Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Cinta Satu Malam
Hujan telah reda ketika Aliando tersadar dari tidurnya. Ia meraih ponsel di atas meja kecil dekat ranjang. Terihat pukul 5.00 pagi. Pria itu mengulas senyum ketika ia mendapati gadisnya …, eh, sudah bukan gadis.
Semalam, Aliando sudah memecahkan tangis dari si Perawan. Kini, Laras adalah miliknya seutuhnya.
Pelan-pelan pria itu turun dari kasur. Matanya mendapati jika salah satu kaki ranjang terlihat akan patah.
Polisi Intel tersebut menggaruk kepalanya. “Apakah aku terlalu bersemangat?”
Aliando mengusap rambut yang menghalangi wajah istrinya. Diciumnya kening itu hingga puas. Ali segera menuju dapur belakang. Sesuai janjinya, ia mamba seblak, makanan kesukaan sang Istri mungilnya.
“Baiklah …, karena aku akan selalu minta jatah, akan aku lakukan apa pun yang Laras mau.”
***
Kelopak mata itu bergerak. Ketika Laras mencoba bangun, seluruh tubuhnya terasa remuk apalagi pada bagian pinggul. Ada semacam rasa ngilu pada area sensitifnys.
Wanita itu menumpukan kepala pada sebelah tangan. Berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Ketika ingatannya sudah terkumpul. Matanya segera melebar seperti piring.
Tangannya gemetar ketika ia menaikkan selimut. Diperiksanya seluruh tubuhnya dengan seksama. Tak ada sehelai kain pun yang menutupi dirinya.
“Astagah.” Laras menutup mulutnya. Ketika ia berusaha bangun, ke dua betisnya seolah menjadi jelly.
Hidung Laras bergerak, mencari sumber aroma sedap yang selalu ia kenali. “Apakah itu seblak?”
Laras memaksakan diri untuk bangkit namun setelah ia hendak memasang kembali seluruh bajunya yang berserakan di kursi, tubuh mungilnya nyaris terjatuh. Tangannya berpegangan ke kursi.
Aliando masuk membawa nampan. Pria bertubuh sempurna itu segera membantu istri mungilnya untuk berdiri dengan stabil.
“Laras …, kamu kenapa? Sakit?”
Ketika Laras mendongak, ia memukul dada pria itu. “Pake nanya lagi! Yaiyalah sakit. Ini semua karena Mas Al!”
Wanita itu menangis. Tubuhnya masih tertutupi oleh selimut. Aliando merasa begitu bersalah. Ia berusaha membujuk Laras.
“Lihat …, aku membuatkanmu seblak, sesuai dengan janjiku.” Ali menyodorkan mangkuk.
Sebenarnya, perut Laras sangat lapar. Karena, semalaman pria itu terus saja melangsungkan aksinya tanpa kenal lelah. Mungkin karena baru pertama kali sehingga ia berusaha menuntaskan hasratnya.
“Laras gak selera, Mas.”
“Tapi aku udah buatin kamu dari jam 5 pagi, loh. Coba saja sedikit, ya?” Aliando berusaha menyuapkan seblak hangat ke dalam mulut istrinya tapi Laras menepis sendok itu. Terjatuh di lantai.
Aliando tidak marah karena perlakuan Laras. Namun, ada sebuah kalimat yang dikeluarkan wanita itu sehingga Ali merasa sakit hati.
“Lupakan kejadian semalam. Kita menikah bukan atas dasar suka sama suka. Kamu memanfaatkan tubuhku, Mas. Kamu gak izin sama aku.”
Wanita itu terdiam cukup lama, bibirnya gemetar, ia melanjutkan, “ini hanya cinta satu malam.” Laras mengambil semua bajunya. Keluar menuju kamar mandi.
Sementara Ali diam berdiri, terpaku, tidak tahu mau berkata apa. Tangannya mengepal, gemetar.
