Berkisah tentang Alzena, seorang wanita sederhana yang mendadak harus menggantikan sepupunya, Kaira, dalam sebuah pernikahan dengan CEO tampan dan kaya bernama Ferdinan. Kaira, yang seharusnya dijodohkan dengan Ferdinan, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya karena tidak ingin terikat dalam perjodohan. Di tengah situasi yang mendesak dan untuk menjaga nama baik keluarga, Alzena akhirnya bersedia menggantikan posisi Kaira, meskipun pernikahan ini bukanlah keinginannya.
Ferdinan, yang awalnya merasa kecewa karena calon istrinya berubah, terpaksa menjalani pernikahan dengan Alzena tanpa cinta. Mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh canggung dan hambar, dengan perjanjian bahwa hubungan mereka hanyalah formalitas. Seiring berjalannya waktu, situasi mulai berubah ketika Ferdinan perlahan mengenal kebaikan hati dan ketulusan Alzena. Meskipun sering terjadi konflik akibat kepribadian mereka yang bertolak belakang, percikan rasa cinta mulai tumbuh di antara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Akan Menjagamu Selamanya.
Pagi itu, sinar matahari yang hangat mulai menembus jendela kecil rumah nenek Alzena. Aroma teh hangat dan makanan tradisional mulai menyebar dari dapur kecil yang dipenuhi suasana kekeluargaan. Alzena terlihat sibuk membantu sang nenek memasak sarapan sederhana namun penuh cinta.
"Sayang, ini gimana? Sudah pas asin sambelnya belum?" tanya Alzena sambil menyodorkan cobek sambal kepada neneknya.
Sang nenek mencicipi sedikit sambal itu dengan senyum puas. "Pas sekali! Kamu memang pintar, sama seperti ibu kamu dulu," ujarnya, membuat Alzena tersenyum haru.
Di meja makan, mereka menyiapkan nasi hangat, tempe goreng, ikan asin, lalapan segar, dan sambal yang baru saja dibuat. Alzena juga menambahkan teh manis hangat yang ia tuang ke dalam cangkir keramik sederhana.
Sementara itu, Ferdinan keluar dari kamar dengan pakaian kasual, terlihat rapi namun santai. Dia tersenyum melihat Alzena dan neneknya sibuk menyajikan sarapan.
"Wah, sudah siap sarapannya? Harum sekali, Sayang," kata Ferdinan sambil duduk di meja makan.
Alzena tersenyum, mendekat untuk menuangkan teh ke cangkir suaminya. "Mas, hari ini makan ala kampung ya. Nggak ada roti atau salad, tapi dijamin enak."
Ferdinan mengambil sepotong tempe goreng dan mencicipinya. Matanya membulat, lalu dia tersenyum lebar. "Enak banget! Rasa tradisional seperti ini nggak bisa dikalahkan sama makanan di restoran bintang lima."
Sang nenek tertawa mendengar pujian itu. "Makannya pakai tangan, Nak Ferdinan, biar makin terasa nikmatnya," ucap neneknya sambil memperlihatkan cara makan nasi dan sambal dengan tangan.
Ferdinan pun mencoba mengikuti arahan nenek, dan meskipun terlihat canggung, ia menikmatinya dengan tawa kecil dari Alzena.
"Ini pengalaman baru buat aku, Sayang," katanya sambil memandang Alzena dengan penuh kasih.
Sarapan itu menjadi momen yang tak terlupakan, penuh kehangatan keluarga, dan semakin mempererat hubungan Ferdinan dan Alzena dengan sang nenek. Mereka menikmati makanan sederhana dengan hati penuh syukur dan bahagia.
Ferdinan memasuki kamar masa kecil Alzena yang masih dihiasi dengan nuansa sederhana. Di dindingnya, sejumlah foto masa kecil Alzena terpajang rapi dalam bingkai kayu klasik. Ia tersenyum lebar saat melihat foto-foto itu satu per satu.
"Kamu sudah cantik sejak kecil, Sayang," gumamnya pelan, meski hanya ada dirinya di dalam kamar itu.
Salah satu foto menarik perhatiannya. Foto itu menampilkan Alzena kecil dengan tubuh agak gemuk, pipi tembam, dan senyuman manis sambil memegang boneka kelinci. Ferdinan tertawa kecil, matanya berbinar penuh rasa sayang.
"Ternyata kamu dulu menggemaskan sekali. Pipinya bikin gemas," katanya sambil menyentuh lembut bingkai foto itu.
Tak jauh dari situ, ada foto Alzena yang sedang berlari di kebun teh dengan rambut dikepang dua. Wajah polosnya menatap kamera dengan gembira, seolah menyimpan kebahagiaan masa kecil yang sederhana namun penuh cinta.
Saat itu, Alzena masuk ke kamar dan mendapati Ferdinan sedang asyik mengamati foto-fotonya. Dengan wajah sedikit malu, ia mendekat. "Mas, kenapa ngeliatin foto-foto itu? Aku malu, deh."
Ferdinan menoleh dan tersenyum lembut. "Kenapa malu? Kamu cantik dari dulu. Tapi aku nggak nyangka kamu pernah agak gemuk. Lucu banget, Sayang."
Alzena tertawa kecil, mengingat masa kecilnya yang penuh kenangan. "Iya, aku dulu doyan makan, jadi lumayan chubby. Tapi nenek selalu bilang aku sehat, jadi aku nggak pernah peduli."
Ferdinan mendekat, menggenggam tangan Alzena. "Aku suka melihat sisi ini dari kamu. Sederhana, penuh cinta, dan apa adanya. Kamu beruntung punya nenek yang selalu menyayangimu."
Mereka berdua duduk di tepian tempat tidur, memandangi foto-foto itu bersama, sambil Alzena bercerita tentang masa kecilnya. Momen itu semakin membuat Ferdinan jatuh cinta pada istri yang kini melengkapi hidupnya.
Alzena tengah asyik memetik sayuran di kebun belakang rumah neneknya, ditemani oleh Ferdinan yang berdiri di dekatnya sambil sesekali membantu memasukkan sayuran ke dalam keranjang. Suasana tenang itu mendadak berubah ketika suara seorang pria menyapa dengan ramah.
"Alzena? Lama sekali nggak ketemu," ucap pria itu dengan senyum lebar.
Alzena menoleh, terkejut sekaligus senang melihat sosok Lukman, kakak kelasnya semasa sekolah. Ia kini tampak lebih dewasa, mengenakan pakaian rapi khas seorang kepala desa.
"Lukman? Ya ampun, kamu sekarang kepala desa?" tanya Alzena sambil tersenyum lebar, menaruh keranjangnya sejenak.
Lukman mengangguk sambil tertawa kecil. "Iya, sudah beberapa tahun ini. Tapi nggak nyangka aku bisa ketemu kamu lagi di sini. Kamu lagi pulang kampung, ya?"
"Iya, lagi kangen sama nenek," jawab Alzena.
Ferdinan, yang berdiri tak jauh dari Alzena, memperhatikan dengan cermat. Meskipun ia tetap menjaga senyumnya, matanya mengamati interaksi antara istrinya dan pria itu dengan rasa ingin tahu.
"Oh iya, kenalkan, ini suami saya, Ferdinan," kata Alzena sambil meraih tangan Ferdinan dan membawanya lebih dekat.
Lukman tampak sedikit terkejut, tapi ia segera mengulurkan tangannya. "Wah, selamat ya, Alzena. Saya Lukman, teman lamanya."
Ferdinan menjabat tangan Lukman dengan senyuman sopan, meskipun ia merasa sedikit terganggu dengan cara pria itu menatap Alzena. "Senang bertemu dengan Anda, Pak Kepala Desa."
Lukman tertawa kecil. "Jangan panggil 'Pak', biasa aja. Saya ini masih teman lamanya Alzena."
Ferdinan hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Lukman kemudian melanjutkan, "Alzena, kamu tahu nggak, dulu aku sering nungguin kamu di depan kelas cuma buat ngeliat senyummu."
Alzena tertawa kikuk, sementara Ferdinan mengerutkan kening sejenak sebelum cepat-cepat mengendalikan ekspresinya.
"Ah, itu dulu, Lukman. Sekarang aku sudah punya Mas Ferdinan," jawab Alzena sambil melirik suaminya dengan senyum manis, mencoba menenangkan suasana.
"Iya, pastinya. Kamu beruntung punya istri seperti Alzena," kata Lukman kepada Ferdinan dengan nada setengah bercanda, lalu ia pamit.
Saat Lukman pergi, Ferdinan memandang Alzena dengan senyum tipis. "Banyak yang suka sama kamu, ya, Sayang?" tanyanya dengan nada menggoda, meski ada sedikit cemburu yang tersirat.
