Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Aku benci di tatap seperti itu!
Ku tundukkan kepala, sedetik kemudian mas Juna bersuara.
"Tarik napas yuk, biar rilex!" Ajak mas Juna, dia pun memanduku dan aku menurut begitu saja.
"Bissmillah, kita mulai ya" Ucap pria yang sudah memberikan obat bius di tanganku. Dia mulai menjahit lukaku.
"Arghh.." Desisku ketika satu tusukan jarum menembus kulit.
Tak terlalu sakit, tapi cukup membuatku kaget.
"Pelan-pelan!" Pintaku tanpa berani menatap telapak tanganku yang sedang di jahit.
"Iya, ini juga pelan"
Karena yang terluka adalah tangan kiriku, secara reflek tangan kananku meremas sprei untuk menahan rasa nyeri.
"Maaf ya, tadi iguananya lepas pas aku tinggal ke kamar mandi. Aku nggak sadar kalau ternyata belum mengunci kandangnya betul-betul, terus iguananya keluar gesit banget" Pungkas mas Juna sambil tetap melakukan tugasnya. "Sempat ku cari-cari di kamar, tapi nggak ada, eh malah lari kesini"
"Iyalah, kamar kita kan deketan!" Aku menatap sini mas Juna, eh dia malah balik menatapku.
Tak terelakan, pandangan kami pun bersirobok, mas Juna buru-buru mengalihkan sepasang netranya, begitupun aku.
"Aww!!" Rintihku lagi.
"Maaf-maaf"
"Pelan-pelan!"
"Iya!"
Sejujurnya aku menangkap gelagat aneh dari ekspresi wajah mas Juna, seperti ada rasa gugup, merasa kikuk, atau salah tingkah. Ah tapi entahlah, itu hanya perasaanku saja atau memang faktanya begitu.
Mas Juna gerogi??
Aku pun demikian, jantungku bahkan berdetak sangat liar.
Tiba-tiba dering ponsel membuat aktivitas jahit menjahit terhenti.
Mas Juna melirik layar ponselku yang tergeletak di atas meja, kemudian mengambilnya.
"Telfon dari ummah" Di serahkanlah benda tipis itu padaku seraya menyunggingkan senyum.
"Makasih" Aku menerimanya seraya membatin.
Sejak kapan mas Juna jadi murah senyum begini?
Menarik napas, ku geser ikon hijau agar bisa tersambung dengan ummah, lalu ku tempelkan ponsel di telinga kananku.
"Assalamu'alaikum, ummah?"
Ku lirik mas Juna sudah kembali fokus menjahit.
"Wa'alaikumsalam" Sahut ummah dari balik telfon. "Kamu di rumah?"
"Iya, ummah"
"Besok jadi kerumah ummah?"
"Insya Allah jadi, ummah"
"Datang sebelum jam tiga, ya. Soalnya kan Hasan sampai sini sekitar jam dua"
"Baik, ummah. Insya Allah saya akan datang tepat waktu"
Aku dan ummah sedikit berbincang sambil menahan rasa sakit, namun tak ku ceritakan kejadian yang baru saja menimpaku.
"Sudah" Tanya mas Juna ketika ku putus panggilan telfonku.
Aku mengangguk.
Mas Juna mengambil hapeku dan meletakannya kembali di tempat sebelumnya.
Ku tengok jam wekker yang sepertinya bergerak sangat lamban. Padahal sudah dari tadi, tapi seakan lama sekali mas Juna menjahit lukaku yang ada di telapak tangan kiriku, tepatnya di bawah ibu jari.
"Okay, selesai" Dia menggunting benang sisa jahitan, kemudian menutupnya menggunakan perban. Persis seperti luka jahit di pelipis mas Juna waktu itu.
"Kita obatin dahinya, iya"
"Mau di jahit juga?" Tanyaku sedikit takut.
"Enggak, lukanya nggak parah. Cukup di bersihin darahnya, terus kasih plaster aja" Ucapnya "Boleh agak di tarik ke belakang sedikit, jilbabnya?"
Aku bergeming, mencerna baik-baik kalimat mas Juna.
"Boleh jilbabnya di tarik ke belakang sedikit, Ra? Biar aku lebih mudah ngobatinnya? Soalnya agak sedikit menutupi luka"
Aku masih mengunci rapat mulutku. Mas Juna sendiri menatapku menunggu persetujuan dariku.
"Boleh?" Kembali ia meminta persetujuanku.
Dia tahu aku tidak pernah memperlihatkan auraku, mas Juna bahkan sama sekali tidak tahu seperti apa tampilan rambutku.
"Ya udah nggak apa-apa" Katanya saat aku tak kunjung melakukan perintahnya.
"Maaf ya, aku seka sedikit jilbab yang bagian menutupi luka"
Pria itu menuangkan alkohol pada kapas, lalu mulai mengoleskan kapas itu di dahiku yang terluka.
Dinginnya alkohol yang menyentuh kulit langsung bisa ku rasakan. Aku merintih karena perihnya semakin kuat.
"Sakit sedikit saja kok" Katanya masih dengan nada yang sama seperti sebelumnya. Lembut dan penuh sabar. Seperti sedang menghadapi seorang anak kecil.
Dari jarak sedekat ini, aku mencuri pandang ke dagu mas Juna yang di tumbuhi jenggot agak tebal.
Duhai Rabb, wajah kami tak pernah sedekat ini, dan entah kenapa jantungku berdebar begitu kencang.
Menarik napas dalam-dalam, sekuat tenaga aku berusaha menormalkan perasaan yang ku rasa semakin bergejolak.
"Okay, beres" Ucap mas Juna usai menempelkan plaster pada lukaku.
Pria itu lantas merapikan kembali perlatan medisnya, lalu memasukkannya ke dalam kotak.
"Ada pusing?" Tanyanya.
"Sedikit"
"Nanti aku kasih obat buat menghilangkan rasa nyeri di jahitannya. Sekarang istirahat dulu" Mas Juna tersenyum lagi.
"Sekali lagi aku minta maaf, ya"
Senyuman yang membuatku benar-benar merasa kikuk.
"Sekali lagi aku minta maaf, ya. Nggak akan ada iguana lagi di sini"
Dia berbalik setelah sebelumnya pamit keluar dari kamarku.
"Astaghfirullah?? Ada apa denganku? Kenapa ada rasa nyaman, senang, dan benci dalam waktu bersamaan? Ada apa pula dengan mas Juna? Kenapa sikapnya padaku berubah drastis menjadi sangat baik?"
Bersambung
keren juna, jawabanmu gentle berani menolak dan teruslah menjadi suami yang jadi pengayom dan pengayem
sakinah mawaddah warrohmah
semoga episode selanjutnya kak author kasih yura hamil kembar
lanjut kak
menawarkan tp utk menyakiti manusia lainnya
fix dia ini udah masuk snewen hahah