Berkali-kali ia menelan ludah karena tenggorokannya kering menahan kata. Barusan aku ditolak? Apa katanya? Aku gak izin? Enak saja, bahkan semalaman dia pun menikmati kegiatan kami. Tidak …, ini tidak benar. Aku tidak bisa membiarkan aku terbuang seperti ini. Laras … aku akan memenangkan hatimu!
Polisi Intel itu tak jadi mengungkap identitas aslinya. Memilih menantikan waktu yang tepat. Pria tampan itu berpikir, apa karena dirinya berprofesi sebagai ojol sehingga Laras malu mengakuinya? Tapi, benar juga, siapa juga wanita Sarjana dengan gelar pendidikan yang bagus ingin bersama dengan ojol? Tidak masuk akal, bukan?
***
Polres kota J. Pria tampan bernama Baskara sedang membersihkan senjatanya. Hari ini hatinya sangat bahagia sebab ia sudah berhasil menangkap pengedar narkoboy yang waktu itu gagal ditangkan oleh Aliando.
“Bass!” teriak ayahnya dari balik pintu, itu dia Pak Abraham.
Kedua alis Baskara terangkat. “Kenapa, Pih? Aku keren, ‘kan.
Tapi, bukan pujian yang ia dapatkan melainkan sebuah tamparan pedas.
Plakkk!
“Tersangka kamu pukul dan siksa sampai harus masuk ICU?!”
Kepala Baskara yang miring ke samping akibat tamparan keras, pipinya terasa kaku sekarang. Pria itu menatap tajam ayahnya. “Daripada kabur?”
“Masih berani kamu melawan!” Tangan Pak Abraham sudah berada di atas, bersiap untuk melayangkan tamparan lagi.
Namun, Jendral Komisaris Polisi, Pak Chandra memasuki ruangan dengan gagah. Aura pemimpinnya begitu kuat. “Saya mau bicara empat mata dengan anak kamu, Abraham.”
Pak Abraham hanya menunduk sekali kemudian mundur perlahan meninggalkan ruangan.
Tinggal mereka berempat di dalam sana. Baskara, Pak Chandra dan dua pengawal si Jendral.
Pak Chandra menghela napas, “kamu nyaris membunuh pengedar itu, kenapa, Bass?”
Baskara hormat dalam sikap siap lalu menjawab, “Siap! Saya melakukan itu karena tersangka melawan, Komandan!”
“Tapi kenapa musti dibuat cacat?” Kening Pak Candra mengkerut, kedua alisnya menyatu.
“Karena tersangka sudah lama menjadi buronan, banyak merugikan orang lain. Ditambah lagi kakak saya, Aliando Putra Perdana nyaris kehilangan nyawa karena dia.”
Pak Chandar menyandarkan punggungnya ke kursi, ia menatap Baskara dalam diam. Benak Jendral itu yakin jika Baskara tengah menyembunyikan sesuatu.
“Lidah dan jari-jari tersangka terpotong. Bahkan sebelah kakinya juga cacat. Apa kamu yakin itu semua demi menangkap pengedar narkoboy? Caramu persis seperti seorang teroris, keji. Institusi Polri tak pernah mengajarkan berperilaku kasar dan seenaknya seperti itu.
Baskara diam berdiri. Setia pada posisi tangan saling bertaut di belakang punggung.
Pak Chandra bangkit. “Kamu saya rumahkan selama tiga bulan dan saya pindahkan kamu pada bagian logistik.” Tunjuk Jendral itu lalu pergi meninggalkan Baskara.
Bibir Baskara bergetar. Tangannya sudah mantap menjadikan siapa pun sebagai samsak. Ketika Jendral itu sudah pergi jauh, pria bertubuh tinggi itu membalik meja, mengancurkan kursi dan meninju kaca lemari.
Napasnya naik turun saking jengkelnya. Matanya merah, hatinya panas bukan main. Jika saja ia memiliki pangkat yang jauh lebih tinggi, akan ia buatkan sebuah skenario untuk menjebak Jendral itu.
