Seorang pemuda yatim piatu dan miskin yang tidak memiliki teman sama sekali, ingin merubah hidupnya. Buku warisan nenek nya menjawab tekadnya, 7 mentor atau guru yang berasal dari dunia lain yang jiwanya berada di dalam buku mengajari nya macam macam sampai dia menjadi orang yang serba bisa.
Kedatangan seorang gadis bar bar di hidupnya membuat dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada keluarganya dan membuat dirinya menjadi yatim-piatu. Ternyata, semuanya ulah sebuah sekte atau sindikat yang berniat menguasai dunia dari balik layar dan bukan berasal dari dunia nya.
Akhirnya dengan kemampuan baru nya, dia bertekad membalas dendam pada musuh yang menghancurkan keluarganya dan menorehkan luka di keningnya bersama gadis bar bar yang keluarganya juga menjadi korban sindikat itu dan tentu juga bersama ke tujuh gurunya yang mendampingi dirinya.
Genre : Fantasi, fiksi, action, drama, komedi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Keesokan paginya, setelah menyelesaikan rutinitas berjalan sejauh 2 km dan mengayunkan pipa sepanjang jalan, jam 6:30 Evan bersiap untuk berangkat kesekolah dengan beban di kakinya. Bella juga sudah siap berangkat bersama Evan,
“Bel, kita ke sekolah bareng ?” tanya Evan.
“Hmm lo duluan deh, gue belakangan aja ga apa apa,” jawab Bella.
“Iya, kita jangan keliatan bareng, trus kalau ada orang sekitar sini yang liat lo keluar dari rumah ini, bilang lo sepupu gue ya,” balas Evan.
“Sip, mana mungkin gue bilang yang sebenernya, gue juga masih mau sekolah,” balas Bella.
“Thanks ya Bel,” balas Evan.
“Kenapa thanks, sudah wajar kan, dah lo duluan sana,” ujar Bella.
“Iya, gue pergi,” balas Evan.
“Eh...masa lupa ?” tanya Bella sambil manyun.
“Cup,” Evan mengecup bibir Bella kemudian dia berbalik dan keluar dari rumah. Ketika sudah keluar dari gang, langkahnya terasa enteng walau mengenakan beban dari Li Tian, alasannya karena dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi semalam,
“Semalem beneran ga mimpi kan (mengingat kejadian semalam dan wajahnya merah seketika) perjaka gue di renggut,” ujar Evan sambil menutupi matanya karena malu.
“Woi,”
Evan menoleh dan berbalik, dia melihat Joni yang tangannya masih di gantung berdiri di belakangnya bersama seorang pria betubuh kekar yang usianya mungkin di atas Joni sedikit, pria itu terlihat seperti atlet bela diri yang sudah profesional dan berwajah garang menatap Evan.
“Ampun deh, kenapa preman preman kayak mereka seneng banget bangun pagi buat nyegat orang, rajin sih, gue salut, tapi apa ga ada kerjaan laen gitu ?” tanya Evan dalam hati.
Joni, pria besar di sebelahnya dan tiga orang anak buahnya yang lari kemarin langsung menghampiri Evan.
“Kali ini mampus lo, sepupu gue juara muay thai dan atlet mma, (menoleh melihat pria besar di sebelahnya ) dia bang yang bikin tangan gue kayak gini,” ujar Joni.
“Oh dia, lo kalah ama orang ceking kayak gitu, payah lo (menoleh melihat Evan) nama gue Jacky, tapi percuma gue ngasih tahu lo, abis ini lo bakal ilang ingatan,” ujar Jacky.
“Ya udah cepetan sih, ntar gue telat nih,” balas Evan santai.
“An****\, lo\,”
“Wuuuz,” Jacky langsung menendang lurus ke depan, “tak,” pergelangan kakinya di tendang oleh Evan dengan kecepatan luar biasa sampai terpental ke atas, ketika Jacky sedang kaget tiba tiba Evan sudah di depannya dan melompat, “duaak,” dengkulnya menghantam dagu Jacky, “bruuk,” Jacky langsung tumbang terlentang di jalan.
“Ya elah, sekali pukul doang ? ayolah siapa lagi,” ujar Evan yang memasang kuda kuda nya.
Tapi tiga orang di belakang Joni langsung mengangkut Jacky yang bertubuh besar dan pergi, Joni mundur kemudian berbalik mengambil langkah seribu, tapi dia berbalik lagi, “ini belom kelar ya, liat aja lo ntar,” teriak Joni.
“Jah, bakal balik lagi dah,” ujar Evan.
Dia berbalik dan berjalan kembali ke sekolahnya, dia kembali memikirkan kejadian semalam dan mencoba mengingat ingat apa yang terjadi.
“Gila, gue pules banget apa ya, kok ga berasa apa apa ya, beneran ga sih,” ujar Evan.
[Li Tian : oi Evan, karena beban yang ada di kaki mu sepertinya terlalu ringan, sekarang ku tambah.]
“Dueeng,” langkah Evan langsung terasa sangat berat sampai wajahnya menjadi merah padam karena dia berusaha berjalan normal.
“Kaaak...berat banget,” ujar Evan teriak di kepalanya.
[Li Tian : pikirkan saja kejadian semalam, maka beban nya akan menjadi enteng.]
“Aaaaah tega amat sih...kejaaam,” teriak Evan.
[Li Tian : kamu bilang apa ? mau nambah ?]
“Enggak, ampun,” balas Evan.
“Sreek...sreek,” Evan menyeret kakinya karena dia tidak sanggup mengangkatnya, akhirnya pikirannya mulai fokus mengalirkan qi nya ke kaki sehingga bebannya tidak terlalu berat lagi, kemudian dia berjalan seperti yang di ajarkan Li Tian kepadanya.