Alzena hanya tersenyum, mendekati Ferdinan dan meraih tangannya. "Tapi hatiku cuma buat kamu, Mas. Lukman itu cuma masa lalu yang nggak pernah jadi apa-apa."
Ucapan itu membuat Ferdinan tersenyum lebar, cemburunya sirna seketika. Ia menarik Alzena ke dalam pelukannya dan mencium keningnya dengan lembut. "Dan aku nggak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dari aku."
Ferdinan duduk di teras rumah nenek Alzena, menikmati udara sejuk dan pemandangan hijau perkebunan yang membentang. Suara burung berkicau dan gemerisik dedaunan menghadirkan kedamaian yang jarang ia rasakan di kota. Sambil menyeruput teh hangat yang dibuatkan oleh nenek Alzena, ia merasa sejenak lepas dari segala hiruk-pikuk dunia bisnis.
Nenek Alzena datang menghampiri dengan langkah pelan, membawa keranjang kecil berisi hasil kebun. Ia duduk di kursi rotan di samping Ferdinan.
"Mas Ferdinan betah di sini?" tanya nenek dengan senyum ramah.
"Betah sekali, Nek. Tempat ini begitu tenang, jauh dari keramaian," jawab Ferdinan sambil menatap ke arah nenek.
Nenek tersenyum lembut. "Alzena juga suka suasana desa seperti ini. Sejak kecil, dia memang lebih banyak tinggal di sini."
Setelah beberapa saat, nenek melanjutkan dengan nada yang lebih pelan. "Ngomong-ngomong soal Alzena, Mas Ferdinan tahu nggak tentang ayahnya?"
Ferdinan mengerutkan kening, merasa penasaran. "Ayah Alzena? Setahu saya, beliau sudah tidak ada, Nek. Memang ada sesuatu yang saya perlu tahu?"
Nenek menghela napas panjang. "Sebenarnya, ayah Alzena masih hidup. Tapi dia tak pernah datang ke sini, tak pernah menemui Alzena."
Ferdinan terkejut. "Kenapa begitu, Nek?"
Nenek menatap jauh ke depan, seolah mengingat masa lalu. "Dulu, ayah dan ibu Alzena menikah karena cinta. Tapi keluarga ayahnya, yang berasal dari keluarga kaya dan terpandang, tidak menyetujui hubungan mereka. Mereka merasa ibu Alzena, anak petani sederhana, tidak sepadan."
Nenek mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca. "Pernikahan mereka dipisahkan dengan paksa. Ayah Alzena tak mampu melawan keluarganya, dan akhirnya meninggalkan ibu Alzena begitu saja. Saat itu, Alzena masih sangat kecil. Sejak saat itu, dia tak pernah datang lagi."
Ferdinan mendengar dengan seksama, hatinya terasa berat membayangkan bagaimana Alzena tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah.
"Apa Alzena tahu tentang ini, Nek?" tanyanya dengan hati-hati.
Nenek menggeleng pelan. "Dia tidak tahu sepenuhnya. Saya takut kalau dia tahu, hatinya akan terluka. Saya hanya ingin dia bahagia sekarang, terutama dengan kehadiran kamu di hidupnya."
Ferdinan menggenggam tangan nenek dengan lembut. "Nek, saya janji akan menjaga Alzena dan membuatnya bahagia. Saya juga ingin membantu Alzena kalau suatu saat dia ingin mencari tahu tentang ayahnya."
Nenek tersenyum tipis, menepuk tangan Ferdinan dengan penuh kasih. "Terima kasih, Mas Ferdinan. Kamu benar-benar suami yang baik untuk Alzena."
Percakapan itu membuat Ferdinan semakin menghargai Alzena dan perjuangannya selama ini. Ia berniat memberikan segala cinta dan dukungannya untuk wanita yang kini menjadi pendamping hidupnya.
Di tengah suasana damai di kampung halaman Alzena, Farrel dan Darren menghadapi krisis besar di kantor pusat perusahaan Ferdinan. Data sensitif perusahaan diretas oleh pihak tak dikenal, membuat sistem perusahaan lumpuh dan berbagai informasi penting terancam bocor. Farrel segera menghubungi Darren, keduanya saling bertukar ide untuk menangani masalah ini.
"Ini bukan serangan biasa," ujar Darren dengan nada tegang melalui telepon. "Peretas ini sepertinya profesional. Mereka tidak hanya mencuri data, tapi juga mengunci sistem dengan ransomware.