NovelToon NovelToon
The Monster: Resilience

The Monster: Resilience

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:984
Nilai: 5
Nama Author: Gerhana_

Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.

Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.

Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?

Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 16: Plan

Paginya Wira bangun lebih awal dari biasanya, segera bersiap untuk berangkat mencari makanan bersama Bima. Setelah mengenakan peralatan seadanya, ia berpamitan kepada teman-temannya di markas. “Kami pergi dulu,” ucapnya singkat.

Flora tersenyum sambil melambaikan tangan. “Hati-hati kalian.”

Meyrin, seperti biasa, dengan polos berkata, “Hati-hati, Om Wira dan Om Bima!”

Namun, Nora hanya diam di sudut ruangan, tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan tidak memandang Wira. Wira melirik sekilas, lalu dalam hatinya bergumam, “Jadi dia benar-benar masih marah.”

Bima yang menyadari ada sesuatu, memperhatikan keheningan itu dengan alis sedikit terangkat. Namun, dia memilih tidak berkata apa-apa hingga mereka keluar dari markas.

Saat mereka berkendara melalui jalan yang kosong dan sunyi, Bima akhirnya membuka pembicaraan. “Wira, apa terjadi sesuatu antara kau dan Nora?”

Wira yang sedang memandangi jendela hanya mendesah ringan. “Bisa dikatakan, iya.”

“Oh,” Bima mengangguk pelan. “Jadi... apa masalah kalian?”

Wira memijat pelipisnya, sedikit kesal dengan pertanyaan itu, tetapi akhirnya menjawab, “Dia marah karena dia tahu aku menyiksa seorang pria yang mencoba berbuat jahat padanya.”

Bima, yang tetap tenang sambil memegang setir, menjawab, “Maafkan aku, Wira. Aku tidak mengubur mereka dengan benar, mungkin karena itu Nora jadi tahu.”

Wira menatap Bima sekilas dan berkata, “Sudahlah, Bima. Itu sudah berlalu. Tidak ada gunanya lagi membahasnya.” Ia menggigit jarinya, kebiasaannya saat sedang berpikir keras. “Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa dia marah saat aku menghabisi pria yang akan menyakitinya? Wanita benar-benar sulit dimengerti.”

Bima tidak menjawab, hanya menatap jalanan di depan dengan ekspresi datar.

Paginya

Wira bangun lebih awal dari biasanya, segera bersiap untuk berangkat mencari makanan bersama Bima. Setelah mengenakan peralatan seadanya, ia berpamitan kepada teman-temannya di markas. “Kami pergi dulu,” ucapnya singkat.

Flora tersenyum sambil melambaikan tangan. “Hati-hati kalian.”

Meyrin, seperti biasa, dengan polos berkata, “Hati-hati, Om Wira dan Om Bima!”

Namun, Nora hanya diam di sudut ruangan, tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan tidak memandang Wira. Wira melirik sekilas, lalu dalam hatinya bergumam, “Jadi dia benar-benar masih marah.”

Bima yang menyadari ada sesuatu, memperhatikan keheningan itu dengan alis sedikit terangkat. Namun, dia memilih tidak berkata apa-apa hingga mereka keluar dari markas.

Dalam perjalanan

Saat mereka berkendara melalui jalan yang kosong dan sunyi, Bima akhirnya membuka pembicaraan. “Wira, apa terjadi sesuatu antara kau dan Nora?”

Wira yang sedang memandangi jendela hanya mendesah ringan. “Bisa dikatakan, iya.”

“Oh,” Bima mengangguk pelan. “Jadi... apa masalah kalian?”

Wira memijat pelipisnya, sedikit kesal dengan pertanyaan itu, tetapi akhirnya menjawab, “Dia marah karena dia tahu aku menyiksa seorang pria yang mencoba berbuat jahat padanya.”

Bima, yang tetap tenang sambil memegang setir, menjawab, “Maafkan aku, Wira. Aku tidak mengubur mereka dengan benar, mungkin karena itu Nora jadi tahu.”

Wira menatap Bima sekilas dan berkata, “Sudahlah, Bima. Itu sudah berlalu. Tidak ada gunanya lagi membahasnya.” Ia menggigit jarinya, kebiasaannya saat sedang berpikir keras. “Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa dia marah saat aku menghabisi pria yang akan menyakitinya? Wanita benar-benar sulit dimengerti.”

Bima tidak menjawab, hanya menatap jalanan di depan dengan ekspresi datar.

Hening menyelimuti sepanjang perjalanan. Mereka berdua menyusuri jalanan kota yang mulai ditumbuhi rumput liar di beberapa tempat. Bangunan kosong berdiri seperti saksi bisu kehancuran dunia.

“Sepertinya makanan di kota ini sudah menipis,” Wira berkomentar sambil memperhatikan sekeliling dari jendela mobil. “Bahkan burung-burung pun sudah jarang terlihat.”

Bima mengangguk kecil. “Benar. Mungkin kita harus mencari lebih jauh lagi.”

Setelah beberapa jam berkeliling tanpa hasil berarti, Wira tiba-tiba menunjuk sebuah bangunan yang terlihat familiar. “Bima, ayo ke swalayan itu. Kita cari sesuatu di sana.”

Bangunan swalayan yang mereka datangi tampak hancur. Beberapa dindingnya jebol, pintunya hilang, dan kaca-kaca pecah berserakan di lantai. Bekas cipratan darah kering menghiasi dinding dan lantai. Udara di dalam terasa lembap dan pengap, seperti tempat itu telah lama ditinggalkan.

“Kita berpencar,” kata Wira. “Seperti biasa, kau periksa sisi kiri, aku di kanan.”

Bima mengangguk. “Hati-hati.”

Saat Wira menyusuri bagian kanan swalayan, ia memeriksa beberapa rak yang masih berdiri. Melalui alat komunikasinya, ia berbicara, “Apa kau menyadari sesuatu yang aneh, Bima?”

Bima menjawab dengan nada waspada, “Ya. Tempat ini sepertinya sudah diserang Ruo.”

Wira merenung sejenak. “Pertama kali aku ke sini, tempat ini tidak separah ini. Aku ingat waktu itu aku kelaparan dan mencoba mencari makanan, malah dihajar oleh orang-orang yang menguasai tempat ini.”

Bima menjawab, “Apa itu artinya Ruo sudah menginfeksi mereka?”

“Kemungkinan besar, iya,” kata Wira, matanya tajam memperhatikan sekeliling. “Tempat ini benar-benar berubah.”

Saat memeriksa lebih jauh, mereka menemukan beberapa makanan instan terhimpit reruntuhan tembok. Wira segera berkata, “Biarkan aku yang masuk, Bima. Tubuhmu sebesar Ultraman itu tidak akan muat.”

Bima tersenyum tipis. “Baiklah. Hati-hati.”

Wira mulai merangkak masuk melalui celah sempit di antara reruntuhan. Saat mencoba menggapai makanan, sebuah paku tajam menggores lengannya. “Ah, sialan!” gerutunya, tetapi ia tetap melanjutkan. “Untung saja tidak kena wajahku. Setidaknya aku masih tampan.”

Dari luar, Bima bertanya, “Kau baik-baik saja?”

Wira menjawab dengan nada bercanda, “Yah, aku baik-baik saja. Luka kecil ini tidak akan membuatku kehilangan ketampanan.”

Setelah berhasil mengambil makanan, Wira keluar dari celah dengan pakaian penuh debu dan darah kecil menetes dari lengannya. Mereka segera kembali ke mobil.

Saat mereka memasukkan hasil temuan ke dalam mobil, Bima berkata, “Tidak buruk, kita bisa makan selama beberapa hari dengan ini.”

Namun, Wira tiba-tiba merasa ada yang mengawasi. Matanya menyipit, memeriksa sekeliling dengan waspada.

Dari kejauhan, sesosok bayangan terlihat berdiri di antara kegelapan pepohonan. Sosok itu tidak besar, tetapi auranya terasa mencekam. Mata bayangan itu berkilauan seperti kucing dalam kegelapan, memperhatikan setiap gerakan Wira dan Bima. Perlahan, bibirnya tersenyum, seperti menemukan sesuatu yang menarik.

Wira, tanpa mengatakan apa-apa, segera masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Bima. Mereka meninggalkan tempat itu dengan cepat, tetapi di belakang mereka, sosok itu terus mengawasi hingga mobil mereka menghilang dari pandangan. “Aku menemukannya...” bisiknya, nyaris seperti angin malam.

Malam itu, suasana di markas terasa tegang meskipun mereka duduk bersama di ruang tengah. Wira duduk di tengah, tatapannya serius saat ia menatap teman-temannya satu per satu. Suara napas kecil Meyrin yang tertidur menjadi latar lembut di tengah suasana serius ini.

“Teman-teman,” Wira memulai dengan nada tegas, “makanan di sini semakin menipis. Bahkan hewan liar pun sulit ditemukan. Kalau kita tetap bertahan di tempat ini, aku tidak yakin kita bisa bertahan lebih lama.”

Bima, yang duduk di samping Wira, menambahkan, “Benar. Barusan aku dan Wira pergi cukup jauh hanya untuk mencari sisa-sisa makanan. Kalau begini terus, kita pasti akan kehabisan waktu.”

Wira melanjutkan, “Selain itu, ada tanda-tanda Ruo di area sekitar swalayan yang kami datangi. Itu berarti mereka mungkin sudah dekat. Kalau kita ditemukan oleh mereka di sini…” Wira sengaja menggantung kalimatnya, membiarkan imajinasi mereka menggambarkan bahaya itu sendiri.

Flora yang duduk dengan kaki menyilang, menatap Wira dengan raut wajah khawatir. “Kalau begitu… ke mana kita akan pergi? Apakah ada tempat yang lebih aman?”

Wira diam sejenak, lalu mengingat pesan kakek. “Sepertinya aku tahu kita harus ke mana,” jawabnya akhirnya.

Flora segera bertanya, “Ke mana?”

“Camp Raflesia.”

Rizki, yang sedari tadi sibuk dengan catatan di tangannya, menatap Wira. “Camp Raflesia? Di mana itu?”

“Aku sendiri juga tidak tahu,” Wira mengakui. “Tapi aku butuh kau untuk mencarinya, Rizki. Cari tahu lokasinya dan perkiraan waktu yang kita butuhkan untuk sampai ke sana.”

Rizki mengangguk dan segera membuka peta digital di perangkatnya, mulai menganalisis jalur yang bisa mereka tempuh. Sementara itu, suasana diskusi terus berlangsung. Di sudut ruangan, Nora tetap terdiam, raut wajahnya masih menunjukkan kemarahan.

Sekitar lima menit kemudian, Rizki akhirnya bersuara, “Camp Raflesia ada di kota Cakra. Tapi untuk sampai ke sana, kita harus melewati tiga kota: Banyan, Serayu, dan Mandala. Camp ini tampaknya adalah pusat evakuasi di pulau ini. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar tiga hari, mengingat beberapa jalan sudah hancur atau tertutup karena bencana ini.”

Wira bergumam dalam hati, “Tiga hari… ini cukup lama dan jauh.”

Bima yang duduk di sampingnya menangkap ekspresi keraguan di wajah Wira. “Tiga hari, ya? Kedengarannya berat. Tapi kita tidak bisa tetap di sini terlalu lama, kan?”

Wira mendongak, menatap wajah teman-temannya satu per satu, mencoba membaca respons mereka. Setelah menarik napas dalam, ia berkata dengan mantap, “Tiga hari perjalanan. Jalan yang belum pernah kita tempuh. Dunia luar penuh bahaya, dan kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi. Aku tidak akan berbohong; ini perjalanan yang sangat berisiko. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Kalau kita tetap di sini, kita semua akan mati kelaparan atau lebih buruk diburu oleh Ruo.”

Ia memandang ke arah Nora, yang masih diam. “Nora,” katanya dengan nada yang lebih lembut, “aku tahu kau marah padaku. Tapi kau sendiri pernah bilang kalau tujuan kita adalah bertahan hidup. Itulah alasan kita harus mengambil risiko ini. Agar kita tetap hidup.”

Nora mendongak, menatap Wira dengan raut wajah sulit dibaca. Flora yang duduk di dekatnya menyadari ada ketegangan di antara mereka, tapi ia memilih diam. Setelah menghela napas panjang, Nora akhirnya mengangguk perlahan tanpa mengatakan apa-apa.

Flora, yang sepertinya ingin mencairkan suasana, berkata, “Kalau begitu, aku ikut denganmu, Wira. Kita tidak bisa tetap di sini lebih lama.”

Rizki mengangguk sambil menutup perangkatnya. “Yah, mau bagaimana lagi? Tetap di sini sama saja seperti bunuh diri.”

Bima, dengan suara tegas, menyimpulkan, “Baiklah, Wira. Aku bersamamu.”

Wira tersenyum kecil melihat mereka satu per satu mendukung keputusannya. “Baiklah,” katanya, mengatur nada suaranya menjadi lebih tegas. “Kita akan berangkat lusa. Besok, kita gunakan waktu untuk mempersiapkan semua yang kita butuhkan. Makanan, pakaian, dan peralatan. Ini bukan perjalanan yang mudah, jadi pastikan semuanya siap.”

Mereka semua mengangguk serempak, meskipun rasa cemas masih terlihat di wajah masing-masing. Keputusan telah diambil, dan perjalanan berbahaya kini berada di depan mata.

Setelah diskusi yang cukup membuat semua orang pusing, Flora memutuskan mencari Nora. Dia tahu bahwa temannya itu sedang tidak dalam kondisi terbaiknya. Perlahan, Flora membuka pintu kamar Nora yang kini juga menjadi tempat tidur Meyrin, yang sudah tertidur lelap di sudut ruangan.

“Nora?” panggil Flora lembut, sambil menutup pintu dengan pelan.

Nora, yang duduk di ujung ranjang dengan kepala tertunduk, tidak langsung menjawab. Flora melangkah mendekat, menatap wajah Nora yang tampak lelah dan penuh beban.

“Apakah terjadi sesuatu antara kau dan Wira?” tanya Flora hati-hati.

Nora tetap diam, hanya menatap lantai seperti mencari jawaban dari sana.

Flora duduk di sebelahnya, mencoba mencari tatapan Nora. “Nora, apakah Wira melakukan sesuatu padamu?”

Akhirnya, Nora mengangkat wajahnya, menatap Flora dengan mata yang penuh keraguan. “Tidak… dia tidak melakukan apa-apa padaku. Bahkan, dia selalu berusaha melindungiku,” jawabnya pelan.

Flora menghela napas lega sambil tersenyum kecil. “Ah, begitu. Lalu apa yang membuatmu marah, Nora?”

Nora mendesah, kali ini suaranya terdengar lebih berat. “Aku hanya bingung… apakah aku bisa mempercayainya atau tidak.”

Flora memiringkan kepala sedikit, senyumnya melebar. “Jadi itu, ya…”

“Benar, Flora. Malam kembalinya Wira, aku berdebat dengannya,” Nora melanjutkan. “Kami berdebat tentang apakah kebaikan itu kekuatan atau kelemahan. Wira bilang itu kelemahan. Dan seketika itu membuatku marah.”

Flora terkekeh kecil. “Bukankah Wira memang seperti itu?”

“Iya, kau benar,” jawab Nora dengan nada mendesis.

Flora menatap Nora dengan ekspresi hangat. “Dan kau juga seperti itu, hahaha.”

Nora mengangkat pandangannya, tatapan serius terpancar dari matanya. “Flora, bagaimana menurutmu?”

“B-bagaimana apanya, Nora?” Flora tergagap, merasa pertanyaannya mengandung beban besar.

“Menurutmu… kebaikan itu kekuatan atau kelemahan?”

Flora terdiam, terlihat gugup dengan pertanyaan tersebut. Dia menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat.

“Nora,” katanya dengan lembut, “kebaikan itu kekuatan, tapi juga bisa menjadi kelemahan. Dua-duanya bisa benar di waktu yang tepat. Kau tidak salah, dan Wira juga tidak salah. Kalian hanya melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.”

Flora meraih tangan Nora, menggenggamnya erat sambil menatap matanya. “Apakah kau lupa, Nora? Dengan kebaikan yang kau percayai, kau telah menyelamatkan banyak orang. Dan apakah kau juga lupa, dengan kebaikan yang Wira percayai, dia telah melindungi kita berkali-kali?”

Nora terdiam, kata-kata Flora seolah memukul hatinya.

“Pada intinya, kalian hanya terlalu khawatir saja,” lanjut Flora sambil terkekeh kecil. “Hahaha.”

Mendengar itu, Nora akhirnya tersenyum. Beban yang selama ini menghantuinya seolah perlahan mencair. Dia memandang Flora dengan rasa syukur yang mendalam. “Kau benar, Flora. Terima kasih.”

Flora tersenyum lebar, menepuk bahu Nora dengan ringan. “Ahahaha, tenang saja. Di saat seperti ini, kita harus saling mengandalkan, bukan?”

Nora mengangguk. Dalam hati, dia merasa lebih tenang, seolah percakapan itu telah memulihkan sebagian besar keraguannya.

Keesokan Harinya

Hari itu digunakan sepenuhnya untuk mempersiapkan perjalanan mereka yang berbahaya. Wira dan Bima sibuk memeriksa kendaraan serta persediaan senjata. Nora dengan teliti memastikan ketersediaan obat-obatan yang cukup untuk kelompok mereka. Sementara itu, Flora sibuk menjatah makanan, dan Rizki memeriksa serta mengemas perangkat-perangkat teknisnya.

Siang hari, Nora datang membawa secangkir kopi pahit, minuman kesukaan Wira. Saat itu Wira sedang beristirahat di sudut markas. Ia menerima kopi itu dengan senyuman kecil. "Terima kasih, Nora," katanya tulus.

"Sama-sama," jawab Nora singkat, sebelum berbalik pergi tanpa menambahkan sepatah kata pun.

Wira menghela napas panjang sambil menyeruput kopinya, lalu bergumam, “Sampai kapan dia akan marah? Sudahlah…”

Ketika pekerjaan mereka selesai lebih awal, Wira merasa ingin berjalan-jalan sejenak. Saat ia berkeliling, pandangannya jatuh pada Flora yang tampak kesusahan mengelola makanan karena diganggu oleh Meyrin yang terus berceloteh. Melihat itu, Wira mendekat dengan senyuman.

"Meyrin, ayo jalan-jalan," ajaknya ramah.

Flora yang mendengar langsung menyahut, “Ah, Meyrin, sana ikut Om Wira. Katanya kamu ingin jadi seperti dia, kan?”

Meyrin tampak ragu, “Tapi… aku ingin bantu Kak Flora.”

Dengan lembut, Wira menggenggam tangan Meyrin dan tertawa kecil. “Ayo, kita main. Kak Flora butuh ruang untuk menyelesaikan pekerjaannya.”

Melihat Meyrin akhirnya menurut, Flora tersenyum lega. “Terima kasih, Wira.” Flora menatap mereka yang mulai melangkah pergi dengan senyuman.

Di luar markas yang porak-poranda, Wira dan Meyrin berjalan santai menyusuri lingkungan sekitar. Sinar matahari senja menyelimuti tempat itu dengan nuansa hangat, meski reruntuhan di sekitar mereka mengingatkan akan tragedi yang telah terjadi.

“Meyrin, apa kamu suka bunga?” tanya Wira dengan nada ramah.

Meyrin mengangguk penuh semangat. “Iya, aku suka bunga!”

Wira mengangguk pelan, lalu mengajak Meyrin ke sebuah tempat yang ia tahu. Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di tanah yang kini hanya ditumbuhi rumput liar.

“Meyrin, lihat ke sana,” ujar Wira sambil menunjuk ke satu titik di antara rerumputan.

“Apa itu? Rumput?” tanya Meyrin, menatap tempat yang ditunjuk Wira.

“Ahaha, bukan. Lihat lebih dekat, ada satu bunga di sana.”

Meyrin menyipitkan matanya, lalu menemukan bunga itu. “Ah, iya, aku melihatnya!”

Wira tersenyum, menatap bunga itu sejenak sebelum beralih ke Meyrin. “Saat aku melihat bunga itu, aku langsung teringat padamu, Meyrin.”

“Kenapa…?” tanya Meyrin dengan penasaran.

“Karena di antara rerumputan yang liar, bunga itu tetap berdiri. Dia cantik, dan bahkan di dunia yang kacau ini, dia masih memberikan keindahan.”

Meyrin tampak bingung. “Apa maksudnya, Kak Wira?”

Wira berjongkok, menatap Meyrin dengan lembut. “Maksudku, kamu adalah gadis kecil yang cantik dan kuat. Di dunia yang kacau ini, kamu tetap ada untuk memberikan keindahan. Jadi, kamu mirip seperti bunga itu.”

Meyrin tersenyum kecil, merasa senang mendengar pujian itu. “Baiklah, Kak Wira. Tapi… aku ingin bertanya sesuatu.”

“Hm? Tentu. Apa itu?”

Meyrin menatap Wira dengan mata penuh harapan. “Apakah Kak Wira berjanji akan melindungi kami?”

Wira terdiam sejenak, merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Namun, ia segera tersenyum, meski ada sedikit keraguan di hatinya. “Ya, aku berjanji, Meyrin.”

Meyrin melanjutkan, “Apakah Kakak juga berjanji akan menyelamatkan manusia?”

Kata-kata itu membuat Wira terpaku. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, Manusia?. Kemudian dengan suara yang tegas, ia menjawab, “Iya, Meyrin. Aku juga berjanji untuk itu.”

Meyrin tersenyum lebar, terlihat yakin bahwa Wira adalah sosok yang dapat diandalkan.

Wira melanjutkan, “Kata Flora, kamu ingin jadi seperti aku, ya?”

“Iya, Kak!” jawab Meyrin penuh semangat.

Wira menaruh tangannya di kepala Meyrin dengan lembut. “Jangan jadi seperti aku, Meyrin. Jadilah dirimu sendiri.”

“Tapi… aku ingin jadi seperti Kak Wira, yang menyelamatkan banyak orang. Kata Kak Flora, Kak Wira itu sudah seperti pahlawan.”

Wira tertawa kecil. “Hahaha, Meyrin, dengar ya. Kalau kamu ingin menyelamatkan banyak orang, lakukanlah dengan caramu sendiri. Kalau kamu ingin jadi pahlawan, jadilah pahlawan dengan caramu sendiri. Mungkin di masa depan, kamu akan lebih hebat daripada aku. Siapa tahu?”

Meyrin tersenyum cerah. “Baiklah, Kak Wira. Aku akan jadi diriku sendiri.”

“Bagus, Meyrin. Kau adalah bunga kecil yang akan mekar di dunia ini,” ujar Wira, sebelum mereka berdua kembali ke markas dengan senyuman.

1
Uryū Ishida
Sejujurnya aku gak percaya bakal suka ama this genre, tapi author bikin aku ketagihan!
Gerhana: Terimakasih, tunggu eps selanjutnya yah
total 1 replies
Jell_bobatea
Penulisnya jenius!
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
kuia 😍😍
author, kamu keren banget! 👍
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!