“Bener, barusan gue ilang fokus, dah terusin, kejadian semalem pikirinnya nanti aja,” gumam Evan di hatinya.
Ketika sampai di depan gerbang sekolah, dia melihat Bella sudah bersender di dinding gerbang, Bella menoleh melihat Evan yang berjalan dengan perlahan menuju gerbang. Dia langsung menghampiri Evan.
“Kok lo lebih lama dari gue sih ?” tanya nya.
“Tadi ketemu biang kerok bentar,” jawab Evan terengah.
“Ya udah gue masuk duluan ya,” balas Bella.
“Ya, cepetan masuk,” balas Evan.
Evan melangkah ke dalam gerbang, setelah melewati gerbang, “tap,” tiba tiba pundak nya di tepuk seseorang dari belakang, dia menoleh melihat seorang guru yang memakai seragam pegawai negeri dan name tag bernama Ratna Susilo.
“Van, kamu di panggil kepala sekolah ya,” ujar Ratna yang sepertinya berjaga di gerbang.
“Iya bu, ada apa ya bu,” balas Evan.
“Kamu kesana aja dulu,” balas Ratna.
Evan melihat wajah Ratna yang menatapnya dengan rasa kasihan dan membuat dirinya sedikit bingung. Dia melangkah masuk ke dalam gedung sekolah dan melangkah menuju ke kantor kepala sekolah. “Tok...tok,” Evan mengetuk pintunya,
“Masuk,”
Seorang pria paruh baya yang adalah kepala sekolah menjawab ketukan pintu Evan, “kreek,” Evan membuka pintunya dan mengintip ke dalam,
“Um...bapak cari saya ?” tanya Evan.
Kepala sekolah yang bertubuh sedikit gemuk, berambut putih dan berkacamata, melihat ke arah pintu dan melihat Evan mengintip.
“Evan Mahendra ya, masuk Van,” ujar kepala sekolah.
Evan masuk ke dalam kemudian menutup pintunya, kepala sekolah berdiri mempersilahkan Evan duduk di kursi yang berada di depan meja kerjanya. Setelah Evan duduk,
“Gini Van, ini mengenai admistrasi sekolah, bagian keuangan melapor sama saya kalau kamu sudah tiga bulan belum bayar spp dan sekarang sudah terlewat batas tanggal nya di bulan keempat. Saya mengerti kamu belum lama ini kehilangan nenek kamu, tapi masalah nya pihak yayasan menanyakan pada bagian keuangan dan mempertanyakan hal ini pada mereka, bagaimana kira kira Van, kamu bisa bayar kapan ?” tanya kepala sekolah.
Evan langsung terdiam, dia mulai berhitung di kepalanya dan membandingkan gaji nya dengan jumlah yang sudah dia hitung di kepalanya. Evan menunduk dan tidak bisa menjawab karena gajinya sangat kurang untuk membayar spp selama empat bulan.
“Um...kalau bulan depan bisa ga pak ?” tanya Evan.
“Hmm bulan depan ya, berarti sekitar dua mingguan lagi ya, kamu bisa pastikan tanggal berapanya ?” tanya kepala sekolah.
“Um...ga bisa sih pak, tapi saya janji saya usahakan bulan depan,” jawab Evan.
Kepala sekolah terdiam sejenak, dia menatap kertas di depannya yang berisi perincian spp Evan selama empat bulan yang di berikan bagian keuangan pada nya.
“Bapak ngerti Van, nanti bapak coba berbicara dengan pihak yayasan mengenai hal ini, sebenarnya mereka minta kamu di keluarkan dari sekolah, tapi bapak ber argumen dengan mereka kalau kamu salah satu siswa pintar di sekolah ini dan sayang sekali kalau kamu harus keluar, jadi atas pertimbangan di atas, kamu sementara di rumahkan ya, sampai bisa melunasi. Maaf sekali ya Van, bapak cuman bisa mengusahakan sebatas ini,” ujar kepala sekolah.
“Jleger,” Evan terasa seperti tersambar petir, kepalanya mendadak pusing karena memikirkan bagaimana dia mendapat uang untuk membayar spp nya yang tertunggak, setelah terdiam beberapa saat, Evan terpaksa menerima ucapan pak kepala sekolah kepada diri nya,
“Gi..gitu ya pak, berarti saya sekarang pulang lagi ya pak ?” tanya Evan.
“Tidak hari ini kamu masuk saja, besok saja mulai efektif nya, sekali lagi maaf ya Van, ini perincian spp kamu, kamu bawa saja untuk hitung hitung, bapak akan coba bicara lagi sama yayasan supaya kamu di beri beasiswa atau tunjangan untuk meringankan kamu karena prestasi mu cukup tinggi,” jawab kepala sekolah.
“I..iya pak, saya mengerti, terima kasih ya pak,” ujar Evan.
“Ya sudah, sekarang kamu masuk ke kelas, sudah hampir bel kan,” ujar kepala sekolah berdiri.
“I..iya pak, sekali lagi terima kasih pak,” balas Evan yang juga berdiri.
Dengan langkah yang terasa lebih berat dari sebelumnya, Evan melangkah keluar dari kantor kepala sekolah. Dia berjalan perlahan menuju ke kelasnya sambil menunduk,
“Gue harus jual apa ya, duh gimana ya, kemarin RT, sekarang kepala sekolah, apa gue paksain bayar aja ya pake tabungan nenek, tapi ntar gue gimana ke depannya, aduuuh kenapa begini sih,” gumam Evan di hatinya.
Dia terus melangkah dan akhirnya sampai di kelas, ketika masuk, dia melihat Bella sudah mengobrol dengan teman teman grup nya, kemudian dia duduk di kursinya dan merebahkan kepalanya di meja.