Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Perasaan Tutik tak karuan. Dua sisi dalam hatinya sedang bertarung saat ini. Sisi baiknya berkata jika dia harus mencegah Nuri meminumnya, tapi sisi satunya lagi, mengiming iming imbalan uang dari Yulia.
"Jangan!" Teriak Tutik saat Nuri hampir saja menyeruput tehnya. Rasanya lega sekali saat kata itu berhasil lolos dari tenggorokannnya.
"Ada apa Mbak?"
Bukannya menjawab, Tutik malah menghampiri Nuri, merebut gelas berisi teh tersebut lalu membuang isinya kedalam wastafel.
Yulia tak mengira jika Tutik tak takut dengan ancamannya. Padahal tinggal sedikit lagi Nuri akan meminum teh tersebut. Tapi pembantu sialan itu telah menggagalkan rencananya.
"Kok dibuang Mbak?" tanya Nuri yang merasa bingung.
"Nyonya Yulia telah mencampurkan sesuatu kedalam teh tadi."
Deg
Jantung Nuri seperti berhenti berdetak mendengar pengakuan Tutik. Dia tak mengira jika Yulia masih berani sekali lagi hendak mencelakainya.
"Heh, ngomong apa kamu barusan?" Yulia yang tak terima langsung menghampiri Tutik dan memelototinya. "Jangan bicara omong kosong," bentaknya.
"Aku melihat sendiri Nyonya Yulia mencampurkan sesuatu ke teh kamu Nur."
PLAK.
Sebuah tamparan keras mendarat kewajah Tutik. "Jangan fitnah saya."
Tutik memegangi pipinya yang terasa panas. Air matanya mengalir. "Dulu saya sudah pernah melakukan kesalahan dengan mencuri cincin Nuri. Tapi kali ini, saya tak mau lagi menuruti kata Nyonya. Lebih baik saya dipecat daripada harus menanggung rasa bersalah seumur hidup."
Kaki Nuri terasa lemas. Dia berpegangan pada pinggiran meja sambil menatap nanar kearah Yulia. Dia tak habis pikir, kenapa ada wanita seperti Yulia, tega hendak melenyapkan cucunya sendiri.
"Terbuat dari apa hati Ibu?" Nuri bertanya dengan mata berkaca kaca. "Tega sekali Ibu hendak melenyapkan keturunan Ibu sendiri, cucu Ibu."
"Diam kamu. Dia bukan cucu saya. Dan sampai kapanpun, saya tak akan pernah mengakuinya sebagai cucu."
Nuri mengepalkan kedua telapak tangannya. Ini sudah kedua kalinya. Dan mertuanya itu semakin hari semakin nekat saja.
Yulia mendakati Nuri sambil menatapnya nyalang. "Aku hanya akan mengakui cucu yang lahir dari rahim Fasya. Anak kandung Sabda dan Fasya, bukan anak haram yang lahir dari rahim wanita murahan sepertimu."
"Cukup Bu," teriak Nuri. Hatinya sakit sekali mendengar anaknya disebut anak haram. Dia tahu anak itu ada karena perbuatan haram kedua orang tuanya. Tapi anak dalam kandungannya tak salah apa-apa, dia dan Dennis yang bersalah.
"Berani kamu membentakku," pekik Yulia sambil menarik rambut Nuri.
"Lepas." Nuri berusaha melepaskan rambutnya dari jambakan Yulia. Kulit kepalanya terasa panas karena ulah mertuanya tersebut.
Dari luar dapur, Fasya sedang tersenyum sambil menonton pertunjukan didepannya. Sengaja dia diam saja agar jika terjadi sesuatu, Sabda tidak menyalahkannya.
Nuri yang tak tahan merasakan sakit dikulit kepalanya, mendorong Yulia hingga wanita paruh baya itu jatuh terjengkang.
Yulia memekik kesakitan saat kepala bagian belakang dan punggungnya terbentur lantai yang keras.
Tutik gemetaran saking takutnya. Dia tak menyangka jika selain adu mulut, Yulia dan Nuri juga adu fisik. Apa yang dilihatnya barusan sungguh menegangkan melebihi film action yang pernah dia tonton.
"Kurang ajar, kau semakin berani Nuri." Dengan badan yang masih terasa sakit, Yulia bangkit untuk mengambil ponselnya yang ada diatas meja. Dia menelepon satpam dan menyuruhnya masuk.
"Wanita murahan, bersiaplah untuk angkat kaki dari rumahku. Sebantar lagi satpam akan datang. Mereka akan menyeretmu keluar dari rumah ini."
Nuri tersenyum mendengar dirinya diusir. Tak ada rasa takut sedikitpun dihatinya. "Harusnya Ibu tak perlu memanggil satpam, karena aku akan dengan suka rela keluar dari rumah ini." Nuri sudah tak tahan lagi. Melihat kelakuan Yulia, dia jadi ragu untuk meninggalkan anaknya dirumah ini. Dia yakin Yulia tak akan berhenti berusaha melenyapkan anaknya, bahkan mungkin saat anak itu sudah lahir nanti.
"Bagus kalau kau tahu diri. Kau sama sekali tak diharapkan dirumah ini. Kau itu hanya parasit, benalu."
Dua orang satpam telah tiba didapur. Seketika, Yulia menyeringai lebar. "Seret dia keluar dari rumah ini." Yulia menunjuk kearah Nuri.
Kedua satpam itu tampak ragu. Saat mereka mendekat, Nuri langsung mundur. "Jangan sentuh saya. Saya akan pergi sendiri."
"Ya sudah, tunggu apalagi, cepat pergi," hardik Yulia.
Nuri tesenyum kearah Yulia sambil mengusap perutnya. "Saya pastikan Ibu akan menyesal telah melakukan ini pada saya. Karena sampai kapanpun, Ibu tak akan memiliki cucu selain anak ini."
"Bicara apa kamu?" Fasya yang sejak tadi hanya menonton dari luar dapur, langsung maju karena tak terima dengan ucapan Nuri. "Kau mengataiku mandul? Kau pikir aku tak bisa memberikan keturunan di keluarga ini?" bentak Fasya.
"Aku tak bilang seperti ini."
"Tapi saat kau bilang jika anakmu satu satunya cucu Ibu, secara tak langsung kau mengataiku mandul."
"Sekali lagi, aku tak pernah bilang kau mandul." Nuri membuang nafas berat. Dia yang sudah sangat muak, tak ingin lagi terus berdebat.
"Ta_"
"Sudahlah Fasya, jangan diperpanjang," potong Yulia. "Biarkan dia segera pergi. Aku sudah muak melihat wajahnya." Yulia memalingkan wajahnya. Seakan akan hendak muntah jika menatap Nuri.
Nuri meninggalkan dapur. Pergi kekamar untuk mengemasi barang barangnya.
"Kalian berdua," Yulia menunjuk 2 orang satpam yang masih berdiri disana. "Awasi wanita itu, jangan sampai dia mencuri sesuatu dari rumah ini."
Nuri hanya mengelus dada mendengar ucapan Yulia. Sebaiknya dia memang pergi dari sini. Demi anak dalam kandungannya dan demi menjaga kewarasan.