Alexa Beverly sangat terkenal dengan julukan Aktris Figuran. Dia memerankan karakter tambahan hampir di setiap serial televisi, bahkan sudah tidak terhitung berapa kali Alexa hanya muncul di layar sebagai orang yang ditanyai arah jalan.
Peran figurannya membawa wanita itu bertemu aktor papan atas, Raymond Devano yang baru saja meraih gelar sebagai Pria Terseksi di Dunia menurut sebuah majalah terkenal. Alexa tidak menyukai aktor tampan yang terkenal dengan sikap ramah dan baik hati itu dengan alasan Raymond merebut gelar milik idolanya.
Sayangnya, Alexa tidak sengaja mengetahui rahasia paling gelap seorang pewaris perusahaan raksasa Apistle Group yang bersembunyi dibalik nama Raymond Devano sambil mengenakan topeng dan sayap malaikat. Lebih gilanya lagi, pemuda dengan tatapan kejam dan dingin itu mengklaim bahwa Alexa adalah miliknya.
Bagaimana Alexa bisa lepas dari kungkungan iblis berkedok malaikat yang terobsesi padanya?
Gambar cover : made by AI (Bing)
Desain : Canva Pro
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayo Berlibur!
"Ini terlalu banyak. Mama bilang hanya mengirim koleksi terbaru untuk musim ini, tapi rasanya seperti koleksi tiga musim dikirim sekaligus?"
Alexa tidak berniat mengomeli beberapa karyawan ibunya yang datang dengan kotak-kotak berisi pakaian koleksi terbaru Magnofy, tapi barang-barang itu terlalu banyak. Tidak hanya pakaian, ada juga tas dan sepatu, beberapa aksesoris, topi, bahkan kosmetik.
"Ini semua adalah beberapa produk yang akan dipamerkan dalam Magnofy's Fashion of The Year. Nyonya ingin semua barang yang akan ada di sana dikirimkan pada Nona Alexa."
Penjelasan itu membuat Alexa menghela napas. Kalau ada kata beberapa, itu artinya ia belum menerima seluruhnya. Apartement yang Alexa tinggali memang luas, tapi mustahil menyusun barang sebanyak itu di kamarnya.
"Aku sudah memilih beberapa pakaian, sepatu dan aksesoris untuk digunakan lebih dulu. Sisanya tolong kirim ke kediaman utama." Alena yang baru saja mengecek seluruh barang yang datang berucap tenang, mengabaikan rengutan di wajah cantik Alexa.
"Kenapa tidak mengirim semuanya ke kediaman utama? Pakaianku yang ada di sini sebagian besar masih belum pernah digunakan. Bukankah mencurigakan seorang aktris kecil sepertiku memakai baju berbeda setiap hari? Apalagi semuanya berasal dari brand ternama." Alexa kembali mengeluh, meski tahu bahwa sikapnya tidak baik.
Bukannya tidak bersyukur, tapi rasanya berlebihan. Alexa bahkan harus membeli beberapa potong pakaian normal yang bisa dipakai ke lokasi syuting. Kan, tidak lucu kalau datang ke lokasi sebagai pemeran ekstra figuran, tapi pakaian yang dikenakan lebih mahal dari bayaran aktris utamanya.
"Bibi Valisha akan mengirim lebih banyak kalau kau menyingkirkan barang-barang ini ke kediaman utama begitu saja. Mereka juga akan dimarahi kalau kau tidak memilih satu pun."
Alexa bahkan tidak bisa membantah saat yang dikatakan Alena adalah kebenaran.
"Yah, mau bagaimana lagi! Bilang pada Mama bahwa aku memilih sendiri beberapa barangnya, sisanya dikirim ke kediaman utama karena kamar di apartement ini tidak cukup untuk menampung semua itu."
"Terima kasih atas pengertian Anda, Nona."
