Menceritakan tentang seorang gadis cantik yang bernama Lala, harus mengandung karena hubungan terlarang dengan seorang jin muda yang sejak kecil menyukainya.
Berawal dari kebiasaan jorok Lala, hingga sosok jin muda yang menyukainya dan merubah wujudnya menjadi tampan saat setiap bertemu Lala meskipun warna matanya merah dan memiliki tanduk di kepalanya.
Bagaimana kisah selanjutnya?ikuti kisah selanjutnya ya🙏
PERHATIAN!!
Jika ada bab atau paragraf yang berulang, mohon maaf sedang dalam proses perbaikan.mohon pengertiannya 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cancer i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Bersalah Lala
Lala, dengan nada yang terdengar lebih keras dari biasanya, mengucapkan, "Udahlah, biarin aja. Lagian gue juga nggak peduli." Kalimat itu keluar seolah-olah ia benar-benar tidak peduli dengan Bara, namun raut wajahnya menunjukkan sedikit keraguan. Ia berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri dan teman-temannya bahwa ia tidak peduli, namun sebenarnya ia masih merasa sedikit khawatir dan penasaran.
Riris dan Tika saling berpandangan. Mereka tahu bahwa Lala sedang berbohong. Mereka tahu bahwa Lala sebenarnya peduli dengan Bara, namun Lala terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Mereka mencoba untuk memahami perasaan Lala, namun mereka juga tidak bisa membiarkan Lala terus-menerus berbohong kepada dirinya sendiri.
"La, jangan bohong sama diri sendiri," kata Riris, suaranya lembut namun tegas. "Lo peduli kok sama Bara, gue tahu itu."
Tika mengangguk setuju. "Iya, La. Jangan sok kuat terus. Kalo lo ada masalah, ceritakan aja. Kita kan teman lo."
Lala terdiam. Kata-kata Riris dan Tika menusuk hatinya. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan perasaannya. Ia harus jujur kepada dirinya sendiri dan kepada teman-temannya. Namun, ia masih ragu untuk menceritakan semuanya. Ia takut jika teman-temannya akan mengejeknya atau mengkritiknya.
"Gue... gue nggak tahu harus ngomong apa," kata Lala, suaranya bergetar. Air matanya mulai berkumpul di pelupuk mata. Ia merasa sangat lelah dan bingung. Ia merasa terjebak dalam sebuah situasi yang sulit, di antara rasa peduli dan rasa takutnya sendiri. Ia membutuhkan dukungan dan pengertian dari teman-temannya, namun ia juga takut untuk meminta bantuan. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, diselingi oleh isak tangis Lala yang mencoba menahan kesedihannya. Riris dan Tika saling berpandangan, mengetahui bahwa mereka harus memberikan dukungan dan pengertian kepada sahabat mereka.
"Andai Riris dan Tika tau kalo gue sebenernya udah jadian sama Bara,tapi gue malah khianatin dia dengan pangeran Firr"batin Lala
Rasa bersalah menggerogoti Lala. Bayangan wajah Riris dan Tika, sahabat-sahabatnya yang selalu ada untuknya, bercampur aduk dengan bayangan Bara, kekasihnya yang kini telah dikhianatinya. Pangeran Firr, dengan pesonanya yang memikat, telah berhasil mencuri hatinya, namun meninggalkan luka yang dalam di hati Bara dan rasa bersalah yang tak tertahankan dalam dirinya.
Lala menggigit bibirnya, menyesali keputusan yang telah diambilnya. Cinta yang dulu ia rasakan untuk Bara, terasa begitu tulus dan murni. Kenangan-kenangan indah bersama Bara, seperti film yang diputar ulang di benaknya, semakin memperparah rasa penyesalannya. Tawa mereka, canda mereka, pelukan hangat Bara, semuanya terasa begitu nyata, begitu dekat, namun kini hanya tinggal kenangan.
