Dira Amara adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang penuh ambisi, cerdas, dan selalu berusaha keras untuk mencapai tujuannya. Ia tumbuh dalam keluarga miskin di sebuah kampung kecil, di mana kehidupan yang serba kekurangan membuatnya terbiasa untuk bekerja keras demi mencapai apa yang diinginkan. Ayahnya, seorang buruh pabrik yang selalu bekerja lembur, dan ibunya, seorang penjual makanan keliling, berjuang keras untuk menyekolahkan Dira hingga kuliah.
Suatu ketika, hidup Dira berubah drastis saat ayahnya terjerat utang kepada organisasi mafia yang dipimpin oleh Rafael. Tanpa pilihan lain, Dira dipaksa untuk berhadapan langsung dengan Rafael, pemimpin mafia yang terkenal kejam. Sebagai perempuan muda yang tidak berdaya, Dira harus menghadapi situasi yang tak pernah dia bayangkan, tetapi dia tetap berusaha bertahan dengan kebijaksanaan dan keberanian yang dimilikinya.
Namun, hatinya mulai terikat dengan sosok Rafael yang tidak hanya kejam, te
bagaimana kelanjutannya yuks lnjt 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayda Pardede, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sadar
Dira terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri, rasa sakit di kakinya yang terkena tembakan membuatnya hampir tak bisa bergerak. Ia merasakan dinginnya udara kamar yang steril, suara desisan mesin infus di sebelah tempat tidurnya, dan bau obat yang kuat di sekelilingnya. Matanya perlahan terbuka, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup di dalam ruangan. Tubuhnya terasa sangat lemah, hampir tak bisa digerakkan. Suasana yang sunyi ini hanya memperburuk rasa takut yang ia rasakan.
Dia ingat betul malam itu—keputusasaannya, langkah tergesa-gesa menuju kebebasan yang ternyata berakhir dengan tembakan yang mengakhiri segala usahanya. Kenyataan itu menyentakkan Dira ke dalam kesadaran penuh: dia kini berada dalam cengkraman yang lebih kuat dan lebih kejam dari sebelumnya.
Dia mencoba menggerakkan tangan untuk meraba sekelilingnya, mencari bukti bahwa dirinya masih hidup, bahwa dirinya masih memiliki kendali atas takdirnya. Namun, tubuhnya terasa begitu kaku, lemah, dan terpasung. Dira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, meskipun dalam hatinya gelombang kekhawatiran dan kebingungan terus menggelora.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang wanita yang mengenakan pelayan rumah datang dengan membawa nampan makanan. Matanya tajam, dan ekspresinya tenang, namun ada sedikit kekhawatiran dalam tatapannya. Wanita itu menghampiri Dira, lalu dengan lembut menyentuh bahunya.
“Nona Dira, Anda sudah sadar,” ujar wanita itu, suaranya terdengar lembut namun tegas.
Dira menatapnya kosong, bingung. “Siapa… siapa kamu?” suara Dira serak, seperti suara seseorang yang sudah lama tidak berbicara.
“Saya, Maria, pelayan di rumah ini. Tuan Rafael meminta saya menjaga Anda sementara Anda pulih,” jawab Maria dengan hati-hati, lalu menyodorkan nampan berisi makanan yang baru dipersiapkan.
Dira merasa terkejut. Rafael? Tuan Rafael? Pikirannya masih berkecamuk, namun rasa lapar dan haus yang tak tertahankan mengalahkan semuanya. Dia menatap makanan yang terhidang di depan mata—nasi, sayuran, dan semangkuk sup hangat—yang tampak sederhana, namun rasanya seperti sumber kehidupan saat itu. Perlahan, Dira mulai makan, meskipun setiap suapan terasa berat.
Maria memperhatikan dengan cermat, lalu bertanya pelan, “Apakah Anda merasa lebih baik, Nona Dira? Jika ada yang Anda butuhkan, beri tahu saya.”
Dira tidak menjawab langsung. Ia masih merasa bingung, tetapi ada sesuatu dalam diri Maria yang memberi sedikit kenyamanan. Mungkin karena wanita ini tidak terlihat seperti orang yang dikendalikan oleh Rafael, meskipun berada di bawah aturannya.
“Kenapa… kenapa aku di sini? Apa yang terjadi?” tanya Dira dengan suara yang hampir hilang.
Maria terdiam sejenak, tampak seperti berpikir keras. “Tuan Rafael… dia mungkin tidak akan membiarkan Anda pergi begitu saja setelah apa yang terjadi,” jawabnya pelan, seolah memilih kata-kata dengan hati-hati. “Namun, saya hanya melakukan tugas saya, Nona. Jangan khawatir tentang saya.”
Dira menelan susah payah. Tuan Rafael… apakah dia harus terus berada di sini? Di rumah ini? Dalam cengkraman pria yang kejam, yang bahkan tak segan-segan menembaknya?
Pikiran-pikiran itu berputar cepat dalam benaknya, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa tinggal di sini selamanya. Dia harus menemukan cara untuk kabur—terlepas dari segala usaha dan pengorbanan yang harus dilakukan. Begitu ia pulih sedikit, ia harus mencari kesempatan.