Alexa mengabaikan tatapan berbinar dan penuh syukur yang dipancarkan karyawan Magnofy. Yah ... jelas bukan hal yang buruk memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain.
"Ah, ya, kapan Bibi Valisha akan kembali dari London? Magnofy's Fashion of The Year akan dilaksanakan di Paris, kan? Apa hanya brand ambassador dari Eropa yang menjadi model?"
"Nyonya bilang akan kembali minggu ini kalau tidak ada halangan. Untuk model juga tidak hanya dari Eropa, mengingat ini adalah acara tahunan yang biasa digelar Magnofy, para brand ambassador dari berbagai negara juga akan hadir."
Alena mengangguk, acaranya masih sama besarnya seperti tahun-tahun lalu, bedanya sekarang digelar di Paris.
"Apa artinya aku tidak bisa duduk di kursi paling depan? Tahun ini sepertinya aku tidak bisa hadir, ya?" Alexa bertanya pelan setelah menyadari bahwa sangat besar kemungkinan ada yang mengenal wajahnya kalau wanita itu pergi dan duduk di kursi terdepan.
Lima orang yang berdiri di hadapan Alexa hanya bisa menunduk, tidak menjawab apa pun karena memang bukan hak mereka untuk ikut campur.
"Tanyakan itu pada Bibi VaLisha," ucap Alena mengingatkan.
***
"Haruskah kita jalan-jalan?"
Ide itu tercetus begitu saja setelah Alexa tidak berhasil menyelesaikan satu pun pekerjaannya. Wanita yang seminggu ini hanya berada di dalam apartement, keluar hanya untuk makan sebelum kembali mendekam di ruangan berisi banyak kertas berserak di lantai, akhirnya menyerah setelah kepalanya terasa ingin pecah.
"Ayo! Aku juga rasanya hampir mati," Alena yang baru keluar dari ruang kerjanya dan mendengar ide Alexa langsung mengangguk setuju. Wanita itu menghempaskan tubuh di sofa, perutnya mual dengan angka-angka yang berputar di kepalanya.
"Padahal kupikir kau terlalu menikmati pekerjaanmu sampai tidak mau makan di luar." Alexa tidak tahan untuk menyindir sejak Alena mengurung diri bersama laptop di ruang pribadinya, mengabaikan ajakan Alexa untuk sekedar mencari makanan di luar.
"Aku ingin segera menyelesaikannya. Laporan-laporan itu rasanya tidak pernah habis. Aku muak, tapi mereka terus berdatangan. Aku sempat berpikir ini adalah hukuman tambahan dari Mama." Alena menghembuskan napas panjang, menatap lukisan wajah salah satu member dari grup idola kesukaan Alexa yang tergantung di dinding.
"Kalau begitu ayo bersiap, kita ke luar. Mengelilingi kota, ke mall, nonton di bioskop, ke taman bermain atau ke mana pun, mencari udara segar." Alexa beranjak dari sofa, meregangkan sendi-sendinya terasa kaku dengan gerakan ringan. "Tapi, aku tidak bisa menyetir, tanganku sakit."
Alena mendecih, ikut berdiri, menyeret langkahnya menuju kamar. "Bilang saja sedang ingin mencari ide, tapi malas menyetir. Selalu aku yang menuruti keinginanmu, kan?"
"Memangnya kau tidak mau keluar? Apa pun alasan aku mengajakmu, intinya adalah kita pergi jalan-jalan, kan?"
Yah, memang tidak salah. Alena memasuki kamar tanpa mengatakan apa pun lagi, meninggalkan Alexa yang masih mengerutkan kening.
"Dia mengabaikanku," gumam Alexa sebal, kembali melangkah, memasuki kamarnya sendiri.
Ada empat kamar di apartement itu. Mereka membaginya menjadi dua, satu untuk kamar tidur dan satu lagi merupakan ruang kerja. Setiap orang memiliki privasi yang tidak bisa diganggu, jadi Alena dan Alexa terbiasa untuk tidak memasuki ruang kerja masing-masing tanpa izin lebih dulu.
