Anastasia, wanita berhijab itu tampak kacau, wajahnya pucat pasi, air mata tak henti mengalir membasahi wajah cantiknya.
Di sudut rumah sakit itu, Ana terduduk tak berdaya, masih lekat diingatannya ketika dokter memvonis salah satu buah hatinya dengan penyakit yang mematikan, tumor otak.
Nyawanya terancam, tindakan operasi pun tak lagi dapat di cegah, namun apa daya, tak sepeser pun uang ia genggam, membuat wanita itu bingung, tak tahu apa yang harus di lakukan.
Hingga akhirnya ia teringat akan sosok laki-laki yang telah dengan tega merenggut kesuciannya, menghancurkan masa depannya, dan sosok ayah dari kedua anak kembarnya.
"Ku rasa itu sudah lebih dari cukup untuk wanita rendahan seperti mu... ."
Laki-laki kejam itu melempar segepok uang ke atas ranjang dengan kasar, memperlakukannya layaknya seorang wanita bayaran yang gemar menjajakan tubuhnya.
Haruskah Anastasia meminta bantuan pada laki-laki yang telah menghancurkan kehidupannya?
IG : @reinata_ramadani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinata Ramadani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bau Digong
°°°~Happy Reading~°°°
Pagi mulai menyingsing, tangan terampil itu terlihat begitu lihainya memainkan tongkat spatula di atas wajan penggorengan.
Sukses menyajikan dua butir telur mata sapi, perempuan berhijab itu lantas menepi ke sebuah ruangan.
Tampak sosok gadis kecil kini tengah tertidur dengan lelapnya. Tubuh mungilnya bahkan terlihat meringkuk di bawah selimut di tengah dinginnya malam yang masih terasa menusuk tulang.
"Sayang, Maurin... Bangun yuk... ."
Berkali-kali tepukan halus ia labuhkan di atas pantat sang putri, namun usahanya tampak sia-sia, gadis kecil itu bahkan tak bergeming dan terlihat begitu menikmati tidur lelapnya.
"Sayang, bangun yuk. Mallfin sudah selesai mandinya. Sekarang gantian Maurin... ."
"Euhhh... Mommyh..." Lenguh si kecil Maurin. Tubuh mungilnya menggeliat kecil, kedua tangannya yang sedari tadi merengkuh boneka kesayangannya kini terangkat ke atas, meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal akibat tertidur semalaman.
"Sayang... Bangun yuk... Mommy udah masakin telur kesukaan Maurin loh..." Pancing Ana, tangannya kini bergerak merapikan helaian rambut pirang sang putri yang terlihat berantakan bagai singa kelaparan.
"Mau tellull..." racau Maurin dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Jemari tangannya kini terlihat sibuk mengucek kedua matanya yang masih tampak memburam.
"Kalau mau telur syaratnya Maurin harus mandi dulu, biar cantik seperti princess... ."
Gadis kecil itu menggeliat malas.
"Mollin mallash mandi, peulgi bekelja na endak usah mandi ya myh, yah... Yah... ."
Seperti biasa, gadis kecil itu selalu saja merengek tak ingin mandi. Baginya, mandi di pagi hari adalah satu rutinitas yang paling menyiksa, selalu saja sukses membuat tubuh mungilnya menggigil kedinginan meski sang mommy rajin membuatkannya air hangat.
"Kalau Maurin tidak mandi, nanti bau acem gimana?"
"Endak mahu... Nanti Apin kata-katain Mollin bau digong..." Gadis kecil itu menyusupkan wajah malasnya pada perut sang mommy.
Ahhh... Rasanya malas sekali untuk beranjak.
"Kalau gitu kita mandi sekarang ya sayang... nanti mommy kepang rambutnya Maurin, gimana? " Tawar Ana.
"Mau kupang dua."
Angguk Ana menyunggingkan senyumnya. Sebenarnya tidak susah membujuk Maurin. Hanya mengiming-imingi dengan sesuatu yang disukainya, gadis kecil itu akan langsung menuruti keinginannya.
Dengan malas, gadis kecil itupun beranjak dari ranjangnya. Berjalan ke kamar mandi dengan di gandeng sang mommy, gadis kecil itu terlihat begitu manja dan ingin selalu di perhatikan.
Selesai dengan ritual mandinya, kini waktunya keluarga kecil itu memulai ritual sarapannya.
Belum juga menyuap, si kecil Maurin kembali berulah. Gadis kecil itu sepertinya tengah dalam suasana hati yang buruk hingga sedari tadi merajuk pada sang mommy tercinta.
"Mau shuapin mommy..." Rengek Maurin dengan wajah malasnya.
Ana dengan telaten menyuapi sang putri dengan tangannya. Sedang si kecil Mallfin, bocah laki-laki itu lebih memilih menyantap sarapannya seorang diri. Memakan sarapannya dengan tenang, bocah laki-laki itu selalu melakukan segala sesuatu dengan mengandalkan kemampuannya.
"Eh..." Ana seketika tersentak saat mendapati sang putra bergerak meletakkan separuh telur mata sapinya ke dalam piring miliknya yang hanya terisi nasi beserta tumis kangkung.
"Sayang... Kok di kasih mommy? Ini kan telur buat Mallfin... " Ana hendak mengembalikan telur itu ke dalam piring sang putra. Namun pergerakannya terhenti saat putra kecilnya itu kembali bersuara.
"Mallfin nanti ngambek kalau sampai mommy menolak pemberian Mallfin."
Membuat Ana seketika itu tertegun. Mallfin benar-benar dewasa sebelum umurnya. Bocah laki-laki itu bahkan selalu memahami setiap masa sulitnya. Hidup serba kekurangan dengan bayang-bayang tagihan kontrakan setiap bulannya.
Air mata itu hampir saja menetes membasahi wajah cantiknya, namun sekuat hati ia berusaha untuk memendamnya, menelan kesakitan itu seorang diri tanpa harus di ketahui kedua buah hatinya.
Hidup serba kekurangan bukanlah keinginannya, tak bisa memberi yang terbaik untuk kedua malaikat kecilnya itu juga bukan cita-citanya.
Namun apa daya, sekeras apapun ia mencoba, sekeras apapun ia membanting tulang, takdir tetap tak mengijinkannya untuk keluar dari segala penderitaan.
Perlahan tangannya mengulur mengusap pipi chubby sang putra, menatap manik mata biru itu dalam-dalam.
"Terimakasih sayang..." Suaranya bergetar, menahan pahit getir kehidupan yang selalu saja menghimpitnya tanpa permisi.
🍁🍁🍁
Annyeong Chingu
lanjut ngga, hihihi
Happy Reading
Saranghaja💕💕💕