Namun, rasa sakit yang datang dengan gerakan itu mengingatkannya bahwa pelarian seperti itu bukanlah hal yang mudah. Tembakan yang mengenai kakinya itu bukan hanya membuatnya lemah, tapi juga meninggalkan bekas fisik dan mental yang dalam. Dalam dirinya, ada rasa takut yang sulit diungkapkan. Takut akan reaksi Rafael jika ia mencoba kabur lagi. Takut akan kemarahannya yang tak terduga.
Dira melirik kesamping dan melihat handphone segera menyalakan Dira tahu Berlin sudah pasti memikirkannya dan mengirim pesan dia perlu mengatakan bahwa dia baik-baik saja supaya tidak semakin membuat Berlin curiga tetapi saat ponsel itu Menya bukan hanya dari Berlin ,Alex bakah Rio sudah mengirimkan pesan yang banyak untuk menanyakan keadaan Dira saat ini Dira menghela nafas masih ada orang yang peduli terhadapnya dia harus mengucapkan terima kasih karena masih bisa bertahan sampai sejauh ini
Sementara itu, di luar kamar, Rafael duduk di ruang kerjanya, matanya terfokus pada layar laptop yang menunjukkan rekaman CCTV. Ia memandangi wajah Dira yang penuh air mata di malam saat ia ditangkap dan dibawa kembali ke rumahnya. Di layar itu, Dira terlihat sangat rapuh, kelelahan, hampir kehilangan harapan. Rafael merasa aneh, seolah ada sesuatu yang menekan di dadanya.
Bagas, yang berdiri di sampingnya, menatap tuannya dengan penuh perhatian. “Tuan, keadaan nona sudah mulai stabil. Dokter mengatakan dia membutuhkan banyak istirahat,” ujar Bagas hati-hati, seolah takut akan reaksi tuannya yang tak terduga.
Rafael hanya mengangguk, matanya tidak pernah lepas dari layar. Bagas tahu bahwa tuannya tidak benar-benar peduli dengan kondisi fisik Dira. Yang lebih penting baginya adalah kendali—kendali atas dirinya, atas perasaan yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Ada sesuatu dalam diri Dira yang membuatnya merasa gelisah, seperti ada sisi dirinya yang belum ia pahami.
“Apa yang kamu pikirkan, Tuan?” tanya Bagas, mencoba memecah keheningan yang mencekam.
Rafael mengalihkan pandangannya dari layar. “Apa yang terjadi jika aku membiarkannya pergi?” katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Bagas terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. “Jika Nona Dira pergi, itu akan merusak segalanya. Kita tahu bagaimana keadaannya jika dia bebas. Tapi… Tuan… mungkin ada cara untuk menenangkan semuanya, bukan?” Bagas berbicara hati-hati, seperti mencoba mengukur apa yang ada dalam pikiran tuannya.
Rafael menatap Bagas dengan tatapan tajam. “Aku tidak tahu, Bagas. Semua ini… ini bukan sekedar tentang mengendalikan Dira. Aku… aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang jika dia pergi.” Suara Rafael terdengar kacau, seperti mencoba menyatukan pikiran dan perasaan yang bertentangan dalam dirinya.
Bagas tahu, meskipun Rafael tidak mengatakannya secara langsung, ada perasaan yang lebih dalam terhadap Dira—perasaan yang dia sendiri tidak mampu mengungkapkan. Namun, dia juga tahu betapa keras dan gelapnya hati tuannya, dan untuk apa pun yang terjadi, dia tidak akan membiarkan tuannya terluka atau kehilangan kendali.
Sementara itu, Berlin terus mencari cara untuk menemukan Dira. Sehari-hari, dia semakin gelisah dengan ketidakhadiran temannya, yang telah lama tidak memberi kabar. Alex, yang mulai khawatir, berusaha menghubungi Berlin beberapa kali, namun tak ada jawaban. Berlin merasa ada sesuatu yang janggal, dan dia mulai menyelidiki lebih dalam.
Hatinya terasa hampa saat memikirkan Dira—teman yang selalu tenang dan penuh empati. Ke mana dia pergi? Apa yang terjadi padanya? Clara dan gengnya masih mengganggunya di kampus, mencoba menciptakan masalah, tetapi Berlin tidak peduli lagi tentang mereka. Saat ini, dia hanya ingin menemukan Dira dan memastikan temannya itu aman.
Suatu malam, saat dia sedang berjalan di sekitar kampus, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
“Berlin, aku tahu kamu mencari ku. Dira ada di tempat yang sangat terlindungi. kau tidak perlu menghawatirkan ku nanti aku pasti menceritakan semuanya "
Berlin terkejut, membaca pesan itu berulang kali. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan bagaimana orang ini tahu dia sedang mencari Dira?
Dengan rasa curiga yang meningkat, Berlin memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Dia tidak bisa berdiam diri Dira pasti menyembunyikan sesuatu.