi, melebur dalam darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Namun, aku tak beranjak. Kupeluk raga yang rapuh ini dengan kedua tangan, menyalurkan kehangatan yang tak begitu berarti.
"Ibu, aku merindukanmu …" kalimat itu lolos begitu saja dari mulutku, rasanya aneh. Aku merasa begitu rindu dengan seseorang yang kukenal tak lebih dari separuh hidupku. Ibu pergi saat aku berusia sepuluh tahun, satu bulan sebelum ulang tahunku. Merayakan ulang tahun bersama hanya menjadi angan belaka. Banyak hal yang berubah dalam hidupku setelahnya.
Ayah tak lagi menjadi sosok yang kukagumi, ia berubah menjadi monster yang bisa mencabik-cabik dan melahap tubuhku kapan saja. Pukulan demi pukulan kuterima setiap harinya, namun aku tak merasakan apa-apa, semuanya hampa. Aku mati rasa. Rasa itu telah pergi bersama raga Ibu yang luruh dari tubuhnya.
Ada banyak pertanyaan dalam benakku, tentang bagaimana dunia ini berjalan. Apakah semua ini adil untukku?Duniaku seakan berhenti saat orang yang paling kucintai telah pergi dan takkan pernah kembali. Jalan yang awalnya terasa begitu terang, seketika menjadi gelap, kelabu, usang, dan berdebu. Tak ada lagi malaikat baik yang menuntun derap langkah kecilku, aku harus meraba semuanya sendiri dan demi Tuhan rasanya sakit sekali.
Aku menghela napas panjang, rasanya begitu berat. Aku bangkit dari posisiku, mencoba kembali menghadapi realita dunia yang terkadang membuat hati mungil ini nelangsa. Aku membuka ponselku, jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas. Aku merapikan rambutku yang berantakan dengan jepit rambut. Kusambar handuk yang sudah melambai-lambai minta dipakai itu dengan cepat — aku butuh mandi untuk mendinginkan pikiranku.
Kubasuh tubuhku dengan air dingin sampai menggigil, membiarkan mereka mengalir. Menelusuri setiap inci tubuhku yang menyimpan banyak kotoran dan debu. Gemericik airnya menusuk indra pendengaranku. Malam yang begitu tenang membuat semuanya terdengar begitu jelas.
"Segarnya, mandi malam memang hal terbaik," aku beranjak dari bak mandi dan membungkus tubuh ini dengan handuk putih kebanggaan.
Aku berjalan ke arah wastafel dan mulai mengeringkan setiap helai rambutku, rasanya malas sekali karena mereka panjang dan tebal. Aku ingin sekali memotongnya, namun setiap incinya menyimpan banyak kenangan indah bagiku. Hairs hold memories, rigth?
Aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang lebih tenang, setiap masalahku seperti luruh bersama air yang membasuh tubuhku. Aku menatap diriku di cermin, senyum tipis merekah disana. Aku merasa bangga pada diriku yang telah bertahan menghadapi badai kehidupan ini tanpa keinginan untuk bunuh diri. Setiap tangis yang mengalir menjadi saksi bahwa aku akan selalu bangkit dari luka yang membiru.
Aku mengambil ponselku dan menghubungi sahabatku, Rinai si gadis jangkung. Aku mengirimkan beberapa pesan padanya, hanya untuk sekedar mengucapkan selamat malam dan menyalurkan kebahagiaan walaupun jarak terbentang.
Manik hazelku mulai redup, binarnya tak lagi terpancar. Tanda kantuk menyerang. Aku meletakkan ponsel itu di meja riasku dan merebahkan diri di ranjang dengan sprei merah muda itu. Kupejamkan mata ini untuk berjalan menuju alam mimpi yang penuh dengan fantasi. Aku sepenuhnya menyerahkan tubuh ini untuk berkelana dalam mimpi hingga menjelang pagi.
Malam yang tenang telah berganti, tubuh ini beranjak dari tempatnya. Menyambut sang mentari yang siap menyinari hari. Kusibak tirai jendela kamarku, mempersilahkan sang mentari menyalurkan kehangatan sinarnya. Aku melemaskan otot-ototku yang terasa kaku dan merapikan rambutku yang berantakan, terlihat seperti singa yang baru saja berkelahi.
Aku mengambil ponselku dan melihat beberapa pesan masuk, salah satunya dari Selatan. Aku tak banyak berinteraksi dengannya kemarin karena janji temuku dengan Rinai. Aku segera membuka pesannya.
Selamat pagi, bagaimana tidurmu semalam?
Ada banyak pekerjaan yang menanti, persiapkan dirimu.
Aku mendesah pelan, akhirnya aku harus kembali ke realita yang sesungguhnya. Mengerjakan tumpukan berkas yang tak ada habisnya, tentunya dengan bumbu-bumbu revisi yang tak ada ujungnya.
Pagii! Cukup nyenyak, baiklah aku akan segera bersiap. Tunggu aku. ☝🏻
Aku membalas pesannya, kemudian melempar ponselku ke kasur dengan asal. Berjalan gontai ke arah kamar mandi dengan kantuk yang masih melekat. Aku membersihkan diri dan memoles wajahku dengan riasan natural.
"Aku ingin mencoba gaya rambut baru, sepertinya aku akan memotongmu," ucapku di depan cermin saat sedang menyisir sorai panjangku. Rasanya melelahkan jika harus membawa rambut seberat ini setiap hari.
Setelah semuanya siap, aku mengambil beberapa dokumen yang telah ku selesaikan dan beberapa alat tulis yang akan menjadi senjataku hari ini. Aku mengunci pintu kamarku dan melenggang pergi, Selatan sudah menunggu di bawah.
"Pagi Kak Hana, pagi Bibi Chen," sapaku saat melewati ruang makan, aku mengambil beberapa roti isi untuk sarapan dan makan siang. Aku yakin tidak akan sempat keluar karena pekerjaan yang membludak.
"Pagii, semoga harimu menyenangkan sayang," ucap mereka bersamaan, tampak begitu ceria. Mereka benar-benar menikmati pekerjaannya.
Aku melambaikan tanganku pada mereka, tanda perpisahan sementara. Kemudian berjalan ke arah ruang tamu, menghampiri pria jangkung dengan setelan kantornya itu. "Pagi!" sapaku.
"Ya, selamat pagi. Ayo pergi," ia berjalan mendahuluiku menuju mobil dan aku mengikutinya dari belakang.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit kami sampai di kantor. Aku melangkahkan kakiku menuju lobi dan melakukan absen. "Pagi semua, semangat!" sapaku pada yang lain, kemudian aku melangkah pergi menuju ruanganku.
Aku duduk di sana dengan layar monitor yang menyala, ku kerjakan pekerjaan yang tertunda kemarin dengan cepat. Berharap semuanya bisa selesai hari ini tanpa ada lembur walaupun aku harus melewatkan makan siang.
"Apa Theo sudah menghubungimu? Kita akan pergi rapat siang ini ..."
Suara berat itu menginterupsi telingaku, dan aku menoleh ke arahnya. "Oh, dia belum menghubungiku," jawabku dengan santai.
"Persiapkan dirimu, kita akan mengerjakan banyak hal hari ini."
"Baiklah," jawabku dengan lesu.
Aku mengikat rambutku dengan asal kemudian menghela napas panjang, hari ini akan menjadi hari yang panjang. "Sudah jelas akun akan lembur kalau seperti ini," gerutuku dalam hati sambil mengetik beberapa pesan untuk kolega-kolega kami.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus