Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PINDAH RUMAH
Marsha memandangi pantulan dirinya pada cermin yang tingginya hampir sama dengannya. Ia mematut dirinya, rasanya tidak ada yang salah. Ia sudah rapi dan lengkap dengan seragam sekolahnya.
Akhirnya sekolah kembali, Marsha merasa akan mulai sibuk dengan kegiatan sekolahnya hingga ia pikir ia bisa mengabaikan pria yang kini sekamar dengannya ini. Marsha melirik sinis kearah kamar mandi yang tertutup yang sedang dipakai Alan. Lebih lima hari sekamar, membuatnya merasa was-was dan susah tidur tentunya.
Terpaksa setelah hari pernikahannya ia menghabiskan waktu bersama Alan. Segala tempat 'bulan madu singkat' yang sudah disiapkan untuk mereka, tentu saja tidak bisa Marsha nikmati dengan sungguh-sungguh. Ia justru hampir gila, saking stresnya melindungi diri dari Alan, suaminya sendiri.
Flashback On
"Nggak boleh hamil, kenapa kasih destinasi honeymoon sih Tan. Pulang aja sih." geram Marsha protes. Ia mau gila benaran begitu tahu. Ingin protes pada Nadia namun ia jauh sibuk bersama Sania, entah apa yang dibicarakan.
"Nggak boleh hamil dulu kan bukan berarti ngakak boleh iya-iya, Sha." Hana tersenyum menggoda keponakannya yang hanya Marsha balas dengan tatapan frustrasi.
~
"Om jangan macam-macam ya," ancam Marsha malam pertama setelah menikah, saat ia mulai ingin tidur.
Alan hanya menatapnya heran, ia sebenarnya juga tidak ada minat macam-macam terhadap Marsha karena dimatanya Marsha hanya anak kecil ibarat buah yang masih muda, rasanya kalau nggak kecut ya pahit.
"Om tidur di sofa, saya di kasur." atur Marsha,
"Saya perempuan, Om wajib mengalah karena pria sejati memang harus mengalah." bela Marsha mencari alasan sebelum Alan protes agar tidak ada perebutan siapa yang tidur di kasur.
Alan yang malas berdebat dengan Marsha yang dianggap anak kecil labil memang lebih memilih mengalah bukan karena kata pria sejati, tapi lebih menghindari bisingnya mulut Marsha atau tiba-tiba ia berteriak tidak jelas. Walaupun Alan menurut maunya Marsha, tetap saja Marsha benar-benar tidak bisa tidur nyenyak, ia akan benar-benar ketiduran menjelang pagi.
Esok paginya ketika para orang tua dan keluarga pamit, Marsha mendengar Alan yang ditegur Sania yang membuat ia menyunggingkan senyuman senang dan mengambil kesempatan itu.
"Al, kamu nggak bisa sabaran sedikit apa!?" protes Sania tidak habis pikir,
"Sabar apa Mam?" Alan yang bingung dimana salahnya hanya mengernyitkan alisnya.
"Itu tadi Mami lihat Marsha kecapean, kelihatan kurang tidur banget. Kasih jeda dong, Al. Jangan main gas-gas gitu aja."
Alan masih terdiam mencoba memahami protes Sania.
"Ingat ya Al, nggak boleh hamil sebelum Marsha lulus." bisik Sania yang tentu juga didengar oleh Marsha yang memang sedang duduk bersandar dibalik pilar besar yang berjarak hanya tiga meter dari Sania dan Alan.
"Mam," Alan berusaha ingin menjelaskan kesalahpahaman Sania, tapi seketika Marsha menampakkan diri dibelakang Sania membuat Alan menatapnya. Sania yang sadar arah tatapan Alan langsung berbalik dan melihat Marsha yang sudah pura-pura sedang lewat, tentu saja pura-pura lewatnya itu disaksikan oleh Alan, karena jelas ia melihat Marsha muncul dari balik pilar itu.
"Lho, Marsha kamu dari mana sayang?" sapa Sania khawatir.
"Dari depan Tan, eh Mam." jawab Marsha yang bingung memanggil Sania dengan sebutan apa. Marsha sengaja melemahkan suaranya membuat Sania semakin khawatir.
"Kamu nggak apa-apa, Sha? Ada yang sakit?"
Marsha mengangguk lemah, "Iya Mam, sebadan-badan sakit, super pegal." adu Marsha manja, membuat Sania melototi Alan penuh ancaman.
Alan menggeram kesal, ia hanya bisa menghela napas berat, melihat polah Marsha.
"Mau Mami panggil dokter?"
"Nggak usah Mam, capek-capek aja ini butuh massage aja deh kayaknya." memang Marsha butuh untuk merilekskan tubuh dan pikirannya.
"Oke, nanti Mami panggilkan terapis terbaik disini ya." janji Sania, lalu ia menatap Alan kesal dan kembali menatap Marsha dengan berbisik, "Kamu nggak usah terlalu ikuti maunya Alan kalau capek dan sakit gini ya, Sha. Macam-macam dia bilang sama Mami, oke."
Sania kini merasa kasihan pada Marsha, ia berpikir Marsha yang masih usia muda, berstatus pelajar tidak mungkin kepolosannya dimanfaatkan oleh Alan kan, Sania sedikit ragu mengingat ia juga tahu bagaimana anaknya bersikap. Tapi apa mungkin usianya yang sudah matang bisa merubahnya, apalagi ada Marsha yang jelas cantik dan muda, yang tidak didandani saja membuat ia sebagai wanita takjub apalagi Alan laki-laki dewasa dengan usia matang begitu.
Melihat tatapan Sania padanya yang masih penuh ancaman membuat Alan tidak tenang, dikerjai anak kecil, mengambil hati Sania dengan kesalahpahaman ini, bisa-bisanya. Alan tidak akan tinggal diam.