Pangeran Firr, dengan segala kemewahan dan pesonanya, tak mampu menggantikan tempat Bara di hatinya. Kemewahan itu terasa hampa, pesona itu terasa palsu, di tengah rasa bersalah yang terus menerus menghantuinya. Lala menyadari bahwa ia telah terjebak dalam sebuah permainan yang rumit, sebuah permainan yang telah menghancurkan kepercayaan dan persahabatan.
Malam itu, Lala tak mampu memejamkan mata. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi bantalnya. Ia terbangun berkali-kali, dihantui oleh rasa bersalah dan penyesalan. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu, ia harus memperbaiki kesalahannya. Namun, bagaimana caranya? Bagaimana ia bisa menghadapi Riris dan Tika, sahabat-sahabatnya yang telah dikhianatinya? Bagaimana ia bisa menghadapi Bara, kekasihnya yang telah dilukai hatinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin tertekan. Lala menyadari bahwa ia harus berani menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Ia harus meminta maaf, bukan hanya kepada Bara, tetapi juga kepada Riris dan Tika. Ia harus belajar dari kesalahannya dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Perjalanan panjang penyesalan dan penebusan dosa telah menunggunya.
Malam itu Mak Dira mengingatkan Lala untuk shalat isya terlebih dahulu sebelum tidur, namun Lala mengabaikan ucapannya Mak Dira dan lebih memilih langsung tidur.
Dalam tidurnya pangeran Firr datang kembali menemuinya dan kembali mengajaknya ke tempat istananya.
Lala terbangun dalam dekapan mimpi yang terasa begitu nyata. Pangeran Firr, dengan senyum menawannya, kembali hadir di hadapannya. Kemewahan istana kembali terpampang jelas di matanya, kain sutra halus membalut tubuhnya, dan aroma rempah-rempah harum memenuhi indra penciumannya. Ia merasa begitu nyaman, begitu bahagia, seakan semua beban dan penyesalannya sirna seketika.
Firr mengulurkan tangannya, mengajak Lala untuk menari di bawah cahaya bulan purnama yang terang benderang. Lala pun menerimanya, langkah kakinya mengikuti irama musik yang mengalun lembut. Ia tertawa lepas, merasakan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, di tengah-tengah tawa dan kegembiraan itu, sesuatu terasa janggal. Suasana yang tadinya terasa begitu nyata, kini mulai memudar, seperti fatamorgana yang perlahan-lahan menghilang.
Suara Mak Dira memanggil namanya, samar-samar terdengar di telinganya. "Lala... sholat Isya... Lala..." Suara itu semakin jelas, menarik Lala kembali ke realita. Ia terbangun dari tidurnya, keringat dingin membasahi tubuhnya. Istana megah Pangeran Firr telah lenyap, digantikan oleh kamar sederhana miliknya. Cahaya bulan purnama pun telah berganti dengan cahaya lampu kamar yang redup.
Lala teringat akan teguran Mak Dira tadi malam. Ia merasa bersalah telah mengabaikan nasihat Mak Dira untuk menunaikan sholat Isya. Mimpi indah bersama Pangeran Firr, yang terasa begitu nyata, kini terasa seperti sebuah peringatan. Sebuah peringatan akan godaan duniawi yang dapat menyesatkannya.
Lala bangkit dari tempat tidurnya, menunaikan sholat Isya dengan khusyuk. Ia berdoa memohon ampun atas segala kesalahannya, dan memohon petunjuk agar ia dapat mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada kemewahan duniawi, tetapi pada ketaatan kepada Tuhan dan kejujuran terhadap hati nuraninya. Mimpi itu, seindah apapun, hanya sebuah mimpi. Realita yang harus ia hadapi adalah tanggung jawabnya atas pilihan-pilihan yang telah ia buat.
Lala kembali terhanyut dalam mimpi. Kali ini, Pangeran Firr tidak hanya hadir dalam wujudnya yang tampan dan menawan, tetapi juga dengan istana yang lebih megah dan pesta yang lebih meriah. Musik mengalun merdu, penari-penari berlenggak-lenggok anggun, dan hidangan mewah tersaji di atas meja-meja panjang. Lala merasa seperti seorang putri, dimanjakan dan dipuja oleh semua orang di sekitarnya.
Firr mendekatinya, mengajaknya untuk menari. Lala merasa melayang, terbawa oleh irama musik dan pesona Firr. Namun, di tengah-tengah kegembiraan itu, sesuatu terasa berbeda. Ada bayangan-bayangan gelap yang mulai muncul di sudut-sudut istana. Wajah-wajah sedih dan terluka berkelebat di antara kerumunan orang-orang yang tampak gembira. Suara tangisan samar-samar terdengar di balik alunan musik yang merdu.
Lala mencoba mendekatinya, ingin mengetahui apa yang terjadi. Namun, Firr menghalanginya. Senyumnya kini terlihat dipaksakan, matanya memancarkan aura yang menyeramkan. "Jangan mendekat," bisiknya, suaranya terdengar dingin dan menusuk. "Ini bukan tempatmu."
Lala merasa takut, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia mencoba untuk berlari, tetapi kakinya terasa berat, seperti terikat oleh sesuatu yang tak terlihat. Bayangan-bayangan gelap semakin banyak, mengepungnya dari segala arah. Wajah-wajah sedih dan terluka itu semakin jelas, menunjukkan ekspresi kesedihan dan keputusasaan yang mendalam.
Tiba-tiba, Lala terbangun. Ia terengah-engah, keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi buruk itu terasa begitu nyata, meninggalkan rasa takut dan gelisah yang mendalam. Ia menyadari bahwa ia telah mengabaikan kewajibannya untuk berdoa sebelum tidur. Mimpi-mimpi indah bersama Pangeran Firr ternyata menyimpan sisi gelap yang mengerikan. Lala mengerti, kebahagiaan semu yang ditawarkan Firr hanya akan membawanya pada kehancuran. Ia harus menjauhinya, dan kembali kepada jalan yang benar. Ia harus berdoa, bertaubat, dan meminta perlindungan kepada Tuhan dari godaan-godaan duniawi.
Air mata menetes di pipi Lala. Kata-kata "Maafkan hambamu ini ya Allah, tapi hamba sudah terlanjur mencintai Pangeran Firr" masih bergema di dalam hatinya. Ia merasa terjebak dalam sebuah paradoks yang menyakitkan. Di satu sisi, ia menyadari dosa dan kesalahannya, ingin kembali kepada jalan yang benar, menyesali pengkhianatannya terhadap Bara dan persahabatannya dengan Riris dan Tika. Di sisi lain, perasaan terhadap Pangeran Firr, seindah dan semu apapun, masih begitu kuat.
"Pangeran…" lirih Lala, suaranya nyaris tak terdengar. Nama itu terasa seperti mantra, menariknya kembali ke dalam pusaran mimpi-mimpi indah dan juga mimpi-mimpi buruk yang telah menghantuinya. Ia teringat akan kemewahan istana, pesta-pesta meriah, dan juga bayangan-bayangan gelap yang menyeramkan. Ia menyadari bahwa cinta yang ia rasakan bukanlah cinta sejati, melainkan sebuah ilusi, sebuah fatamorgana yang menipu.
Lala bangkit dari tempat tidurnya, mencari sesuatu untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Ia membuka Al-Quran, membaca ayat-ayat suci dengan penuh harap. Kata-kata hikmah dan petunjuk Ilahi perlahan-lahan menenangkan jiwanya. Ia menyadari bahwa hanya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, ia dapat menemukan kekuatan untuk melawan godaan dan mengatasi permasalahan yang sedang ia hadapi.
Lala memutuskan untuk bertobat. Ia akan meminta maaf kepada Bara, Riris, dan Tika. Ia akan menjelaskan semuanya dengan jujur, menerima segala konsekuensi atas perbuatannya. Ia tahu, perjalanan penebusan dosanya tidak akan mudah. Namun, ia bertekad untuk tetap teguh pada jalan yang benar, menjauhi godaan duniawi, dan membangun kembali kepercayaan yang telah ia hancurkan. Cinta yang semu kepada Pangeran Firr harus ia tinggalkan, dan ia harus belajar mencintai dengan tulus dan bertanggung jawab. Perjalanan panjang menuju penyesalan dan penebusan telah dimulai.
Matahari pagi menyinari kamar Lala, namun bayangan Pangeran Firr masih menghantui pikirannya. Janji untuk membebaskan keluarga Firr dari kutukan menjadi beban berat di pundaknya. Rasa bersalah karena telah mengkhianati Bara dan sahabat-sahabatnya bercampur aduk dengan rasa tanggung jawab yang begitu besar. Ia merasa terbelah, terjebak di antara dua dunia yang berbeda: dunia nyata dengan segala konsekuensi atas perbuatannya, dan dunia mimpi yang penuh dengan pesona dan godaan Pangeran Firr.
Lala mencoba untuk fokus pada kewajibannya, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, berinteraksi dengan Mak Dira dan penghuni rumah lainnya. Namun, pikirannya selalu melayang kepada Firr dan janjinya. Ia bertanya-tanya, apakah kutukan itu benar-benar ada? Apakah ia benar-benar mampu membebaskannya? Dan yang terpenting, apakah ia rela mengorbankan segalanya untuk Firr, termasuk hubungannya dengan Bara dan persahabatannya yang telah retak?
Di tengah kebimbangannya, Lala teringat akan nasihat Mak Dira tentang pentingnya berpegang teguh pada ajaran agama. Ia menyadari bahwa hanya dengan beriman dan bertawakal kepada Tuhan, ia dapat menemukan kekuatan dan petunjuk untuk menghadapi masalahnya. Ia memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang kutukan yang menimpa keluarga Firr. Mungkin, dengan memahami masalahnya lebih dalam, ia dapat menemukan solusi yang tepat dan bijaksana.
Lala mulai mencari informasi dari berbagai sumber, berkonsultasi dengan orang-orang yang dianggapnya bijak dan berpengetahuan. Ia belajar tentang berbagai macam kutukan dan cara-cara untuk menanganinya. Ia juga merenungkan kembali hubungannya dengan Firr, mencoba untuk memisahkan antara pesona duniawi dan cinta sejati. Perjalanan panjang penemuan jati diri dan penebusan dosa masih terus berlanjut. Ia harus menemukan keseimbangan antara tanggung jawabnya kepada Firr dan tanggung jawabnya kepada dirinya sendiri, kepada Bara, dan kepada sahabat-sahabatnya. Jalan yang harus ia tempuh masih panjang dan penuh tantangan.
Hari ini Lala tidak masuk sekolah karena memang tanggal merah, saking seriusnya membaca semua informa si mengenai kutukan keluarga pangeran Firr.Rasa kantuk dan lelah membuatnya kembali tertidur di sofa kamarnya, hingga pangeran Firr datang kembali menemuinya dan mengajaknya kembali ke istananya.
Lala terbangun dalam pelukan mimpi yang terasa begitu nyata. Cahaya lampu kristal menerangi ruangan megah, aroma bunga melati memenuhi udara, dan Pangeran Firr berdiri di hadapannya dengan senyum menawan. Ia seperti terhipnotis, terpikat oleh pesona Firr yang tak pernah pudar. Istana yang megah, lebih megah dari mimpi-mimpi sebelumnya, terbentang di hadapannya. Namun, kali ini, suasana terasa berbeda. Ada kegelisahan yang tersembunyi di balik kemewahan itu.
Firr mengulurkan tangannya, mengajak Lala untuk menari. Lala menerimanya, langkah kakinya mengikuti irama musik yang mengalun lembut. Namun, di tengah-tengah tawa dan kegembiraan, ia melihat bayangan-bayangan gelap yang semakin nyata. Wajah-wajah sedih dan terluka semakin jelas terlihat, menunjukkan penderitaan yang mendalam. Suara tangisan semakin keras, menghancurkan keindahan istana yang tampak sempurna.
Firr terlihat gelisah. Senyumnya mulai memudar, digantikan oleh ekspresi khawatir dan putus asa. "Lala," katanya, suaranya terdengar lemah, "aku membutuhkan bantuanmu. Kutukan ini semakin kuat, keluargaku semakin menderita."
Lala merasa iba. Ia melihat penderitaan yang dialami oleh keluarga Firr, dan ia merasa bertanggung jawab untuk membantu mereka. Namun, ia juga menyadari bahwa ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh terjebak lagi dalam pesona Firr yang menipu. Ia harus menemukan cara untuk membantu keluarga Firr tanpa harus mengorbankan dirinya sendiri dan prinsip-prinsipnya.
Lala memutuskan untuk menggunakan ilmunya, pengetahuannya yang ia peroleh dari membaca berbagai informasi tentang kutukan. Ia mencoba untuk menganalisis kutukan tersebut, mencari kelemahan dan cara untuk mengatasinya. Ia menyadari bahwa ia harus berpikir jernih, tidak boleh terbawa emosi dan godaan. Ia harus menggunakan akal sehat dan imannya untuk menghadapi tantangan ini. Mimpi itu, seindah dan semenyeramkan apapun, hanya sebuah mimpi. Ia harus kembali ke dunia nyata dan mencari solusi yang rasional dan bijaksana. Perjuangannya untuk membebaskan keluarga Firr dari kutukan dan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari godaan duniawi masih jauh dari selesai.
Lala menatap Pangeran Firr dengan tatapan yang tegas. "Pangeran," ucapnya, suaranya terdengar mantap, "untuk membebaskan keluargamu tidak harus dengan cara seperti itu. Aku akan menggunakan caraku sendiri." Ia menyadari bahwa ketergantungannya pada Firr dan godaan duniawinya telah membutakan dirinya. Ia harus menemukan jalan keluar yang lebih baik, jalan yang tidak mengorbankan prinsip dan keyakinannya.
Firr tampak terkejut dengan penolakan Lala. Ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan, terbiasa dengan kepatuhan dan ketundukan. Namun, Lala menunjukkan keberanian dan ketegasan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ia melihat tekad yang kuat dalam mata Lala, tekad untuk membantu keluarganya tanpa harus terikat oleh ikatan yang tidak sehat.
Lala menjelaskan rencananya. Ia akan menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk mencari solusi yang lebih rasional dan bijaksana, berdasarkan informasi yang telah ia kumpulkan. Ia akan mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal ini, berkonsultasi dengan para ulama dan ahli spiritual. Ia tidak akan terburu-buru, tidak akan terpengaruh oleh godaan dan tekanan. Ia akan bertindak dengan tenang dan terukur, berpegang teguh pada prinsip-prinsipnya.
Firr mendengarkan dengan seksama. Ia melihat ketulusan dan keteguhan hati Lala. Ia menyadari bahwa Lala bukan hanya sekadar wanita yang cantik dan menarik, tetapi juga seorang wanita yang cerdas, berani, dan beriman. Ia mulai menghargai Lala bukan hanya karena pesonanya, tetapi juga karena kepribadiannya yang kuat dan teguh.
Meskipun masih ragu, Firr akhirnya menerima usulan Lala. Ia menyadari bahwa cara Lala lebih masuk akal dan lebih bermartabat. Ia berjanji untuk mendukung Lala, memberikan informasi dan bantuan yang dibutuhkan. Keduanya sepakat untuk bekerja sama, dengan Lala sebagai pemimpin dan Firr sebagai pendukung. Perjalanan panjang untuk membebaskan keluarga Firr dari kutukan dimulai, dengan cara yang lebih bijaksana dan penuh harapan. Lala telah menemukan kekuatannya, kekuatan untuk melawan godaan dan untuk mewujudkan kebaikan.
