"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Glimpse of Trust
Ruangan meeting di lantai delapan tampak sepi setelah sebagian besar karyawan beranjak keluar untuk makan siang. Di ujung meja panjang yang menghadap jendela besar, Elea dan Darren masih duduk. Elea sedang memeriksa ulang beberapa laporan keuangan di laptopnya, sementara Darren, dengan sikap santai, memutar-mutar pena di tangannya.
"Baiklah, Darren," kata Elea sambil menutup laptopnya. "Semua data sudah aku periksa. Tinggal bagianmu sekarang."
Darren tersenyum sambil mengangkat bahu. "Kalau begitu kita break dulu, ya? Aku lapar."
Elea melirik jam di pergelangan tangannya. "Kurasa ini waktu yang tepat untuk makan siang."
"Bagus," kata Darren sambil berdiri. "Hari ini, aku yang traktir."
Elea mengangkat alis, sedikit skeptis. "Kau yang traktir? Karyawan magang biasanya malah berharap ditraktir."
Darren tertawa kecil, memamerkan senyum menawannya. "Aku junior yang berbeda, Elea. Dan aku punya selera makan yang mahal, jadi percayalah, kau akan senang aku yang bayar."
Meski awalnya ragu, Elea akhirnya setuju. Mereka berjalan keluar dari gedung menuju sebuah restoran kecil di tepi Sungai Thames yang sering dikunjungi para profesional kantor. Suasana London di siang hari terasa sibuk, tetapi udara musim dingin yang sejuk membuat segala sesuatunya terasa segar.
***
Keramaian Covent Garden terasa begitu hidup, dengan seniman jalanan yang menampilkan tarian energik di tengah alun-alun, suara biola yang mengalun lembut dari sudut lain, dan turis yang berbaur dengan warga lokal. Darren memilih restoran kecil bergaya rustic dengan jendela besar yang menghadap ke jalan, menawarkan pemandangan kota London yang selalu bergerak.
Restoran itu tidak terlalu ramai. Darren memilih meja di sudut,dan dengan penuh semangat mempersilakan Elea duduk sebelum memanggil pelayan.
“Restoran ini salah satu favoritku,” kata Darren sambil menarik kursi untuk Elea sebelum ia duduk. “Mereka punya pie yang menurutku tidak ada tandingannya di London.”
Elea tersenyum tipis, merasa canggung dengan perhatian kecil seperti itu. “Kau terdengar seperti kritikus makanan. Sejak kapan kau tahu tempat-tempat seperti ini?”
Darren tertawa kecil, nada menggoda khasnya muncul. “Aku hanya seseorang yang punya selera tinggi, itu saja.”
Pelayan datang membawa menu, dan Darren segera memilih hidangan dengan percaya diri. Ia juga menawarkan rekomendasi untuk Elea, meskipun akhirnya membiarkannya memutuskan sendiri.
“Aku tidak menyangka kau bisa begitu gentleman,” Elea berkata sambil membuka menu.
Darren menyandarkan diri ke kursinya dengan sikap santai. "Ada banyak hal tentangku yang belum kau tahu, Elea. Dan siapa tahu, mungkin kau akan terkejut."
Elea hanya terkekeh pelan, memilih untuk tidak menanggapi komentar itu. Setelah mereka memesan makanan, Darren menatapnya dengan perhatian penuh, seperti seseorang yang ingin membaca ekspresi paling kecil sekalipun dari lawan bicaranya.
"Jadi," Darren membuka percakapan. "Tentang naskahmu. Sudah sampai mana?"
Elea tersenyum kecil. Pertanyaan itu membuatnya merasa dihargai, sesuatu yang jarang ia rasakan, terutama dari Adrian. "Masih jauh dari selesai. Tapi aku mulai melihat ke mana arah ceritanya."
Darren menyandarkan dagu di tangannya, wajahnya serius. "Apa kau merasa lebih percaya diri sekarang setelah aku bilang naskahmu bagus?"
Elea mengangguk pelan. "Ya. Aku rasa itu membantu. Tapi aku tahu, bagaimanapun, aku harus bisa percaya pada diriku sendiri."
Darren menyeringai. "Elea, kau tidak butuh alasan untuk percaya diri. Kau berbakat, dan aku serius soal itu."
Elea menatapnya, merasa sedikit tersipu meski ia mencoba menyembunyikannya. Tatapan Darren begitu intens, seolah semua perhatiannya tertuju hanya padanya.
Ketika makanan datang, Darren melakukan hal-hal kecil yang tidak Elea duga. Ia menyodorkan garam saat Elea mengernyit karena makanannya kurang rasa, menyisihkan gelasnya untuk memberi ruang di meja, bahkan mengingatkan Elea untuk tidak lupa mencicipi sup hangat yang ia pesan.
“Kau memperhatikanku seperti seorang pengasuh anak,” kata Elea sambil terkekeh pelan, mencoba menyembunyikan rasa aneh yang hangat di dadanya.
Darren tertawa kecil. "Bukan pengasuh anak, tapi… mungkin seseorang yang peduli?"
Elea menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Kau benar-benar aneh, Darren. Aku tidak pernah bertemu junior sepertimu sebelumnya."
Darren mengangkat bahunya. "Mungkin aku memang bukan junior biasa."
***
Suasana makan siang itu terasa nyaman, lebih seperti dua teman lama yang bertemu daripada rekan kerja. Darren, dengan caranya yang santai namun penuh perhatian, terus mencairkan suasana. Ia memastikan Elea tidak merasa canggung, bahkan memotongkan sepotong pie-nya untuk dicoba oleh Elea.
“Ini,” katanya sambil menyodorkan piring kecil ke arah Elea. “Kau harus mencoba pie daging mereka. Kalau tidak, pengalamanmu di restoran ini tidak lengkap.”
Elea, yang awalnya ragu, akhirnya menerima. “Kau tahu, Darren, aku mulai curiga. Kau lebih seperti pemandu wisata London daripada seorang staff magang.”
Darren menatapnya dengan senyum nakal. “Yah, aku memang seseorang dengan banyak bakat tersembunyi.”
Elea mendengus, meski senyum kecil muncul di wajahnya. Ada sesuatu tentang Darren yang membuatnya merasa lebih ringan, berbeda dari hari-hari biasanya yang penuh tekanan.
Saat percakapan bergulir, Darren perlahan membawa topik kembali ke naskah novel Elea. Ia bersandar di kursinya, memainkan garpu di tangannya sambil berkata, “Jadi, bagaimana kabar tulisanmu? Sudah ada perkembangan sejak terakhir kali kau tunjukkan padaku?”
Elea menghela napas kecil, menatap pie-nya yang hampir habis. “Aku menulis lagi pagi ini. Tapi, entahlah. Semakin banyak aku menulis, semakin aku merasa ini semua tidak ada gunanya.”
Darren mengerutkan kening. “Kenapa kau berpikir begitu? Dari yang kubaca kemarin, ceritamu punya potensi besar.”
Elea mengangkat bahu, mencoba menyembunyikan perasaan ragu dan kekecewaan. “Mungkin aku terlalu banyak mendengar komentar dari orang lain. Terutama Adrian.”
Ada jeda sejenak di antara mereka. Darren meletakkan garpunya dan menatap Elea dengan serius. “Adrian tidak mendukungmu?”
Elea menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. “Dia hanya… tidak percaya bahwa menulis bisa menjadi sesuatu yang nyata. Baginya, itu hanya buang-buang waktu.”
Wajah Darren mengeras sejenak, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum kecil. “Mungkin Adrian belum melihat apa yang aku lihat. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, dia akan menyadari betapa berbakatnya dirimu.”
Elea tersenyum kecil, meski matanya menunjukkan rasa syukur. “Kau terlalu banyak memuji, Darren. Tapi, terima kasih. Rasanya menyenangkan mendengar seseorang mempercayai mimpiku.”
"Aku tidak main-main soal membantumu menerbitkan naskahmu itu, kau tahu. Jika kau selesai menulisnya, aku bisa mengenalkanmu pada orang-orang yang tepat."
Elea memiringkan kepalanya, menatap Darren dengan curiga yang dibalut rasa ingin tahu. “Kau mengatakan itu lagi. Bagaimana bisa seorang junior seperti dirimu punya kenalan di dunia penerbitan?”
Darren tertawa gugup, lalu mengangkat tangan seolah menyerah. “Baiklah, mungkin aku sedikit melebih-lebihkan. Aku juga pernah bekerja sebagai asisten editor junior dulu sebelum magang di sini. Jadi, aku kenal beberapa orang.”
Elea mengangguk, meski masih ada keraguan di benaknya. “Kau punya latar belakang yang menarik, Darren.”
“Dan kau punya mimpi yang luar biasa,” balas Darren, nadanya lebih serius kali ini. “Jangan biarkan siapa pun, bahkan Adrian, membuatmu meragukan dirimu sendiri. Jika kau butuh dukungan, aku di sini.”
Perkataan Darren menohok hati Elea. Ia teringat kembali bagaimana Adrian sempat meremehkan naskahnya pagi tadi. Perbedaan antara sikap Adrian dan Darren begitu mencolok, seperti dua kutub yang bertentangan.
Elea akhirnya tersenyum kecil, kali ini dengan rasa hangat di hatinya. "Terima kasih, Darren. Aku benar-benar menghargai dukunganmu."
Darren menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum penuh kemenangan di wajahnya. "Tentu saja. Itu tugasku sekarang—menjadi cheerleader-mu."
Elea tertawa pelan, sementara Darren menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut. Dalam keheningan sesaat itu, Darren berpikir bahwa Elea adalah seseorang yang jauh lebih kuat dan luar biasa daripada yang ia duga. Ia merasa ada sesuatu yang ia ingin lindungi, meski tahu bahwa hubungan mereka terlalu rumit untuk ditafsirkan dengan mudah.
Ketika mereka selesai makan dan kembali ke kantor, suasana di antara mereka terasa lebih santai, lebih akrab. Namun di balik senyumnya, Darren menyimpan rahasia tentang siapa dirinya sebenarnya. Ia tahu, semakin dekat ia dengan Elea, semakin sulit baginya untuk menyembunyikan kebenaran itu. Tapi untuk saat ini, ia memilih menikmati momen-momen kecil yang membuatnya merasa lebih hidup di samping Elea.
***