Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai Di Balik Langit Mendung
Malam itu, hujan masih belum berhenti. Kilat sesekali menyambar langit gelap, menerangi jalanan yang sepi. Amara terus mondar-mandir di ruang tamu kecilnya, menatap layar ponsel yang tak kunjung memberikan kabar. Rasa cemas membuatnya sulit berpikir jernih. Ia tahu, keputusannya untuk menghubungi Adrian bisa menjadi bumerang, tapi ia tidak punya pilihan lain.
Bima tidak memberitahunya apa pun sebelum pergi. Hanya ada kekosongan yang tersisa di rumah ini, bersama dengan pikiran-pikiran liar yang tak henti-hentinya menghantui Amara. Sesekali ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Bima hanya ingin berbicara baik-baik dengan Adrian, tapi kenyataan bahwa suaminya jarang sekali bisa mengontrol emosi membuat keyakinannya goyah.
Di sisi lain kota, Bima sudah sampai di tempat yang ditentukan. Ia duduk di mobilnya untuk beberapa saat, menatap lampu-lampu jalan yang berkedip redup. Pikirannya penuh dengan berbagai asumsi. Apa yang harus ia katakan pada Adrian? Haruskah ia mendengar penjelasan pria itu, atau langsung melayangkan pukulan?
Ketika ia akhirnya keluar dari mobil, hujan yang deras langsung membasahi tubuhnya. Langkahnya tegap dan tegas, seperti seorang prajurit yang siap bertempur. Di dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan: melindungi pernikahannya.
Di sebuah apartemen kecil yang tampak bersih dan rapi, Adrian membuka pintu dan menatap Bima yang basah kuyup. Tatapan mata mereka bertemu sejenak, penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Adrian melangkah mundur, memberi isyarat agar Bima masuk.
“Gue udah nunggu lo dari tadi,” kata Adrian, suaranya tenang tapi bergetar.
Bima tidak menjawab. Ia melepas jaketnya yang basah, meletakkannya di sandaran kursi. Ia tidak peduli pada kesopanan atau basa-basi. Yang ada dalam pikirannya hanyalah satu hal: mendapatkan jawaban.
“Jadi, lo apa sama Amara?” tanya Bima langsung, tanpa bertele-tele.
Adrian menghela napas. Ia berjalan ke arah meja, mengambil sebotol air mineral, lalu menawarkannya pada Bima. Namun, Bima menggeleng.
“Gue cuma mau jawaban,” ulangnya, kali ini lebih tegas.
Adrian meletakkan botol itu kembali ke meja. “Gue nggak tahu gimana caranya ngomong ini ke lo tanpa bikin keadaan makin buruk, tapi…”
“Ngomong aja langsung, jangan muter-muter!” potong Bima, emosinya mulai naik.
Adrian memandang pria di depannya itu dengan penuh rasa bersalah. Ia tahu, apa pun yang ia katakan, tidak akan pernah cukup untuk menghapus kemarahan Bima. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa terus menghindar.
“Gue sayang sama Amara,” ucap Adrian pelan tapi tegas.
Ruangan itu seketika hening. Hanya ada suara hujan di luar yang terdengar seperti irama kemarahan alam. Wajah Bima memerah, tangannya mengepal erat. Ia tidak pernah membayangkan akan mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Adrian.
Amara, di rumah, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. Ia duduk di sofa dengan gelisah, merasa seperti sedang menunggu bom waktu yang akan meledak kapan saja.
Bima berdiri dari tempat duduknya dengan gerakan kasar. Kursi yang ia duduki terdorong ke belakang, menghasilkan bunyi berderit yang menggema di ruangan sempit itu. Mata Bima menatap tajam ke arah Adrian, penuh dengan kemarahan yang nyaris meledak.
“Lo tahu dia istri gue, kan?” suara Bima terdengar berat, hampir seperti geraman. “Apa lo nggak mikir sebelum ngomong kayak gitu?”
Adrian tetap berdiri di tempatnya, mencoba mempertahankan ketenangannya. Namun, wajahnya jelas menunjukkan rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. “Gue tahu, dan gue nggak punya niat buat ngancurin rumah tangga lo. Tapi perasaan gue ke Amara… itu nyata, Bim. Gue nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa.”
Kemarahan Bima semakin memuncak. Ia mendekat ke arah Adrian dengan langkah yang berat, seperti singa yang siap menerkam. Tangannya terangkat, mengepal kuat, seolah siap menghantam wajah pria yang berdiri di depannya.
“Lo pikir gue bakal diem aja denger omong kosong lo?!” bentaknya. “Lo tahu gue udah berjuang mati-matian buat dia, buat rumah tangga gue! Dan lo, Adrian… lo masuk kayak pencuri, ngerusak semuanya!”
Adrian tidak bergeming. Ia tahu apa yang akan ia katakan hanya akan memperkeruh keadaan, tapi ia juga tidak mau mundur begitu saja. Ia memutuskan untuk menghadapi Bima, meskipun ia tahu konsekuensinya.
“Gue nggak mau rusak rumah tangga lo, Bima,” ucap Adrian dengan nada serius. “Tapi lo harus tahu, Amara butuh lebih dari sekadar janji kosong. Lo tahu nggak, berapa banyak dia nangis sendirian karena lo nggak pernah benar-benar ada buat dia?”
Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Bima. Ia terdiam sesaat, tidak mampu menyangkal kebenaran di balik ucapan Adrian. Namun, rasa sakit itu segera berubah menjadi kemarahan yang semakin membakar dadanya.
“Lo nggak tahu apa-apa tentang gue sama Amara!” teriak Bima. “Lo cuma lihat apa yang lo mau lihat. Gue cinta sama dia, dan gue udah ngelakuin segalanya buat dia!”
“Kalau lo cinta sama dia, kenapa Amara ngerasa kesepian?” Adrian menantang.
Hening. Pernyataan Adrian menggantung di udara, menekan Bima dengan kenyataan yang selama ini mungkin ia abaikan.
Sementara itu, di rumah, Amara semakin resah. Ia mengambil ponselnya lagi, mencoba menelepon Bima, tapi tidak ada jawaban. Ia mencoba menghubungi Adrian, tapi sama saja. Hatinya dipenuhi rasa bersalah dan ketakutan. Ia tahu, apa pun yang sedang terjadi di luar sana, ia adalah penyebabnya.