Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kewarasan yang di pertaruhkan
Matahari mulai meninggi, biasnya menembus masuk melalui celah tirai yang sedikit tersingkap, memantul tepat di wajah seorang pria yang masih larut dalam mimpinya. Terusik akan silau, sepasang mata mulai mengerjap dan bersusah payah untuk membuka kelopak matanya.
“Arggghh,” pria itu mengeram seraya memegangi kepalanya yang terasa berat, dia berusaha untuk bangun dan duduk sambil bersandar pada head board.
“Sudah bangun?”
Pria itu menoleh mendengar pertanyaan dari arah lain. “Apa yang terjadi padaku Gas?”
Helaan nafas berat terdengar, suara langkah kaki berjalan ke arah ranjang. “Dikta Diwangkara, semalam kamu berhasil memecahkan rekor. 15 tahun aku mengenalmu dan baru kali ini aku melihatmu menyentuh minuman keras dan menggila!”
Dikta Diwangkara memijat pangkal hidungnya, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam dan mengembalikan kesadarannya. “Aku tidak mengacau kan?” tanyanya menunduk, bahkan kini Dikta tanpa berani menatap sahabatnya.
“Hampir,” sahut Bagas memicu pertanyaan besar di benak Dikta.
“Hampir?” ulang Dikta dengan nada cemas. “Apa yang aku lakukan semalam?”
“Kamu tidak mengingatnya?” Dikta hanya menggeleng, dia sama sekali tak ingat. “Kamu berteriak memanggil nama Delvia seperti orang gila!” Sambung Bagas.
“Sial,” umpat Dikta lirih, pria itu menyugar rambutnya kasar dan mulai menyesali perbuatannya semalam. Entah setan mana yang merasukinya sehingga Dikta nekat menenggak alkohol, minuman keras yang selalu dia hindari.
“Cepat mandi, kedua orang tuamu menunggu di bawah. Mereka pasti mencemaskanmu. Oh ya, aku bilang kepada mereka kamu mabuk karena masalah pekerjaan!” ucap Bagas mencoba membantu Dikta memberi alasan kepada orang tuanya.
“Terima kasih Gas,” ucap Dikta tulus, pria itu lalu menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi.
Guyuran air dingin berhasil mengembalikan kewarasan Dikta, dia juga lebih segar dan kepalanya terasa lebih ringan. Setelah merasa lebih baik, Dikta mengajak Bagas untuk turun, dia yakin sahabatnya itu kelaparan.
Kewarasan yang Dikta perjuangkan kembali terkikis, pria itu membeku melihat Delvia dan Wira berada di rumah orang tuanya, pengantin baru itu tengah bersenda gurau, terlihat begitu bahagia.
“Oh Tuhan, aku sama sekali tidak tahu kalau mereka disini,” bisik Bagas dengan perasaan bersalah.
“It’s okay, cepat atau lambat aku memang harus menghadapi mereka!” jawab Dikta mencoba menegarkan diri.
Dikta mencoba mengabaikan keluarganya yang tengah asik bercengkerama, dia hendak pergi ke dapur namun langkahnya terhenti saat Nila memanggil namanya.
“Kamu sudah bangun?” tanya Nila dengan tatapan khawatir.
“Hem,” sahut Dikta tanpa menoleh.
“Kemarilah, sapa kakak iparmu,” titah Nila.
“Nanti, aku lapar!” Dikta berlalu begitu saja, menarik Bagas menuju dapur.
Bagas kembali menatap sahabatnya, dia terheran melihat Dikta begitu lahap menyantap sarapannya, di saat seperti ini seharusnya Dikta tak berselera makan kan? “Kamu memang hebat, kamu masih bisa makan dengan santai!” cibir Bagas.
“Bergelut dengan diri sendiri membutuhkan banyak tenaga!”
Setelah perutnya terisi, Dikta berniat kembali ke kamarnya, namun Nila bersikeras, memaksanya untuk bergabung bersama Wira dan Delvia, Nila juga mengajak Bagas ikut serta.
Tanpa Dikta sadari, pria itu tak luput dari pengawasan Delvia. Sejak Dikta turun dari kamar, tak sedetikpun Delvia melepas pandangannya dari adik iparnya. Kini Dikta duduk tepat di hadapannya, jarak mereka hanya sebatas meja kaca. Cukup dekat, namun mereka terasa begitu jauh.
“Tumben sekali kamu bangun kesiangan?” tanya Wira seraya menatap adiknya, sejak kecil Dikta selalu bangun pagi.
“Aku sedikit lelah mas,” jawab Dikta memberi alasan.
“Mas dengar semalam kamu mabuk? Apa kamu tidak bahagia melihat mas menikah?” Wira kembali melayangkan pertanyaan, mewakili Nila yang begitu mencemaskan anak bungsunya. Pagi-pagi sekali Nila menghubunginya, memaksanya datang ke rumah dan menceritakan apa yang terjadi pada Dikta semalam.
Dikta yang sejak tadi menunduk kini mengangkat kepala, menatap Wira dan Delvia secara bergantian. “Aku bahagia melihat kamu menikah mas. Maaf, semalam aku kalut karena masalah pekerjaan!”
“Ada masalah apa? Bukannya kamu sudah dapat pekerjaan baru?”
“Tidak papa, hanya masalah kecil!”
“Kamu yakin?” tanya Wira memastikan.
“Yakin mas!”
“Baguslah. Oh ya, aku dan Delvia datang kemari karena ingin berpamitan. Besok kami akan ke Eropa untuk bulan madu!”
Deg...
Perasaan Dikta kembali berkecamuk, kata-kata bulan madu membuat pikirannya mengembara kemana-mana. Dikta tidak sanggup membayangkan tubuh mungil Delvia akan di sentuh oleh Wira, sungguh dia tidak rela namun dia tak bisa berbuat apapun.
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan