Berawal dari kematian tragis sang kekasih.
Kehidupan seorang gadis berparas cantik bernama Annalese kembali diselimuti kegelapan dan penyesalan yang teramat sangat.
Jika saja Anna bisa menurunkan ego dan berfikir jernih pada insiden di malam itu, akankah semuanya tetap baik-baik saja?
Yuk simak selengkapnya di novel "Cinta di Musim Semi".
_Cover by Pinterest_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon seoyoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 {Penghiburan}
Usai menikmati makan malam bersama dengan beragam hidangan super lezat yang di pesan oleh Kayle, keduanya pun memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di pinggiran pantai sembari melakukan obrolan ringan yang bisa menambah kedekatan keduanya.
Sama seperti malam-malam biasanya, pemandangan malam ini pun sungguh luar biasa menakjubkan, tak hanya jutaan bintang yang bertaburan di langit malam, melainkan bulan penuh yang kini menjadi saksi awal mula pertemanan kedua sejoli itu terjalin.
Jauh diujung sana, tampak ombak pantai yang bergulung terdengar samar-samar, menciptakan latar belakang yang menenangkan untuk suara riuh renyah angin yang berhembus membawa rambut panjang Anna menari di udara.
Membuat Kayle semakin tak bisa memalingkan fokusnya dari bagian samping wajah Anna. Sadar tak boleh terlalu menunjukan ketertarikannya, Kayle pun hanya bisa memandangi siluet wanita cantik yang kini berjalan bersamanya melalui butiran pasir yang terhampar luas di hadapannya.
“Sekali lagi aku ingin mengucapkan terimakasih padamu Kayle,” gumam Anna seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku jaket milik Kayle, sementara tas kecil dan sepatu kets miliknya di jinjing oleh Kayle.
Iya, karena Anna ingin berjalan tanpa alas kaki, ia pun lantas melepas sepatu kets nya sebelum menginjakan kakinya di atas butiran pasir pantai yang halus. Namun tentu saja Kayle tak membiarkan Anna menenteng sepatunya sendiri, tanpa persetujuan Anna, Kayle menyambar sepatu kets milik Anna sekalian dengan tas yang sebelumnya Anna pegang kini telah berpindah tangan.
Begitulah awalnya kenapa kini Kayle menenteng sepatu serta tas kecil milik Anna. Dengan sikap gentleman nya Kayle mengambil alih semua yang bisa membebani Anna.
“Hmp, gak perlu sungkan kak Anna, kita kan sudah berteman,” sahut Kayle diiringi senyum merekah yang menenggelamkan kedua mata sipitnya.
“Hmp, (Anna menghela nafas sejenak sebelum kembali merespon perkataan Kayle) bagaimana kabar Sean?” tanya Anna yang tentu saja membuat Kayle terhentak dalam keterkejutannya.
Kayle menghentikan langkahnya seraya memandangi Anna dengan raut wajah bingungnya.
Menyadari Kayle sudah tidak lagi berjalan disampingnya, Anna pun ikut menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya membalas tatapan Kayle dengan seulas senyum manisnya.
“Sean yang memintamu untuk menjadi pengacaraku bukan?” jelas Anna yang semakin menciptakan beribu pertanyaan yang berkecamuk dalam benak Kayle.
“Adikku juga yang memberitahukan mengenai kelemahanku, buta arah,” sambung Anna lagi yang masih di iringi seulas senyum teduh yang kembali berhasil menghipnotis Kayle beberapa saat.
“Bagaimana?” gumam Kayle yang masih tak mengerti, bagaimana Anna bisa mengetahui fakta mengenai pertemanan Kayle dengan adik tirinya.
“Berbeda dengan kedua orang tuaku, adikku … sangat perduli dan menyayangiku,” papar Anna seraya kembali memutar tubuh dan melanjutkan perjalanannya.
Begitupun dengan Kayle yang ikut menarik langkah dan menyusul Anna agar bisa berjalan beriringan kembali.
“Lantas, kenapa kak Anna selalu menolak kunjungan Sean?
Padahal dia selalu berharap bisa bertemu denganmu, dia pikir jika kau membencinya,” timpal Kayle yang semakin bingung dengan hubungan rumit dalam keluarga Anna.
Anna hanya membalasnya dengan senyuman, senyuman yang mengandung banyak arti, meskipun ia tak menemukan jawaban apapun atas pertanyaan nya, Kayle hanya mengangguk pelan, ia mengerti jika ada hal yang tak bisa Anna ceritakan padanya untuk saat ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah melalui hari yang panjang bersama, keduanya pun kembali ke mobil.
“Kemana aku harus mengantarmu pulang?” tanya Kayle yang sudah siap menancap gas mobil.
