Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Menjemput Sulastri Pulang dari Jakarta dan Tamu dari Belanda
Rabu, 8 Februari 1984
Pagi di Sekayu terasa berbeda. Udara segar di halaman rumah keluarga Brata ditemani kicauan burung yang bersahut-sahutan. Arya mematut diri di depan kaca jendela, memastikan penampilannya rapi. Amanda, yang sedang duduk di bangku ruang tamu, memandang ke luar jendela dengan gelisah.
“Ayah belum selesai-selesai juga?” tanya Amanda dengan nada tak sabar.
“Tenang saja, Amanda. Masih pagi. Kita pasti sampai tepat waktu,” jawab Arya sambil tersenyum kecil.
Hari ini memang hari yang istimewa. Sulastri, ibu mereka, akan pulang dari Jakarta setelah beberapa minggu di sana. Tidak hanya itu, tamu penting dari Belanda, Nenek Skylar, Kakek Thomas, dan Bibi Silvia, juga akan ikut bersama Sulastri. Rencana perjalanan ke Palembang untuk menjemput mereka sudah dipersiapkan matang-matang.
Dua mobil disiapkan. Mobil pertama dikendarai oleh Brata bersama Arya dan Amanda, sedangkan mobil kedua, yang dikemudikan sopir perusahaan, akan membawa keluarga Isat, tamu dari pihak keluarga besar Sulastri.
“Masuk mobil sekarang. Kita harus segera berangkat,” panggil Brata dari pintu depan.
Arya dan Amanda segera bergegas masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan menuju Palembang, Arya duduk di kursi depan, memperhatikan jalan yang lebar dan mulus. Pikiran Arya kembali ke kehidupannya sebelumnya, di mana jalan ini penuh lubang, sempit, dan membutuhkan waktu tempuh yang lama. Saat itu, Sekayu terasa begitu terbelakang, salah satu kota yang nyaris tidak berkembang dibandingkan daerah lain.
Namun kini, berkat kerja keras keluarga mereka dan koneksi Brata yang berhasil memperjuangkan pembangunan infrastruktur, jalan ini menjadi salah satu akses tercepat ke Palembang. Perjalanan sejauh 100 kilometer hanya memakan waktu 1,5 jam. Arya tersenyum kecil, bangga dengan perubahan besar ini.
“Arya, kalau ngantuk tidur saja. Nanti sampai Palembang, bangun,” ujar Brata sambil fokus menyetir.
Arya hanya mengangguk, tapi matanya terus mengamati pemandangan di luar. Sesekali ia melirik Amanda yang sudah tertidur di kursi belakang, sebelum akhirnya ia sendiri terlelap.
***
Ketika mobil berhenti, Arya membuka mata dan melihat bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di hadapannya. Amanda juga terbangun, mengucek mata dengan wajah mengantuk. Brata memarkir mobil dengan hati-hati, sementara Arya dan Amanda turun untuk ikut menunggu di ruang kedatangan.
“Sudah sampai, cepat sekali,” gumam Amanda sambil merapikan rambutnya.
Bandara terlihat sibuk. Penumpang berlalu-lalang, beberapa tampak membawa koper besar. Arya dan Amanda berdiri di samping Brata, menunggu dengan sabar. Hampir satu jam berlalu sebelum sosok yang mereka tunggu-tunggu akhirnya muncul di pintu kedatangan.
“Ibu!” Amanda berteriak gembira sambil berlari ke arah Sulastri.
Sulastri tersenyum lebar dan segera menggendong Amanda, memeluknya erat. “Ibu pulang, sayang.”
Di belakang Sulastri, ada tiga orang asing yang membuat Arya penasaran. Seorang pria tua berusia sekitar 50-an, seorang wanita yang tampak anggun dengan rambut putih yang disisir rapi, dan seorang wanita muda dengan gaya yang elegan. Mereka terlihat seperti keluarga bangsawan. Tak jauh di belakang mereka, tiga orang lainnya membawa koper besar—dua wanita dan satu pria.
Sulastri melangkah mendekat, masih menggandeng Amanda. “Brata, Arya, Amanda, kenalkan ini Paman Tom, Bibi Sky, dan Silvia. Mereka keluarga Nenek Isat.”
Arya menatap mereka dengan sopan dan memberi salam. “Welkom weer thuis, salam kenal Kakek, Nenek, dan Bibi.”
