Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Diculik
"Apa isinya ini dek?" Vino terkekeh melihat perut buncit adik perempuannya yang membulat dan kencang saat disentuh.
"Dua piring nasi, telur dadar dua, semangkuk tempe orek, dan tumis kangkung," polos Vaniza sambil mengusap perut buncitnya dengan pergerakan jemarinya yang memutar dipermukaan perutnya.
Keduanya lalu tergelak bersama. Menertawai kerakusan mereka yang ugal-ugalan saat di meja makan beberapa menit yang lalu.
Aku tersenyum sendiri memperhatikan interaksi kedua adikku itu dari meja belajarku sambil mengerjakan tugas Managemen Perpajakan yang diberikan oleh bu Suryani siang tadi.
Celoteh, kelakar, dan suka berantem satu sama lain, itulah yang menjadi hiburan bagiku dipenghujung lelahku seperti malam ini.
"Emak, Vina mau punya adik perempuan," ucapku 15 tahun silam, saat membantu ibuku memandikan Vino yang genap berusia 1 tahun.
Ibuku tersenyum memandangi ayahku, dan aku bahagia karena 1 tahun kemudian setelah permintaanku itu, ibu benar-benar memberikan aku seorang adik perempuan yang diberi nama Vaniza.
Sayangnya, kebahagianku itu tidak berlangsung lama, ibu meninggal sebelum selesai 40 hari masa nifasnya, kehabisan banyak darah.
Rupanya ada tumor ganas dirahim ibuku, kami baru mengetahuinya saat dibawa kerumah sakit besar, karena pada saat hamil hingga melahirkan ibu tidak pernah kerumah sakit ataupun puskesmas, terkendala dana, karena ayahku hanya seorang kuli bangunan parit.
Aku meraung menumpahkan segala lara hatiku, hidup tanpa ibu bagai kiamat bagiku.
Dari situlah kami mulai sering berhutang pada bibi Anggi, kakak kandung ayahku, karena Vaniza harus minum susu formula.
Hingga akhirnya, diusiaku yang ke 16 tahun, ayahku juga menyusul ibuku karena penyakit paru-paru basah yang dideritanya. Kata dokter, penyebabnya karena sering tidur di hutan yang dingin saat berkerja.
Rumah peninggalan ayah, diserahkan pada bibi Anggi untuk melunasi hutang kami padanya yang katanya menggunung. Aku terpaksa mencari rumah kontrakan kecil, dimana kamar tidur, kamar tamu, menjadi satu dengan dapur. Kecuali WC, memang terpisah, tapi jadi satu dengan kamar mandi.
Serasa dunia berhenti berputar saat itu. Tapi aku menguatkan diriku sendiri demi kedua adiku, apapun pekerjaan serabutan tetap kulakoni, yang penting halal. Nasihat ayah tetap selalu kuingat dan kulakukan, rajin beribadah, rajin sekolah, dan rajin berkerja, bila ingin merubah nasib.
...***...
Di parkiran kampus.
"Vina, elu nggak boleh kabur lagi, HiMa (Himpunan Mahasiswa) mau ngadain rapat 'ntar sore, nggak boleh absen-absen lagi ya," peringat Heru, ketua HiMa Fakultas Akuntansi kami.
"Duh, maaf ya kak, aku lagi ada kerjaan, ini lagi buru-buru, sudah ditunggu soalnya," sahutku.
Kemaren sore aku memang sudah berjanji pada salah satu pemilik rumah makan padang untuk mengambil kerja paruh waktu mencuci piring hingga malam hari. Kalau tidak kerja, bagaimana aku bisa bayar hutangku pada bude Romlah batinku, upah membantu mengangkat sayuran ke pasar subuh tadi hanya cukup ongkos angkot ke kampus.
"Emang elu kerjanya apaan sih? Gue anter gimana?" tawarnya, terlihat penasaran.
"J-jangan kak, a-aku bisa sendiri kok," aku menolak cemas.
Bukannya malu karena status pekerjaanku, dan mereka akan tahu kalau aku miskin akut. Tapi lebih pada tidak mau dikasihani, contohnya pak dekan, dia bermasalah dengan isterinya gara-gara mengasihani aku.
"Udah, gue nggak terima penolakan, buruan naik!" paksanya.
"Heru! Rupanya kamu sama cewe gatel ini di sini! Dasar, ayam kampus murahan!"
Plak!
"Akh!" aku mengerang sakit, mengusap pipi kananku yang terasa panas dan perih. Kedatangan kak Riska yang tiba-tiba tidak sempat membuatku menghindar.
"Keterlaluan!" Kulihat kak Heru menarik kasar tangan kak Riska yang digunakan untuk menamparku tadi.
"Kita putus! Gue... nggak sudi punya cewe kasar modelan elu!"
"Oh, ini pasti gara-gara kamu juga suka ayam kampus nakal itu kan?! Iya kan?!" tuduh Riska mengamuk.
Tak ingin berada disana lebih lama lagi, aku gegas melarikan diri, tapi seseorang menarik tanganku dari balik rimbunan pohon bonsai dan membekap mulutku dengan sapu tangan. Aku meronta sesaat, lambat laun pergerakanku melemah saat kurasa di sekelilingku berubah gelap, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.
...***...
"Ngapain disini?! Keluyuran aja kerjaannya!" bentak Bibi Anggi, melihat dua keponakannya meringkuk diteras rumahnya.
"Bibi, k-kami takut sendirian dirumah, k-kak Vina belum pulang," cicit Vaniza. Bocah perempuan itu selalu takut menghadapi bibinya itu, selain tubuhnya yang super besar, suaranya juga menggelegar bagaikan petir.
"Alesan! Paling minta makan kan?! Makanya kalian kerja walau masih kecil, biar dirumah ada makanan!"
"Pergi sana! Jangan ngerepotin bibi! Bibi lelah seharian jualan dipasar!"
"Kami takut Bibi, dirumah gelap, listriknya padam," Vino ikut memelas. Ia dan adiknya benar-benar takut gelap.
"Makanya kerja! Supaya bisa beli voucer listrik! Dasar, mental gratisan! Bisanya numpang aja!"
"Vaniza, Vino, sini... kerumah bude saja," panggil Romlah lembut, berdiri dibelakang pagar tembok rumahnya.
"Sana pergi! Datang'in tuh orang yang mau nampung kalian yang tidak berguna itu!"
Romlah yang bertetangga dengan Anggi hanya bisa prihatin melihat tetangganya itu yang seakan tidak punya hati pada keponakannya sendiri.
"Cah ayu, cah bagus ayo dimakan dulu, kalian pasti lapar," Romlah membuka tudung saji di meja makan, dibalas gelengan kepala kedua bocah itu secara bersamaan.
"Kenapa? Tak perlu sungkan, anggap rumah sendiri ya, bude seneng kalau kalian mau memakan masakan bude," Romlah membujuk dengan lembut.
"Vaniza sama kak Vino sudah makan bude," cicit bocah perempuan itu pelan, hampir tidak terdengar.
"Memang cah ayu makan apa tadi dirumah?" Romlah tersenyum lembut, bertanya hati-hati, ia yakin kedua bocah itu berbohong karena malu.
"Makan bubur nasi sama orek tempe bude," jawabnya dengan suara masih mencicit.
Romlah tersenyum lembut, pasti tempe yang sore kemaren diambil dari warungnya, fikirnya.
"Kok bubur nasi, 'kan kenyangnya nggak lama itu..." Romlah bertanya heran.
"Semalam kami sudah makan nasi yang banyak bude. Supaya cukup untuk seharian ini sampai malem, kak Vina jadikan beras yang sisa 2 cup itu bubur nasi aja bude," polos Vaniza dengan suaranya yang sudah tidak mencicit lagi.
Tanpa terasa, bulir bening disudut mata Romlah bergulir mendengarnya, ia mengusap lembut kepala Vaniza, juga Vino yang sangat pendiam itu.
...***...
"Ughhh! Kepalaku pusing... ughh... ughh..."
Bimo menatap ke atas ranjang tidurnya, mengawasi tubuh seorang gadis yang tengah menggeliat-geliat dibawah selimut tebal miliknya.
Sudah tidak ada pergerakan lagi, sepi, sunyi, senyap, dikamar itu.
Pria itu mengalihkan pandangannya, kembali merunduk, memperhatikan benda jadul di atas meja kacanya.
"Menjijikan," Bimo bergidik ngeri.
"Bisa-bisanya dia betah menggunakan barang rongsokan ini," ponsel senter jadul berwarna hitam, yang diikat 2 karet gelang sayur berwarna merah dan hijau ia angkat dengan dua jarinya.
Praaak!
"Ups, jatuh..." Bimo meringis kaget, tidak sengaja menjatuhkan ponsel itu ke lantai.
"Malang sekali nasibmu hitam..." memandangi ponsel senter jadul yang berserakan, terpisah-pisah di lantai keramik kamarnya.
Ia berjongkok, memungut kepingan kartu lalu memasukannya ke ponsel yang baru ia beli.
Detik berikutnya, ia mulai mengutak atik ponsel baru ditangannya, memasukan identitas dengan melihat kartu tanda penduduk milik sang gadis yang ia ambil dari tas kuliahnya.
Setelah berhasil mengaktifkannya, Bimo berinisiatif membalas pesan sesorang dengan nama nomor kontak Bude Romlah.
Rasa penasarannya kembali memaksa jarinya merazia kantong-kantong dompet yang ia temukan didalam tas.
Bimo tertegun sekian lamanya setelah menemukan 3 lembar uang kertas pecahan dua ribuan dan 4 keping logam pecahan dua ratus rupiah.
Bersambung...✍️
✍️Kata-kata untuk hari ini : Kebaikan mungkin hal yang merepotkan bagi kita. Tapi, kebaikan yang kita kerjakan di hari ini untuk sesama, akan berbuah manis dikemudian hari. Mungkin sang penerima kebaikan tidak akan mampu membalas, tapi ada Sang Pencipta yang akan melimpahkan segala kebaikan dalam hidup kita, asal ikhlas.
✍️Pesan moral : Tetaplah waspada, jangan sampai keculik 😎