"Udah Mam, nggak usah dipikirkan. Alan tahu batasan kok. Mami berangkat aja itu supir tungguin Mami aja lagi." Alan mengingatkan sambil menoleh kearah supir yang memang sedang menunggu Sania seorang.
Semua keluarga memang kembali ke kota atau melanjutkan liburan dan aktivitasnya masing-masing, tentu saja meninggalkan Alan dan Marsha berdua disana.
"Sebentar, Mami hubungi Endah dulu buat cariin terapisnya." Sania mengeluarkan ponselnya dari tas yang sedari tadi ia jinjing.
"Nggak usah Mam," Alan langsung menurunkan ponsel Sania, "Biar Alan aja yang pijit Marsha," Alan menatap Marsha dengan tatapan dan senyuman smirk penuh arti, yang tentu hanya Marsha yang mengerti maksudnya. Marsha menelan salivanya, kini ia merasakan panik akibat ulahnya yang secara impulsif itu.
"Nggak apa-apa kan, sayang," kini Alan merangkul Marsha untuk mendekat disampingnya, Marsha hanya bergeming. Kepanikannya membuat ia susah untuk berkata, mengingat hari ini hanya tinggal mereka berdua.
Sania tampak berpikir, namun ia kembali mengangkat ponselnya. "Ah, nanti kamu malah pijit plus-plus lagi." ketusnya.
Pijit plus-plus? Marsha mendongak melihat Alan yang sudah menempel disampingnya, merangkul dengan sangat erat. Sadar dilihat Marsha ia pun menyeringai membuat Marsha membuang muka seketika bergidik ngeri.
"Nggak bakal Mam, tenang aja." kini nada Alan meyakinkan Sania, "Nanti kalau memang butuh, Alan yang hubungi."
Suara klakson mobil mewah yang akan membawa Sania terdengar memanggil, jelas Damar yang melakukannya. Sania mengurungkan niatnya dan berpamitan pada sepasang pengantin baru didepannya. Ia juga tidak menyangka bisa secepat ini Alan dan Marsha bisa saling menerima, jauh di lubuk hatinya ia merasa lega.
Flashback Off
"Semangat!" Marsha mengangkat tangannya simbol semangat yang bertepatan dengan keluarnya Alan dari kamar mandi, menatap Marsha dengan tatapan aneh yang membuat Marsha jengah.
"Kamu udah selesai kan," Alan melirik Marsha dari ujung kepala hingga kaki, "Sana keluar, saya mau pakai baju!" usir Alan cuek, ia berjalan kearah pintu menunggu Marsha keluar.
Marsha menatap nanar kearah Alan yang masih mengenakan bathrobe, ia mendengkus kesal saat melewati Alan keluar kamar. Baru kali ini ia diusir dari kamarnya sendiri.
Marsha menikmati sarapannya dengan tenang, mengacuhkan Harris dan Nadia yang menatapnya heran.
"Sha, suamimu mana?" tanya Nadia pelan,
"Masih dikamar, lam-ban." keki Marsha dengan menekankan pada kata lamban.
"Kamu aja yang kecepatan, Sha." kini Harris yang bersuara. Marsha melihat kearah Harris sesaat, lalu menghela napas memilih tidak menjawabnya.
"Jadi kamu benaran udah siap tinggal dirumah sendiri, Sha?"
"Hah?" Marsha menatap kaget Nadia, "Maksudnya gimana, Ma?"
"Alan bilang sama Mama dan Papa kalian udah siap tinggal dirumah sendiri, kok kamu jadi bingung sih."
Marsha mengehentikan kegiatan sarapannya, ia menatap Nadia serius, "Ih, kapan ngomongnya?!"
"Pagi Pa, Ma," sapa Alan yang sudah duduk disamping Marsha. "Pagi sayang," sapanya sambil mengusap puncak kepala Marsha, membuat Marsha bergeming jijik.
"Semalam kan Mas udah cerita sama kamu, waktu di villa juga kan."
Sayang, Mas, pakai pegang-pegang lagi udah kebiasaan ini, nggak bisa dibiarkan. Batin Marsha. Pembalasan Alan mengerjainya lebih banyak daripada Marsha yang hanya disaat di villa tempo hari membuat Marsha semakin kesal.
"Nggak ada Ma, Pa, sumpah. Ingatan Marsha masih bagus."
Alan cuek seolah-olah Marsha memang lupa. Ia menyesap kopinya lalu berkata "Bukan lupa. Mungkin ingatan kamu kali ini teralihkan aja sayang, karena terlalu lelah."
"Lelah kenapa?" tanya Marsha bingung, ia melihat kearah Alan dengan sinis.
"Pernikahan kita," lalu ia mendekat dan berbisik tapi sengaja bisa didengar semua orang diruangan itu, "Kita kan baru pulang dari bulan madu, kamu pasti lelah."
"Apa sih!?" Marsha mendorong Alan menjauh. Ia tampak marah sekarang.
"Marsha." tegur Harris, ia tidak membentak tapi ucapan penuh penekanan dan ketegasan. Ia tidak suka melihat anaknya bertingkah tidak sopan kepada suaminya, apalagi didepan Harris dan Nadia. Ia seorang pria ia tahu hal itu akan membuat dirinya merasa tidak dihargai. Marsha hanya diam dengan wajah menekuk.
"Nggak ada salahnya tinggal dirumah sendiri setelah menikah, itu jauh lebih bagus sebenarnya." ucap Harris akhirnya.
"Papa benar, Sha. Lagian kan lebih dekat dari sekolah kamu jadi nggak perlu sepagi ini buat berangkat ke sekolah kan."
Marsha mengernyit, "Dimana memangnya?"
"Villa Bella."
***