Nenek Sky tersenyum lebar, tampak terkesan. “Anak yang pintar. Kamu bisa bahasa Belanda? Hebat sekali. Tapi jangan khawatir, kami juga bisa berbahasa Indonesia, bahkan Jawa,” ujarnya sambil membelai kepala Arya dan mencium pipi Amanda.
Sulastri melanjutkan perkenalannya. “Arya, ini Dina, Jessica, dan Kevin. Mereka adalah murid Profesor Sugiharto yang akan bergabung dengan perusahaan kita.”
“Halo, salam kenal Kak Dina, Kak Jessica, dan Kak Kevin,” sapa Arya dengan ramah.
Setelah perkenalan selesai, Brata mengajak rombongan untuk makan siang di restoran terapung di bawah Jembatan Ampera. Perjalanan singkat itu penuh dengan tawa kecil dan percakapan ringan antara keluarga besar yang mulai akrab.
***
Restoran terapung menawarkan pemandangan indah Sungai Musi yang mengalir tenang. Meja makan mereka penuh dengan hidangan khas Palembang seperti pempek, pindang patin, dan lenggang. Sulastri duduk di tengah meja, mengatur suasana agar lebih santai.
“Jadi, Nenek hanya bisa tinggal di Indonesia selama dua minggu?” tanya Arya dengan penasaran, memulai percakapan.
“Iya, Nenek cuma libur dua minggu. Kakek dan Nenek bekerja di Unilever di Belanda, jadi kami harus kembali secepatnya. Tapi kalau Arya dan Amanda ada libur panjang, kalian harus datang ke Belanda. Nenek akan senang sekali!” jawab Sky dengan senyum hangat.
Arya mengangguk sopan. “Bagaimana dengan Bibi Silvia?” tanyanya sambil melirik wanita muda yang tampak elegan.
Silvia tertawa kecil sebelum menjawab. “Bibi sebelumnya bekerja di bagian investasi internasional di Philips. Tapi sekarang Bibi akan bergabung dengan perusahaan kalian, atas bujukan ibumu, tentu saja.”
Thomas, yang duduk di sebelah Silvia, menyela sambil tertawa. “Jangan percaya itu, Arya. Sebenarnya, Bibi mu berhenti dari Philips karena salah satu direktur di sana ingin menikahinya, tapi dia menolak. Lalu dia memutuskan ikut kami ke Indonesia. Setelah mendengar cerita ibumu, dia jadi tertarik bergabung.”
“Papa! Jangan menyebarkan gosip seperti itu!” protes Silvia, wajahnya memerah.
Percakapan di meja makan penuh dengan candaan dan tawa kecil. Arya memperhatikan betapa terbukanya kakek dan neneknya, yang tidak memandang rendah keluarganya meski hidup di daerah kecil seperti Sekayu. Arya merasa kagum pada ibunya, yang mampu menarik orang-orang berbakat seperti Silvia, Dina, Jessica, dan Kevin untuk bergabung dalam rencana besar keluarga mereka.
***
Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan kembali ke Sekayu. Kali ini, Arya lebih banyak diam, merenung. Ia menyusun potongan-potongan informasi yang ia dapatkan selama perjalanan ini.
“Bibi Silvia kemungkinan akan diminta mendirikan perusahaan holding di Eropa. Dina, Jessica, dan Kevin mungkin akan memainkan peran penting di perusahaan kami dan mendirikan perusahaan holding lainnya di Singapura. Sementara itu, Nenek Sky dan Kakek Thomas bisa menjadi koneksi kami ke pasar internasional,” pikir Arya.
***
Sesampainya di Sekayu
Saat rombongan tiba di rumah keluarga Brata, suasana sore terasa tenang. Kakek Thomas, Nenek Sky, dan Bibi Silvia memutuskan untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Babat Toman keesokan harinya. Mereka ingin menemui Juardi Van Bern, kakek Arya. Kakak dari Skylar Van Bern untuk mengabarkan berita duka.
Di sisi lain, Dina, Jessica, dan Kevin akan langsung bertemu dengan Nadya dan Ratna di kantor pusat perusahaan untuk mendapatkan pengarahan tugas mereka. Sulastri memastikan semuanya terorganisasi dengan baik sebelum kembali berkumpul bersama keluarganya di ruang tamu.
“Semua berjalan sesuai rencana, Arya,” kata Sulastri sambil menepuk pundak putranya. Arya hanya mengangguk, tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia tahu ini hanyalah awal dari perjalanan panjang mereka.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa