Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian sang penjaga hutan!
Cahaya hijau yang menyelimuti Shin dan Leo akhirnya memudar. Mereka kini berdiri di sebuah padang luas yang dipenuhi bebatuan runcing dan langit berwarna jingga gelap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Arvin, atau bahkan hutan yang baru saja mereka lewati.
Leo mengamati sekeliling dengan waspada. "Apa ini bagian dari ujian?"
Shin, seperti biasa, bersikap santai sambil duduk di salah satu batu. "Hmm, kayaknya kita dilempar ke tempat nggak jelas lagi. Gue penasaran, ini ujian hati atau tes ketahanan fisik? Soalnya kalau cuma suruh jalan-jalan, gue mending tidur dulu deh."
Leo mendesah. "Shin, kau tidak bisa terus bersikap sembrono. Ujian ini pasti berbahaya. Fokuslah."
"Tenang aja, bro. Kalau ada monster nongol, gue tinggal teriak ‘tolong!’ terus lo yang maju duluan," jawab Shin sambil nyengir.
Sebelum Leo sempat memarahi Shin, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah di bawah mereka mulai bergetar, dan perlahan, sosok besar muncul di depan mereka. Itu adalah seekor monster berbentuk raksasa, dengan tubuh seperti batu dan mata menyala merah.
"Ya ampun, ini monster atau patung batu yang marah karena kesandung?" kata Shin sambil berdiri santai.
Leo langsung meraih tongkat sihirnya. "Bersiaplah, Shin. Ini pasti bagian dari ujian. Kita harus menghadapinya bersama."
"Eh, gue nggak setuju sama konsep ‘bersama’ kalau itu artinya gue harus lari duluan," balas Shin sambil mundur beberapa langkah.
Monster itu menggeram dan mengangkat salah satu tangannya, lalu menghantamkan batu raksasa ke arah mereka. Shin berhasil menghindar dengan gerakan cepat, sementara Leo melindungi dirinya dengan perisai sihir.
"Shin, kita harus bekerja sama!" teriak Leo.
"Kerja sama? Oke, lo ganggu dia, gue kabur. Deal?" Shin melompat ke sisi lain, menghindari serangan monster.
Leo hampir kehilangan kesabarannya. "Shin, seriuslah sedikit! Kalau tidak, kita akan mati di sini!"
Shin mendecak. "Ya ampun, oke deh. Gue bantu... sedikit."
Dengan kecepatan yang mengejutkan, Shin mengambil batu kecil dari tanah dan melemparkannya ke arah monster. Batu itu mengenai mata monster tersebut, membuatnya mengaum kesakitan.
"Ha! Liat kan? Gue punya strategi. Ngincar mata itu selalu ide bagus," kata Shin sambil terkekeh.
Leo melirik Shin dengan cemas. "Shin, itu hanya membuatnya marah!"
Monster itu berbalik ke arah Shin, tampak lebih murka dari sebelumnya. Shin hanya mengangkat bahu. "Yah, setidaknya sekarang dia fokus ke gue. Lo bisa serang dari belakang, kan?"
Leo, meskipun frustrasi, memanfaatkan kesempatan itu. Dengan cepat, dia melafalkan mantra dan mengarahkan ledakan sihir ke punggung monster. Serangan itu menciptakan retakan di tubuh batu monster tersebut, membuatnya mundur beberapa langkah.
Namun, bukannya menyerah, monster itu malah menyerap batu-batu di sekitarnya untuk memulihkan tubuhnya.
"Seriusan? Dia bisa regen? Apa ini boss game yang lupa dikasih kelemahan?" Shin mengeluh sambil melompat menghindari serangan lainnya.
"Shin, aku butuh waktu untuk menyiapkan mantra yang lebih kuat! Tahan dia selama beberapa menit!" Leo berteriak sambil memfokuskan energinya.
Shin memutar matanya. "Ya ampun, gue jadi umpan lagi. Oke, monster batu, mari kita joget!"
Shin mulai berlari-lari mengelilingi monster itu sambil melempar batu kecil dan meneriakkan kata-kata yang sama sekali tidak membantu. "Hei, batu gede! Lo ketinggalan era, nih. Jadi fosil aja sana!"
Monster itu terus mencoba menyerang Shin, tapi kegesitan dan kelucuan Shin membuatnya sulit untuk mengenai target.
Akhirnya, Leo menyelesaikan mantranya. Sebuah bola energi besar terbentuk di ujung tongkatnya, bersinar terang dengan cahaya biru. "Shin, menjauh!"
"Udah dari tadi gue jauh!" Shin melompat ke sisi lain, memberi Leo ruang untuk menembakkan serangannya.
Leo mengarahkan tongkatnya ke monster, dan bola energi itu melesat dengan kecepatan tinggi, menghantam monster tepat di tengah tubuhnya. Ledakan besar terjadi, menghancurkan monster itu menjadi serpihan kecil.
Shin berdiri dan menepuk-nepuk debu dari pakaiannya. "Wah, kerja bagus, Leo. Lo keren juga, ya. Kalau gue jadi cewek, mungkin gue udah jatuh cinta."
Leo hanya menatap Shin dengan tatapan lelah. "Shin, tolong serius sedikit. Kita masih belum selesai."
Sebelum Shin sempat membalas, tanah di bawah mereka kembali bergetar. Lingkaran sihir hijau muncul di tempat monster itu hancur, dan sosok Arvin muncul kembali.
"Bagus sekali," ujar Arvin sambil tersenyum tipis. "Kalian telah membuktikan bahwa kalian mampu bekerja sama meskipun penuh perbedaan."
Shin menyeringai. "Oh, jadi tadi itu cuma tes kerja sama? Keren juga, ya. Kalau tau gitu, gue lebih banyak nyantai tadi."
Leo mendesah. "Tolong, Shin, berhenti meremehkan semuanya."
Arvin mengabaikan komentar Shin dan melanjutkan. "Namun, ujian ini belum selesai. Masih ada satu hal lagi yang harus kalian temukan di dalam hati kalian sendiri."
Shin mengangkat alis. "Hati? Aduh, jangan bilang gue harus nangis-nangis mengenang masa lalu, ya."
Arvin tertawa kecil. "Kau ini memang aneh, Shin. Tapi mungkin itu yang membuatmu istimewa."
Cahaya hijau kembali menyelimuti mereka, membawa mereka ke tantangan berikutnya.