Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
IG: @Ontelicious
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Tawaran Tak Terduga
Valeska akhirnya bisa makan dengan santai setelah sebelumnya ribut kecil soal siapa yang bakal bayar malam ini. Sekali sumpitnya bekerja, dia gak bisa berhenti. Nyaris semua hidangan di meja masuk daftar “wajib dicoba.” Kalau ada yang tanya, “Mau bawa pulang enggak?” rasanya dia bakal jawab, “YA!” tanpa pikir panjang. Tapi untung akal sehat masih kerja. Ditraktir aja udah untung, masa iya dia nodong minta dibungkus? Dasar barbar.
“Udah kenyang, Valeska?” Vincent bersandar di kursinya, matanya nyaris tidak lepas dari cewek di depannya yang kini terlihat kekenyangan. Senyumnya puas banget, kayak chef yang habis dapet bintang Michelin.
Valeska mengangguk, senyum lebar nggak pernah hilang dari wajahnya. “Ini makanan terenak yang pernah say makan sepanjang hidup,” katanya jujur.
Vincent nyengir, lalu menimpali, “Masa sih? Bukannya makanan paling enak itu makanan yang kita makan pas lagi lapar?” Dia melirik, memancing Valeska untuk debat. Kebiasaan Vincent kalau udah mulai ngerasa nyaman.
“Mungkin.” Valeska memutar matanya, berpikir sebentar. “Tapi menurut gue, ada yang lebih enak dari itu.”
“Oh ya? Apa?” Vincent menaikkan alisnya.
“Makanan yang dimasak sama ibu.”
Senyum Vincent mendadak memudar. Kata-kata itu memukul sesuatu dalam dirinya yang jarang disentuh orang. Ibunya, Melani, memang nggak pernah masak untuknya. Bahkan, memegang wajan pun kayaknya jauh dari daftar kemampuannya. Tapi itu cerita lama yang nggak layak dibahas sekarang.
“Lo bisa masak apa aja, Val?” Vincent mengganti topik.
“Banyak. Saya jago masak! Ibu saya dulu koki di perusahaan besar, dan saya belajar langsung dari dia.” Nada suaranya melambung, penuh kebanggaan.
“Hebat!” Vincent nggak pelit dengan pujian. “Kayaknya menarik kalau kapan-kapan gue cobain masakan lo.”
Valeska tersenyum malu-malu, tapi dalam hati dia sudah siap bikin Vincent tercengang kalau nanti ada kesempatan. Bakat masaknya adalah satu dari sedikit hal yang bikin dia merasa istimewa. Teman-temannya, Keenan, Vidya, dan Sam, juga selalu memujinya soal itu.
“Oke,” kata Vincent sambil meraih gelas anggurnya. “Kita masuk ke pembahasan bisnis.”
Dan begitu Valeska mendengar kata itu, sikapnya langsung berubah serius. Ini yang dia tunggu dari tadi.
......................
Di butik eksklusif sebuah mall, Megan sibuk memilih tas desainer terbaru, didampingi Agnes—si asisten serba bisa. Tangan Agnes sudah penuh dengan belanjaan, tapi Megan nggak peduli.
“Menurut lo, yang merah atau putih?” Megan menunjuk dua tas di etalase dengan santai, seperti memilih warna lipstik.
“Keduanya cocok untuk Anda, Nona,” jawab Agnes dengan nada netral.
Megan tersenyum miring. “Kalau gitu, ambil aja dua-duanya.”
Agnes mengangguk tanpa protes, sementara Megan pindah ke rak lain. Kali ini, dia mencoba sepatu hak tinggi hitam dengan permata mengilap di atasnya. Setelah memakainya, dia berdiri di depan cermin besar, memutar tubuhnya sedikit, memeriksa refleksinya dari berbagai sudut.
“Wow. Perfect,” gumamnya puas sambil mengagumi kakinya yang jenjang. Tapi tatapannya tiba-tiba berhenti di wajahnya sendiri, dan senyum itu menghilang seketika.
Wajah cantiknya, barang mewah yang melekat di tubuhnya, semua itu seperti nggak ada gunanya. Apa artinya kalau Vincent nggak pernah sekalipun melihatnya dengan tatapan kagum? Apa gunanya jadi sempurna di mata semua orang kecuali lelaki itu?
Dan di situlah emosi Megan meledak. “BRENGSEK LO, VINCENT!” teriaknya sambil melepas sepatu yang tadi dia puji-puji, lalu melemparnya ke cermin.
Crash!!
Cermin besar itu pecah berkeping-keping, membuat suasana butik hening seketika. Semua mata pengunjung tertuju pada Megan, sementara seorang pegawai buru-buru mendekat dengan panik.
Agnes segera sigap menghadang. Dia melempar tatapan tajam ke karyawan itu, memberi isyarat untuk nggak ikut campur. Kemudian, dengan santai, dia mengeluarkan black card dari saku blazer dan menyerahkannya ke manajer toko yang baru datang. Isyaratnya jelas: urus kerusakannya, jangan ganggu Nona Megan.
Beberapa menit kemudian, Megan keluar dari toko dengan langkah anggun, diikuti Agnes yang masih setia membawa tas-tas belanjaan. Dia nggak peduli dengan tatapan aneh orang-orang.
Di dalam toko, manajer menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri. “Ada apa sih dengan dia?” tanya salah satu pegawai baru, perempuan muda yang terlihat kebingungan.
