Dikira Ojol Ternyata Intel
“Sial, telat!” seru Laras nyaris menangis. Ini adalah pekerjaan impiannya sejak dulu. Sudah banyak e-mail yang masuk namun ia memilih untuk mengikuti tes wawancara ini saja.
Sementara itu, di tempat lain, seorang lelaki berjaket hijau tengah ngebut berpacu dengan waktu. Makin ramai kendaraan makin ia gas motor supranya itu. “Ah, padahal sisa sedikit lagi aku bisa bawa dia ke Pak Abraham!” geram batinnya bukan main.
Ponselnya berdering, terlihat sepuluh panggilan tak terjawab dari atasannya. Pria bernama Aliando ini meski dalam situasi genting begini wajahnya tetap datar. No Expression, no voice, cukup berkata dalam hati.
Tiba pada sebuah kos-kosan bertingkat, cukup mewah kelihatan. Aliando segera naik ke atas. Mata elangnya menatap sekitar. Mulutnya terlihat berkomat-kamit menghitung angka 1, 2 dan 3. Ketika sampai pada pintu kamar bernomor 7, ia tendang pintu itu dengan kaki panjangnya. Sekali hentak, satu engsel bagian atasnya lepas.
Bruakkk!!!
Namun, tepat ketika itu. Senyum Aliando seketika memudar, sebab orang yang ia harapkan tidak ada di sana. Malahan hanya seorang gadis yang tengah berganti baju di depan cermin.
“What?!” untuk pertama kalinya Aliando bersuara pagi ini.
“Heh! Ngapain lo? Gada yang pesan makanan di sini! Cabul lo ya?!” pekik wanita berkulit putih merona itu.
Aliando tanpa sempat menjawab malah langsung masuk ke dalam memeriksa kamar mandi kemudian menuju jendela. Benar dugaannya bahwa ada bekas tali pada besi balkon dekat jendela kamar kos itu.
“Kemana komplotan kamu pergi?” Aliando meraih lengan kecil gadis itu.
“Apa-apan sih, Om? Gak ngerti! Lepasin!” Berusaha melawan namun jeratan tangan kekar si Ojol kuat sekali. “Gileee, tenaga kuda atau tenaga dalam?!”
Aliando mendengus kesal, napasnya seperti keluar api tapi ekspresi wajahnya tetap datar namun gadis di hadapannya itu mampu merasakan kemarahan Sang Ojol.
“Om …, jangan, Om. Laras gak pernah pesan makanan atau minuman,” jawabnya mulai ketakutan, “mungkin si Lolly lupa ngasi tahu.”
“Ke mana si Lolly?” tanya Aliando mengintrogasi.
“Otw kampus dia, Om. Skripsinya belum kelar,” ucap Laras kepayahan. Dalam hatinya ia berdoa jangan sampai ia dimutilasi terus dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke semak-semak.
Aliando melepaskan cengkramannya. Ia menopang kedua tangannya ke pinggulnya. Nampak frustasi, merasa gagal karena sudah tiga bulan ia gagal terus menangkap pengedar narkoba itu.
“Sial,” decak Aliando tak tahan.
Gadis bernama Laras itu perlahan mengambil sepatu dan berjinjit keluar. Nyaris sampai di pintu, bahunya di tahan oleh si Om ojol.
“Mau ke mana, kamu? Kamu mau saya ….”
Mungkin ini pekerjaan semesta, tanpa sengaja Laras yang dalam posisi berjinjit itu dibalik paksa badannya malah limbung dan jatuh menimpa tubuh Aliando.
Keduanya saling bertubrukan, terkapar di lantai. Ketika Aliando hendak segera bangun, ia mendapati rambut gadis itu tersangkut di resleting celananya.
“Awh!” keluh Laras saat si Om ojol menarik-narik rambutnya.
“Jangan bergerak, nanti rambutmu lepas,” kata Aliando sambil berusaha membuka resletingnya yang macet.
Seorang Bapak dan Ibu kos naik ke atas lantai dua dan mendengar suara bisik-bisik agak mendesah dari kamar nomor 7 yang tepat berada di ujung.
Kedua orang tua itu saling pandang. Ibu kos melempar senyum aneh karena takut si Bapak tidak jadi ambil kamar kos untuk anaknya.
“Tunggu bentar ya, Pak. Saya ke sana dulu, hehe.”
“Oh iya, Bu. Apa ya itu?”
“Tikus mungkin, Pak, hehe.”
“Tikusnya pinter ya? Bisa desah gitu, Bu.”