"Lala meskipun kamu membantu menyelamatkan keluargaku dengan cara yang lain, izinkan aku memilikimu saat ini Lala"ucap pangeran Firr dengan suara serak, nafsunya tidak bisa ia tahankan lagi
Lala merasakan hawa panas yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Pangeran Firr, meskipun telah setuju dengan rencananya, nafsunya masih belum bisa ia kendalikan. Suara seraknya, kata-kata yang terucap, menunjukkan betapa besarnya keinginan Firr untuk memilikinya. Lala merasakan dilema yang begitu berat. Di satu sisi, ia ingin membantu Firr dan keluarganya. Di sisi lain, ia harus menjaga kehormatannya, menjaga prinsip-prinsipnya.
Lala menatap mata Firr dengan tatapan yang tajam dan tegas. "Pangeran," katanya, suaranya terdengar dingin, "aku telah berjanji untuk membantumu, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Aku menghargai bantuanmu, aku menghargai niat baikmu, tetapi aku tidak akan pernah mengorbankan kehormatanku untuk siapapun." Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya.
Firr terdiam. Ia menyadari kesalahannya. Keinginan sesaatnya hampir menghancurkan niat baiknya dan kepercayaan Lala padanya. Ia merasa malu dan menyesal. Ia melihat keteguhan hati Lala, ketegasan yang menunjukkan bahwa Lala bukanlah wanita yang mudah ditaklukkan oleh nafsu dan godaan.
"Maafkan aku, Lala," kata Firr, suaranya terdengar rendah dan penuh penyesalan. "Aku telah kehilangan kendali. Aku tidak bermaksud untuk melukai atau menghinamu." Ia menundukkan kepalanya, menunjukkan rasa hormat dan penyesalan yang tulus.
Lala mengangguk pelan. "Aku mengerti, Pangeran," katanya, suaranya terdengar lebih lembut. "Tetapi, kita harus tetap fokus pada tujuan kita. Mari kita bekerja sama untuk membebaskan keluargamu dari kutukan ini, dengan cara yang terhormat dan sesuai dengan prinsip-prinsip kita."
Firr mengangkat kepalanya, matanya menunjukkan tekad yang baru. Ia berjanji untuk mengendalikan nafsunya dan untuk selalu menghormati Lala. Keduanya kembali fokus pada rencana untuk membebaskan keluarga Firr dari kutukan, dengan kerja sama yang lebih kuat dan rasa saling hormat yang lebih dalam. Perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka telah menemukan landasan yang lebih kokoh, landasan yang dibangun di atas rasa hormat, kepercayaan, dan komitmen bersama.
Namun entah bagaimana caranya keluarga pangeran Firr terbebas dari kutukan tersebut berkat Lala, namun Ratu Iswarr ibunda pangeran Firr saat tidak menyukai kehadiran Lala.
Suasana istana dipenuhi sukacita. Keluarga Pangeran Firr telah terbebas dari kutukan berkat kecerdasan dan keuletan Lala. Namun, di tengah euforia kemenangan, sebuah bayangan gelap mulai muncul. Ratu Iswarr, ibunda Pangeran Firr, tampak tidak menyukai kehadiran Lala. Tatapannya yang tajam dan dingin selalu tertuju pada Lala, menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam.
Ratu Iswarr adalah seorang wanita yang anggun dan berwibawa, namun juga keras kepala dan penuh dengan prasangka. Ia tidak menerima Lala, bukan karena Lala telah menyelamatkan keluarganya, tetapi karena Lala bukanlah wanita dari kalangan bangsawan. Ia menganggap Lala sebagai ancaman bagi kedudukan dan kekuasaan keluarganya.
Ratu Iswarr mulai mencari-cari kesalahan Lala, mencoba untuk menjatuhkan Lala di mata Pangeran Firr dan keluarga kerajaan lainnya. Ia menyebarkan gosip dan fitnah, menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi Lala di istana. Ia menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk membuat Lala merasa terasing dan tidak nyaman.
Lala menyadari ketidaksukaan Ratu Iswarr, namun ia tidak membalasnya dengan kebencian. Ia tetap menjalankan tugasnya dengan baik, menunjukkan sikap yang sopan dan hormat kepada Ratu Iswarr. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengubah pikiran Ratu Iswarr dalam waktu singkat, tetapi ia tetap berusaha untuk mendapatkan kepercayaan dan penghormatan dari Ratu Iswarr.
Lala menyadari bahwa ia harus lebih bijaksana dalam menghadapi situasi ini. Ia tidak boleh terpancing oleh provokasi Ratu Iswarr, ia harus tetap tenang dan fokus pada tujuannya. Ia harus membuktikan bahwa ia layak mendapatkan tempat di istana, bukan hanya karena kemampuannya, tetapi juga karena kepribadiannya yang baik dan mulia. Perjuangan Lala belum berakhir. Ia harus menghadapi tantangan baru, tantangan yang lebih rumit dan lebih sulit daripada membebaskan keluarga Firr dari kutukan. Ia harus memenangkan hati Ratu Iswarr, bukan hanya dengan kemampuannya, tetapi juga dengan akhlak dan kepribadiannya yang mulia.
Pangeran Firr, dengan suara yang tegas namun penuh hormat, menegur Ratu Iswarr. "Ibunda," katanya, "Ibunda harus berterima kasih kepada Lala karena telah membebaskan Ibunda dan Paman Harr dari kutukan itu. Bukannya malah mencari-cari kesalahan Lala seperti ini." Ia tidak bisa lagi membiarkan ibunya memperlakukan Lala dengan tidak adil. Ia telah melihat sendiri bagaimana Lala telah berjuang dan berkorban untuk keluarganya.
Ratu Iswarr terdiam sejenak. Ia terbiasa mendapatkan kepatuhan dan ketaatan dari semua orang di sekitarnya. Namun, Firr, putranya yang selalu ia banggakan, kini menentangnya. Ia merasa tersinggung dan marah, namun ia juga menyadari bahwa Firr benar. Lala memang telah menyelamatkan keluarganya dari kutukan yang mengerikan.
"Firr," kata Ratu Iswarr, suaranya terdengar sedikit lebih lembut, "bukan begitu maksudku. Aku hanya khawatir. Aku tidak ingin keluarga kita terancam lagi." Ia mencoba untuk menjelaskan alasan ketidaksukaannya terhadap Lala, namun Firr tetap tidak terpengaruh.
"Ibunda," kata Firr, "ketakutan Ibunda itu bisa diatasi dengan cara lain, bukan dengan memperlakukan Lala dengan tidak adil. Lala telah membuktikan kesetiaannya dan kecerdasannya. Ia pantas mendapatkan penghargaan dan penghormatan, bukan kecaman dan fitnah."
Ratu Iswarr kembali terdiam. Ia merenungkan kata-kata Firr. Ia menyadari bahwa ia telah bersikap terlalu keras dan tidak adil kepada Lala. Ia telah membiarkan prasangka dan kekhawatirannya menguasai dirinya. Ia harus belajar untuk lebih bijaksana dan berlapang dada.
"Baiklah, Firr," kata Ratu Iswarr, suaranya terdengar lebih tenang. "Aku akan mencoba untuk lebih menerima Lala. Aku akan meminta maaf atas perlakuanku yang tidak adil padanya." Ia menyadari bahwa ia harus mengubah sikapnya, tidak hanya untuk Lala, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan keluarga dan kerajaannya. Perubahan sikap Ratu Iswarr menjadi titik balik baru dalam hubungan Lala dan keluarga kerajaan. Perjuangan Lala belum berakhir, tetapi ia telah memenangkan pertempuran penting dalam perjalanannya.