ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: Pikiran Random Farel
Begitu masuk kamar, Yena langsung melepas jedai rambutnya dengan perlahan. Rambut panjangnya yang lembut terurai bebas, membuatnya tampak begitu santai. Ia mendekati tempat tidur dan merebahkan tubuhnya dengan gerakan yang sangat dramatis.
“Haaaah... capek banget hari ini,” keluh Yena sambil menutup matanya sejenak.
Farel, yang baru saja selesai menutup pintu, memandangnya dengan alis terangkat. Ia berdiri di sana beberapa detik, memperhatikan bagaimana Yena meregangkan tangan dan kakinya seperti sedang yoga malas.
“Eh, gaya rebahan lo kok kayak di iklan kasur premium, ya?” goda Farel sambil melempar jaketnya ke kursi.
Yena melirik sekilas, tersenyum kecil. “Rel, kalau capek, rebahan aja. Nggak usah nyinyir.”
“Apa? Gue nyinyir? Nggak lah. Gue cuma penasaran, apakah kasur ini bakal nyaman kalau gue ikut gaya lo,” balas Farel dengan nada menantang.
Ia mendekati tempat tidur, menatap Yena yang masih terbaring santai. Lalu, tanpa aba-aba, ia merebahkan tubuhnya persis di sebelah Yena dengan gaya yang sama persis—tangan direntangkan, kaki sedikit ditekuk, dan kepala dimiringkan ke arah yang sama.
“Lihat ini, sama nggak gaya gue?” tanya Farel sambil menoleh ke arahnya.
Yena membuka satu mata, melirik Farel sebentar, lalu langsung tertawa kecil. “Rel, gaya lo mirip banget, tapi kenapa kayak orang yang kepleset di kolam renang?”
“Eh, ini seni! Lo nggak ngerti estetika gaya rebahan,” balas Farel, pura-pura tersinggung.
“Estetika apanya? Itu namanya momen awkward.”
Farel mengubah posisi kakinya sedikit, mencoba menirukan pose Yena dengan lebih sempurna. Tapi, karena terlalu semangat, tangannya malah tersenggol lampu meja di samping tempat tidur, membuat lampu itu hampir jatuh.
“Ups!” seru Farel sambil buru-buru menangkap lampu itu.
Yena menahan tawa sambil memegang perutnya. “Rel, astaga. Rebah aja kok bisa bikin rusuh?”
Farel meletakkan lampu itu kembali ke tempatnya, lalu memelototi Yena dengan ekspresi pura-pura serius. “Lo ketawa aja. Gue ini udah capek kerja seharian, masih harus menghadapi istri yang nggak support gaya artistik gue.”
“Artistik apanya? Rel itu chaos,” balas Yena sambil tersenyum lebar.
Akhirnya, Farel menyerah dan kembali berbaring, kali ini tanpa meniru gaya Yena. Ia menghela napas panjang.
“Hah, capek banget hari ini,” gumamnya, mengulang kalimat yang tadi diucapkan Yena.
Yena tersenyum tipis, memandang Farel yang tampak lelah tapi masih saja penuh aksi. Walau suka berbuat onar, ada sisi dari Farel yang membuat Yena merasa hidupnya lebih berwarna.
Dan malam itu, tanpa banyak bicara lagi, mereka menikmati keheningan di kamar pengantin mereka—dengan gaya rebahan masing-masing.
Saat suasana kamar mulai tenang, sebuah bunyi notifikasi mengusik keheningan.
Ting!
Farel, yang sedang berbaring dengan santai, langsung merogoh saku celananya dengan refleks. Ia menatap layar ponselnya yang penuh dengan notifikasi masuk. Alisnya terangkat, penasaran.
“Siapa lagi ini?” gumamnya pelan, jempolnya mulai menggulir layar ponsel.
Matanya berhenti di sebuah grup WhatsApp bernama "Anak Spesial." Grup itu adalah tempat nongkrong virtual Farel dan teman-teman lamanya, yang isi percakapannya selalu absurd.
Farel membuka grup tersebut, dan benar saja, banyak sekali pesan masuk.
“Selamat ya, Fareeel! Akhirnya tamat juga hidup bebas lo!”
“Welcome to the club, bro! Nikmatilah neraka baru lo!”