“Shooky Café, akan ku masukan alamatnya,” timpal Anna seraya memasukan alamat tujuan ke GPS mobil Kayle.
“Ahh Shooky cafe dekat dengan rumahku, (ujar Kayle begitu ia melihat alamat yang sudah dimasukan ke GPS mobil oleh Anna)
Di area sekitar sini juga ada café kok, mau ngopi di café terdekat aja?” Kayle menyarankan sembari melirik ke arah Anna yang lebih memilih membawa fokusnya ke balik jendela luar.
“Engga, (tolak Anna) aku hanya ingin bertemu dengan temanku, dia pemilik Shooky Café,” jelas Anna yang membuat Kayle mengangguk mengerti.
“Ahh begitu, temanmu, temanmu yang itu … “
“Bukan, (sanggah Anna, yang mengerti maksud Kayle) sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengannya pada awalnya, karena kami lebih sering berselisih ketimbang damainya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari siapa temanku yang sesungguhnya,” imbuh Anna seraya menoleh dan memberikan senyum tipisnya pada Kayle.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di Shooky Café.
“Terimakasih sudah menemaniku seharian ini Kay,” pamit Anna seraya melepas sabuk pengaman.
“Huh, (respon Kayle yang tampak sedikit kecewa karena pikirnya Anna akan mengajaknya turun dan mampir lebih dulu, namun nyatanya Anna malah langsung mengusirnya secara halus)
Ahh I … Iya sama-sama kak Anna,” imbuh Kayle sembari terus memperhatikan Anna yang hendak turun dari mobil nya.
“Lain kali,” kata Anna sebelum ia menutup pintu mobil Kayle.
Kayle tampak mengerutkan dahinya untuk mewakili rasa bingungnya.
“Lain kali aku akan mengenalkan mu dengan temanku, hari ini aku sudah lelah sekali,” jelas Anna yang diakhiri seulas senyum manisnya, yang lagi-lagi berhasil melelehkan hati pria berbadan besar itu.
Kayle mengangguk dan membalas senyuman Anna.
“Hati-hati Kay,” pungkas Anna sebagai tanda perpisahannya, ia pun menutup pintu mobil dan sedikit menyingkir, memberikan ruang yang cukup untuk mobil Kayle melesat pergi dari area pekarangan Shooky Café.
Kayle melirik ke arah kaca spion mobilnya untuk memandangi pantulan paras cantik Anna yang masih terdiam di tempat, sebelum ia meninggalkan area pekarangan café tersebut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“ANNA!” panggil seseorang yang baru saja keluar dari pintu belakang café, ia menjatuhkan keresek besar yang dipenuhi sampah kemudian berlarian menghampiri Anna yang kini telah berbalik dan tersenyum tipis ke arahnya.
“YAAK!! Kau kemana aja sih! (amuknya, ia melepaskan pelukannya setelah beberapa detik dan beralih menangkup rahang Anna dengan 2 tangannya) aku hampir saja melapor polisi, kukira kau tersesat atau diculik! Aughh!! Kau benar-benar membuatku khawatir!” geramnya yang kembali menarik tubuh kurus Anna masuk ke dalam pelukan hangatnya.
“Hentikan! Kau ini masih sama aja hebohnya seperti dulu, aku hanya berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara segar,” Anna menjelaskan seraya mencoba melepaskan diri dari jerat pelukan erat karibnya.
“Apa?! Jalan-jalan? Sendirian? Kenapa kau tak bilang sih! Kebiasaan! Kau selalu melakukan hal apapun semau mu, seharunya kau memberitahuku agar aku tak khawatir!” gerutunya penuh emosional, layaknya seorang ibu yang tengah memarahi putri kecilnya yang nakal.
“Ponselku mati, dan aku juga tak hapal nomormu, sudahlah, aku lelah, aku ingin istirahat, ijinkan aku untuk bermalam di cafe mu,” pungkas Anna yang kemudian menarik langkah hendak masuk ke dalam café lewat pintu belakang.
“Tidak, tidak, tidak boleh di café, ikut ke apartemenku saja! (kata Edrea seraya menahan tangan Anna, ia berhenti sejenak seakan tengah menimbang sesuatu dalam benaknya)
Kau tunggu disini, aku mau pamit dulu sama anak-anak (maksudnya 2 karyawannya yang usianya tidak jauh beda dengannya) jangan kemana-mana oke!” Edrea menekankan.
“Kalau kau masih lama, berikan aja kartu apartemen dan alamatnya aku … “
“TIDAK!” potong Edrea dengan nada tinggi yang memekakkan telinga.
“Aissh! Iya, iya aku mengerti, gak perlu ngegas juga kali,” keluh Anna seraya men tap-tap telinga yang terasa berdengung efek dari pekikan nyaring karibnya.
Bersambung***