Bukan apa-apa, tapi Alena pernah membereskan kertas-kertas yang berserak di lantai kamar Alexa, berpikir bahwa itu hanyalah sampah dan membuangnya. Mereka bertengkar hebat. Pertengkaran pertama yang diwarnai dengan aksi saling jambak dan teriakan penuh kemarahan.
Kertas-kertas itu berisi desain pakaian yang Alexa gambar susah payah. Wanita itu tertidur, kelelahan setelah berhasil menyelesaikan desainnya, tapi Alena datang dan dengan baik hati menyingkirkan semua hasil kerja keras Alexa.
"Benar-benar kenangan indah," gumam Alexa setelah kejadian tujuh tahun silam terbersit di benaknya.
Usia mereka masih delapan belas pada saat itu, usia di mana emosi mengalahkan segalanya. Alexa terkekeh pelan mengingatnya.
***
"Untuk pertama kali aku menyesali keputusanku pergi ke taman bermain." Alexa mengerang, ingin sekali menjambak rambutnya sendiri.
Alena dan Alexa memutuskan untuk pergi ke taman bermain, berniat menaiki semua wahana, berteriak dan tertawa bersama, menikmati semua makanan yang ditemui, memakai bando hewan lucu dan memakan es krim sambil menikmati langit sore sebagai penutup.
Tapi, sepertinya tidak ada satu pun rencana di benak dua wanita itu yang akan terlaksana. Taman bermain yang biasa mereka datangi tampak sangat ramai, bukan oleh pengunjung biasa, melainkan para penggemar dari dua orang yang sedang melakukan syuting.
"Dari semua taman bermain di kota ini, kenapa mereka memilih syuting di sini? Bukannya menjernihkan kepala datang ke sini, malah semakin keruh."
Alena menghela napas melihat kerumunan di hadapannya. Mereka semua tampak berebut ingin melihat dua pemeran utama, saling berhimpitan, tidak peduli meski menginjak kaki seseorang.
"Tidak ada harapan. Ayo ke tempat lain," ajak Alena akhirnya.
Alexa menurut, tidak bisa melakukan apa-apa saat sepertinya seluruh area taman bermain itu sudah disewa untuk keperluan syuting. Anehnya, entah bagaimana Alexa dan Alena masih bisa masuk ke dalam. Mungkin karena kartu khusus yang mereka punya membuat petugas tidak berani mengatakan apa pun.
"Lalu, kita mau ke mana?"
"Mau ke pantai?" tanya Alena saat tidak menemukan tempat yang cocok untuk menggantikan tujuan pertama mereka. "Suasana yang tenang sepertinya juga bagus untuk menjernihkan pikiran. Atau mau ke luar kota? Ke luar negeri?"
Kenapa destinasinya semakin jauh?
"Ke pantai terdekat saja. Kau tahu tempat yang bagus, tapi tidak terlalu ramai?"
Alena mengangguk, senyumnya melebar. "Tempat yang kita datangi saat pertama kali diam-diam mengikuti Bibi Valisha, masih ingat?"
Alexa bertepuk tangan, matanya berbinar saat membayangkan tempat yang pernah mereka kunjungi.
"Benar, kenapa tidak kepikiran ke sana! Ayo, aku tidak sabar melihat matahari terbenam."
Alena tertawa melihat antusiasme sepupunya. Mereka baru akan memasuki mobil saat sebuah suara menginterupsi.
"Alexa dan Alena, apa aku benar?"
Dua wanita itu otomatis menoleh, apalagi suara yang menyebut nama mereka terdengar cukup akrab.
"Wah, Paman tampan!" seru Alexa dan Alena bersamaan saat melihat tetangga baru mereka, Edgar, berdiri sambil tertawa sejak mendengar panggilan dua wanita itu untuknya.