“Gile, Farel beneran nikah! Kapan traktir kita?”
Farel membaca ucapan-ucapan itu dengan dahi mengernyit.
“Dari mana mereka tahu gue nikah?” bisiknya sambil menggulir layar lebih jauh.
Namun keheranannya tidak berlangsung lama ketika ia melihat sebuah video yang dikirim oleh Dobi, salah satu teman paling jahil di grup itu. Di bawah video itu, ada keterangan:
"Selamat menempuh hidup baru, ini hadiah buat lo, bro!"
“Hadiah apaan lagi nih,” gumam Farel sambil membuka video itu tanpa pikir panjang.
Namun ia lupa satu hal penting, volume ponselnya selalu disetel maksimal. Begitu video itu diputar, suara yang sangat tidak pantas langsung terdengar memenuhi kamar.
“Ahh... ohh... lebih keras lagi...”
Mata Farel langsung melebar. Wajahnya seketika memerah seperti kepiting rebus. Ia buru-buru mencoba mematikan video itu, tapi tangannya malah gemetar.
“FAREL! Itu apa?!” seru Yena, yang tadinya sudah setengah tertidur, kini langsung duduk dengan ekspresi terkejut.
“Eh, eh, ini salah paham! Bukan gue, sumpah!” balas Farel panik sambil memencet tombol volume seperti orang kesurupan.
Namun sebelum video itu berhasil dimatikan, suara tersebut sudah terlalu lama menghantui kamar mereka.
Yena melotot tajam ke arah Farel. “Rel... ini baru malam kedua kita, loh! Itu video apaan?!”
Farel akhirnya berhasil mematikan ponselnya. Ia menatap Yena dengan wajah penuh kepanikan.
“Itu... itu bukan gue! Ini Dobi! Dia jahil banget, sumpah! Nih, gue tunjukin grupnya!” Farel buru-buru menunjukkan layar ponselnya ke Yena, memperlihatkan grup "Anak Spesial" dan pesan dari Dobi.
Yena membaca cepat, lalu menghela napas panjang. “Rel, astaga. Ini beneran hadiah? Hadiah apaan coba?! Video nggak jelas kayak gitu?! Teman-teman lo aneh banget!”
“Gue tau, Yen. Mereka itu spesial. Sesuai nama grupnya,” jawab Farel dengan ekspresi pasrah.
Yena mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Ya udah. Mulai sekarang, kalau ada notifikasi dari grup ini, mending jangan dibuka di depan orang lain. Apalagi gue.”
Farel mengangguk cepat. “Siap, Bos.”
Malam itu, Farel memutuskan untuk membalas dendam ke Dobi. Tapi sebelum itu, ia memastikan ponselnya dalam mode senyap, demi menghindari kejadian memalukan lainnya.
Setelah suasana memalukan tadi berlalu, kamar mereka kembali sunyi. Yena terlihat mulai berusaha memejamkan mata, sementara Farel justru terjebak dalam pikirannya yang tidak pernah kehabisan ide absurd.
Ia berguling ke samping, menatap Yena yang sudah setengah tenggelam dalam selimutnya. Namun, sesuatu di pikirannya terus menggelitik hingga akhirnya ia membuka mulut.
“Yen,” panggilnya pelan, suaranya seperti anak kecil yang meminta perhatian.
Yena yang hampir tertidur hanya menggumam, “Hm? Apalagi, Rel?”
Farel menyengir, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Yena, seperti hendak berbagi rahasia besar. “Lo pernah nyoba hal kayak tadi nggak?” tanyanya polos.
Yena yang tadinya setengah mengantuk langsung membuka mata lebar-lebar. Ia menatap Farel dengan ekspresi campuran antara terkejut dan kesal.
“Hal kayak apa?”
“Ya... yang di video tadi,” jawab Farel enteng, sambil melirik Yena dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Tanpa pikir panjang, Yena langsung mengambil bantal di sampingnya dan melemparkannya ke arah Farel. “Gila lo, Rel! Enggak pernah lah! Otak lo tuh kebanyakan yang aneh-aneh, ya!”
Bantal itu mendarat tepat di wajah Farel, membuatnya terkekeh kecil sambil menahan bantal itu di dadanya. Bukannya merasa bersalah, dia malah mengangguk-angguk seperti sedang mengamati sesuatu.