Manajer hanya melirik sekilas sebelum menjawab singkat, “Jangan banyak tanya.”
Seorang pegawai laki-laki yang berdiri di dekat mereka tertawa kecil. “Lo baru, ya?” katanya sambil memandang si pegawai perempuan.
Dia mengangguk, masih canggung.
“Yang tadi itu Nona Megan,” bisiknya. “Anak pemilik mall ini. Kalau dia tantrum kayak tadi, pura-pura bersikap biasa aja. Jangan banyak tanya.”
Pegawai perempuan itu menelan ludah, nggak tahu harus merasa kasihan atau takut.
Begitulah Megan. Di balik segalanya—kecantikan, kekayaan, kehidupan yang tampaknya sempurna—ada hal yang nggak bisa dia kontrol: emosinya. Dan, sayangnya, amarah itu seringkali nggak peduli tempat atau waktu.
......................
“Aku pengen lo ada di apartemen gue setiap weekend,” kata Vincent santai, sambil memutar gelas anggur di tangannya.
Valeska mengernyit, jelas nggak paham. “Ma—maksudnya gimana?”
“Gue bayar lo dengan gaji tinggi. Tapi syaratnya, setiap Sabtu dan Minggu lo harus masak buat gue,” lanjut Vincent dengan nada seakan-akan itu adalah tawaran paling biasa di dunia.
“Masak?” ulang Valeska, matanya melebar. Dia pikir tadi mereka mau bahas proposal bisnis, bukan lowongan kerja sambilan.
Vincent mengangguk tegas. “Iya. Jadi koki pribadi gue setiap weekend.”
Valeska mengerjap. Tawaran ini lebih aneh daripada ujian open book yang ternyata soalnya dari luar materi. “Serius?”
“Sangat serius,” balas Vincent tanpa ragu.
“Tapi… kenapa saya? Maksud saya, Anda kan bisa bayar chef profesional buat itu.”
Vincent menggeleng perlahan. “Gue maunya lo. Jadi gimana?”
Valeska masih menatapnya bingung, mencoba mencernanya. “Masak apa?”
“Terserah. Gue makan apa aja yang lo masak,” jawab Vincent santai, seolah-olah dia ngomong soal pesenan nasi goreng di pinggir jalan.
Valeska terdiam, pikirannya muter-muter mencoba menimbang. Masak sih semudah itu? Tapi sebelum dia bisa menjawab, Vincent melemparkan kartu truf-nya.
“Gue bayar tiga juta setiap kali lo masak buat gue.”
Tiga juta?!
Valeska hampir tersedak minuman yang barusan dia teguk. Matanya melotot menatap Vincent, memastikan cowok itu nggak bercanda.
“Anda serius?” gumamnya, hampir nggak percaya.
Vincent mengangguk dengan santai. “Dan kalau ada kerjaan tambahan, gue tambahin bayarannya.”
Ini kayak tawaran dari surga, pikir Valeska. Siapa yang nggak tergiur masak satu atau dua kali seminggu buat uang sebesar itu? Uang yang bisa dia pake buat bantu bayar kuliah nantinya, dan mungkin nabung juga.
“Gimana, Val?” Vincent memandangnya lekat. Matanya berbinar, tahu pasti kalau tawaran ini nggak bakal ditolak. Vincent memang ahli bikin orang nurut, he's a deal maker terbaik di kota ini.
Valeska menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk. “Baiklah,” katanya akhirnya.
Senyum puas merekah di wajah Vincent. “Oke. Mulai Sabtu ini, lo datang ke apartemen gue. Gue bakal kirim alamatnya nanti.”
“Siap.” Valeska mengangguk, mencoba menenangkan debar jantungnya. Ini kesempatan yang nggak boleh dia lewatkan.
Tapi sebelum pembicaraan itu bisa selesai, HP di tas Valeska tiba-tiba bergetar. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya, melirik layar.
“Keenan?” gumamnya, bingung. “Sebentar ya, saya angkat dulu.”
Vincent hanya mengangguk, sibuk dengan ponselnya sendiri.
Valeska menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel di telinganya. “Halo, Kak?”
“VALESKA, DIMANA LO SEKARANG?!” suara Keenan meledak, bahkan Vincent yang duduk di seberang bisa mendengarnya samar-samar.
Valeska menegakkan tubuh, kaget. “Kak, nggak usah teriak. Aku lagi di luar sama temen.”
“PULANG SEKARANG!” Keenan memotong tanpa basa-basi.
“Hah? Bukannya Kakak lagi—”
“GUE UDAH DI RUMAH!” bentaknya, membuat Valeska menegang.
“Kenapa sih marah-marah?” gumamnya, masih mencoba mencerna situasi.
“GUE LAGI DI KAMAR LO!” Keenan melanjutkan dengan suara yang makin naik satu oktaf. “UANG APA INI DI DALAM LEMARI LO?!”
DEG!
Valeska membeku. Wajahnya seketika pucat. Dia lupa soal uang itu—uang yang Vincent kasih waktu itu, yang dia simpan di lemari karena belum tahu mau diapakan.
Di seberang meja, Vincent melirik Valeska dengan ekspresi datar. Tapi matanya nggak bisa bohong: dia tahu persis apa yang sedang terjadi.
...****************...
inget,Val!! jngan mudah melunaak 😎
udah lah Val emang paling bener tuh mnyendiri dulu,sembuhin dulu semuanya smpe bner" bs brdamai dg keadaan tp engga dg manusianya😊💪
bpak mau daftar??🙂