Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama
Celia Carlisha Rory, yang akrab disapa Celia, adalah seorang model keturunan Tionghoa. Ia memulai kariernya di usia 22 tahun dan popularitasnya meroket. Berbagai tawaran dari brand internasional seperti Messika Jewelry dan Bottega Veneta datang bertubi-tubi. Namun, di balik semua itu, Celia merasa kehilangan dirinya sendiri. Kesibukan yang tiada henti membuatnya merasa terkekang, hingga akhirnya ia memutuskan untuk hiatus dan mencari ketenangan di Bali.
Di sanalah ia berharap bisa menemukan kembali arti hidupnya.
Celia tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Langkahnya ringan, senyumnya mengembang, seolah siap menyambut awal baru. Ia menyeret kopernya sambil menikmati aroma laut yang samar tercium di udara.
“Finally... freedom, here I come!” serunya lantang. Beberapa orang menoleh ke arahnya, tapi Celia tak peduli.
Ia berjalan menuju stand taksi sambil memainkan ponselnya, mencari alamat vila tempat ia akan menginap. Namun, langkahnya terhenti mendadak ketika...
Brukk!
Kopernya hampir terlepas dari genggamannya. Celia mendongak dan tertegun. Di depannya berdiri seorang pria tinggi, dengan rahang tegas, kulit kecokelatan, dan tatapan tajam yang langsung membuat Celia merasa kecil. Wangi maskulin pria itu menyelinap di udara, membuat Celia terpaku selama beberapa detik.
“Oh, maaf... aku nggak sengaja,” ujar Celia, berusaha bersikap seramah mungkin.
Pria yang di tabrak Celia adalah Adhitama Elvan Syahreza, yang biasa disapa Elvan. Elvan hanya mengangguk singkat, tanpa berkata sepatah katapun. Meski sikapnya terkesan dingin, tapi auranya awur-awuran, membuat Celia terkesan.
“Aku Celia,” ujar Celia mencoba memecah keheningan dengan mengulurkan tangan.
Elvan melirik tangan Celia, ia terdiam sejenak, lalu menyambutnya. “Elvan.”
Setelah berjabat tangan, Elvan langsung berbalik dan berjalan menuju stand taksi.
Namun, Celia tidak ingin pertemuan itu berakhir begitu saja. “Tunggu!” panggilnya, berusaha mengejar Elvan.
Elvan menghentikan langkahnya, ia menoleh perlahan dengan ekspresi datar.
“Maaf, aku cuma mau tanya. Kamu tahu tempat ini?” Celia menunjukkan alamat di ponselnya.
Elvan melirik alamat yang ditunjukkan Celia sekilas, lalu mengangguk kecil. Ia berjalan kembali tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan Celia yang masih bingung tapi tetap mengikuti langkahnya.
Setelah mendapatkan taksi, Elvan dengan cekatan memasukkan kopernya ke bagasi, sementara Celia berdiri di sampingnya.
“Kita bareng aja ya? Aku yang bayar,” tawar Celia sambil tersenyum.
Elvan hanya mengangguk tanpa ekspresi, ia memasukkan koper milik Celia ke bagasi dan membuka pintu taksi untuk Celia.
Di dalam taksi, Celia beberapa kali mencoba berbincang dengan Elvan, tapi Elvan hanya menjawab singkat. Dia tidak kasar, tapi sikapnya yang dingin membuat Celia penasaran.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern minimalis. Rumah berdiri kokoh dengan dinding putih bersih dan taman kecil yang tertata rapi di halamannya. Elvan membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu, sementara Celia menatapnya dari jendela mobil.
“Ini rumahmu?” tanya Celia. Ia tidak menyangka pria ini tinggal di rumah sebesar ini.
Elvan mengangguk, dan menjawab singkat, “Ya.”
“Oh, apakah vila tempat aku menginap masih jauh dari sini?” tanya Celia sambil menunjuk alamat di ponselnya.
Elvan mengangguk singkat lagi, lalu berkata kepada sopir taksi, “Antar ke alamat ini!”
Sang sopir mengangguk patuh. Sebelum pergi, Celia melambaikan tangannya. “Makasih ya, Elvan!” serunya.
Elvan tidak menjawab, hanya mengangkat tangan sedikit sebagai tanda salam sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Sesampainya di rumah, Elvan langsung pergi ke kamarnya dan membuka jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Ia menatap langit yang mulai memerah di ufuk barat, dan memikirkan gadis yang baru saja ia temui.
Celia. Namanya terasa tidak asing di telinganya, dan wajahnya seolah pernah ia lihat di suatu tempat. Namun, Elvan tidak terlalu memikirkannya. Baginya, pertemuan ini hanya kebetulan belaka.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam dari rumah Elvan, Celia akhirnya tiba di vila tempat ia menginap. Vila itu terletak di tepi sawah, dengan suasana tenang dan udara yang segar. Celia tersenyum puas. Inilah yang ia cari, ketenangan.
Namun, pikirannya terus kembali kepada pria yang ia temui di bandara.
“Elvan...” gumamnya sambil membuka ponselnya. Ia mencoba mencari nama itu di internet, tapi tidak menemukan apapun yang relevan.
“Apa dia benar-benar tidak tahu siapa aku?” Celia bergumam lagi.
Celia terbiasa menjadi pusat perhatian, terutama di lingkaran sosialnya. Tapi Elvan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalinya, dan itu membuatnya penasaran sekaligus lega.
Hari-hari berikutnya, Celia menghabiskan waktu menikmati keindahan Bali. Ia menjelajahi pantai-pantai tersembunyi, mencicipi makanan lokal, dan bahkan mencoba yoga untuk pertama kalinya.
Namun, tanpa ia sadari, ia dan Elvan terus dipertemukan oleh kebetulan-kebetulan kecil.
Suatu sore, Celia sedang duduk di sebuah kafe kecil di Ubud, menikmati secangkir kopi Bali. Saat ia menoleh ke arah pintu, matanya bertemu dengan sosok Elvan yang baru saja masuk.
“Elvan?” serunya spontan.
Elvan menoleh, sedikit terkejut, tapi segera memasang ekspresi datar lagi. “Kamu di sini juga?” tanya Elvan.
Celia tertawa kecil. “Seperti yang kamu lihat "
Elvan tersenyum tipis, kali ini terlihat lebih santai. “Kamu sendirian?” tanya Elvan.
“Ya. Kalau kamu?”
Elvan mengangguk. Ia memesan kopi lalu duduk di meja Celia tanpa banyak bicara.
“Jadi, kamu tinggal di Bali untuk apa? Liburan juga?” tanya Celia, mencoba memulai obrolan.
Elvan menggeleng. “Aku tinggal di sini sekarang. Aku pindah dari Jakarta.”
“Oh, memangnya apa pekerjaanmu?” tanya Celia.
“Musisi,” jawab Elvan singkat.
Celia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Oh, keren. Apa kamu main di band?”
Elvan tersenyum samar. “Tidak. Aku DJ.”
Percakapan berlangsung meski Elvan tidak banyak bicara. Hanya Celia yang selalu bertanya dan berinisiatif untuk mencairkan suasana. Celia menyadari, di balik sikap dingin pria itu, ada sesuatu yang menarik. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Dan bagi Elvan, Celia adalah kejutan yang menyenangkan di tengah rutinitas barunya.
Semakin sering mereka bertemu secara kebetulan, semakin mereka menyadari bahwa ada sesuatu di antara mereka. Tidak langsung berupa cinta, tetapi ketertarikan yang perlahan tumbuh.
Namun, baik Celia maupun Elvan, keduanya tidak menyadari itu.