“Aku sudah melakukan apa yang tidak bisa dikerjakan oleh Intel yang lain …, tapi kenapa?! Kenapa tidak ada yang memujiku? Kenapa tidak ada yang menghargai kerja kerasku? Sialan kalian semua!”
***
Seorang wanita 22 tahun tengah duduk bersimpu menyatukan ke dua tangannya di dada. Ia gosok sampai panas tapi tak satu pun sipir yang perduli akan teriakan dan tangisannya.
“Saya gak pernah ngedar narkoboy! Pakai pun engga!”
Perlahan suara tangisan itu mengendur ketika matanya melihat sebuah bayangan mendekatinya.
Karena minim penerangan di sel. Wajah pria yang mendatanginya tidak terlihat, hanya posturnya yang nampak.
Pria itu berjongkok, ia mengucap sesuatu yang membangkitkan harapan wanita itu. Perawakannya tinggi, bahunya lebar, ketat. Ia mengenakan sepatu resmi khas polisi. Tapi, ia mengenakan celana kain hitam dengan baju kaos biasa.
Ada kalung besi yang tergantung di leher sampai atas pusarnya. Jam Royalex mahal menghiasi pergelangan tangan kekar itu.
“Kamu mau saya keluarkan dari sini, Lolly?” sebuah suara rendah agak ngebass.
Mata Lolly bergerak-gerak penuh semangat. Perempuan itu memegangi jeruji besi, mengangguk seperti anjing kelaparan. “Tentu, Pak. Saya akan lakukan apa pun yang Anda minta. Tapi tolong ….” Lolly menghapus air matanya. “Tolong bantu saya bebas.”
Pria itu berseringai licik. Cahaya yang memantul dari jam royalexnya menyilakukan mata Lolly. “Kalau begitu, segera beri tahu, di mana Desta dan kawanannya menyimpan bukti video perkumpulan para pemakai narkoboy.”
Lama Lolly terdiam, terdengar bunyi salivanya, perempuan itu ketakutan. “Ta … tapi, Desta akan membunuh saya nanti.”
“Tidak akan, Desta tidak akan pernah melakukan itu. Sebab, dia sudah mati!”
“Apa?!” kaget Lolly, tubuhnya memundur ke belakang. Pada akhirnya, perempuan itu bersitatap dengan manik mata si Pria tinggi berkalung besi itu. Kali ini, Lolly lebih merinding karena mata pria itu seperti iblis.
“Pilihan cuma ada dua. Kamu selamat dan menjalani hidup barumu, atau …, kau akan mati membusuk di dalam penjara ini seumur hidupmu.”
Lolly kembali maju, memohon. Ia raih tangan kekar pria itu dari balik jeruji. “Saya akan beritahu …, saya akan beritahu!”
“Lepaskan tangan kotormu!” Hempas pria itu kasar.
“Semua video …,” ucapnya terbata, “a … ada … di, ada di kosan putri.”
Pria itu menyeringai lagi, kali ini seperti serigala, “dimana letak pastinya?”
“Dalam kamar mandi, dekat kotak P3K.”
“Kalau kamu berbohong, kamu akan saya bunuh!”
“Ti … tidak, Pak. Saya tidak membual, semua video disimpan Desta dalam satu memori kecil.”
“Bagus ….” Pria itu berdiri, ke dua tangannya masuk ke dalam saku celana. “Kau akan aku bebaskan setelah kartu memori itu musnah.
“Tunggu!”
Pria itu berhenti, menoleh jijik pada Lolly. “Apa?”
“Saya membutuhkan perlengkapan mandi, Pak.”
Pria itu berdecih, “tidak usah mandi, dosamu sudah banyak.”
Ditinggallah Laras dalam sebuah keresahan mendalam, seorang diri di dalam sel gelap gulita. Bau pengap dan udara dingin menyelimuti malam-malamnya.