Karena tidak tahu mau cakap apa lagi, si Ibu kos segera menuju ke sana.
Sementara itu, Aliando dan Laras berjuang untuk melepaskan jeratan antara keduanya. Sudah ngos-ngosan, Aliando pun lelah.
“Jangan banyak gerak kamu, berhenti dulu,” kata Ali terdengar sesak, tapi suarnya lumayan renyah. Ia melanjutkan, “saya capek, mau keluarin napas enak dulu.”
Bu kos yang mendengar perkataan itu sontak menutup mulut, menelan ludah. “Main kuda ronggeng?”
Namun, Laras tidak mau mengerti. Ia sangat buru-buru karena wawancaranya sebentar lagi akan dimulai. Tanpa sengaja, roknya sobek naik ke atas karena terkena paku tembok. “Huaaahh, sialan,” pekiknya pelan karena sambil menangis.
“Astagah, sampe menangis? Sebesar apakah?” bu kos bertanya-tanya sampai mulutnya menganga lebar, sarang tawon pun bisa masuk.
Karena sudah sangat penasaran Ibu kos pun mengendap, mengintip dari balik pintu yang setengah rusak engselnya itu. Karena si Bapak di ujung sana juga nampak penasaran kenapa si Ibu kos seperti mau tangkap pencuri. Pada akhirnya ia ikut berada di belakang ibu kos sambil membelalakkan mata.
Ibu Kos mengeluarkan ponselnya dan merekam penampakan kuda ronggeng yang ada di depannya. Anak gadis itu nampak memaju mundurkan kepalanya di sela-sela kedua paha si Pria. Sementara pria kelihatan memijit jidatnya sambil berpeluh keringat.
“Anak jaman sekarang sangat tidak sopan ya, bu,” bisik si Bapak. Ibu kos nyaris kejengkang. Kaget bukan main. Video pun berhenti.
“Astagah, rok aku sobek, gimana nih? Lo harus tanggung jawab nih, Om!” emosi Laras sambil menangis kian kencang.
Aliando menghela napas, “ya Tuhan, kenapa aku harus ketemu gadis cengeng kayak begini?”
Karena sudah lelah dengan tingkah gadis itu, Aliando segera membuka jaket ojolnya. Dililitkannya ke rambut panjang Laras dan pelan-pelan ia gerakkan kembali resleting celana jeansnya.
Saking keringatnya Aliando, sampai-sampai baju kaos putihnya menampakkan garis-garis ilahi yang sering cegil indo katakan ‘roti sobek.’
“Makjreeenggg!” Mata Laras membola riang ketika ia melihat pemandangan gratis itu. Kapan lagi ya, ‘kan?
Aliando mengira bahwa gadis itu senang karena rambutnya sudah lepas. Segera ia berdiri, meraih jaket ojolnya dan hendak keluar.
Namun, dua orang tua tadi segera menghadangnya di depan pintu. “Mau ke mana anak muda durjana?” tanya Ibu Kos dengan mata mengkilat.
Langkah Aliando terhenti saat itu juga. Wajahnya tetap datar, tak mengerti apa maksud wanita tua dan bapak berambut putih itu.
“Laras! Bangun!” teriak si Bapak berambut putih.
Laras segera berbalik, memperbaiki rambutnya. “Eh, Om Herman?” Sambil ia hapus sisa air matanya.
“Om sudah lapor ke Bapak kamu, Laras! Om tidak menyangka kelakuan kamu di kota seperti ini!” Bapak berambut putih itu mengangkat sebuah ponsel. “Ada rekaman kamu di sini! Bersama laki-laki supir grab itu!” Tunjuk Om Herman marah besar.
“Ta … tapi ini tidak seperti yang Om bayangkan!” seru Laras membela diri. Matanya kembali berkaca-kaca lagi.
“Benar, Anda salah paham,” kata Aliando meyakinkan.
Namun, Ibu kos angkat bicara, “halah, mana ada satanic mau ngaku? Kalian berdua ya, udah kelihatan pro banget! Ya ampun, Pak, baiknya kita segera panggil Pak Ustad Vicky Setyo.”
Om Herman mengangguk setuju. “Betul! Kamu Laras, siap-siap pasang bajumu dengan benar! Untung saja Om memilih ke kos ini, ternyata kelakuan kamu mau ketahuan! Hari ini juga, Om akan panggilkan penghulu buat kamu dan tentunya, Bapakmu juga akan datang sebagai wali nikah!”
“Apa?!” Aliando dan Laras sama-sama berujar kaget bukan main.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments