Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Bab 4. Akir dari quarter penentu
Setelah mendengar suara peluit panjang yang menandakan akhir pertandingan, Bagas pun rebah di tengah lapangan. Tubuhnya terasa lelah, seakan energi terakhirnya terkuras habis dalam permainan tadi. Ia memejamkan mata, menikmati sensasi dingin lantai lapangan yang bertemu dengan kulitnya.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kirinya. Bagas membuka mata perlahan, dan terkejut melihat April duduk di sampingnya, memegang sebotol air dingin yang tadi disentuhkan ke pipinya.
“Hei,” kata April sambil tersenyum, “keren mainnya.”
Bagas, yang kaget, langsung bangkit dan duduk di samping April, berusaha menyembunyikan rasa kikuknya.
April melanjutkan, "Ini pertama kali aku lihat ada pemain junior yang bisa mengimbangi permainan kami. Biasanya, tim lapis kedua nggak bakal bertahan lama. Tapi kalian... kalian bikin kami kewalahan.”
Bagas menatap April, sedikit tidak percaya dengan pujian yang ia dengar. "Serius, Kak?" tanyanya ragu.
April mengangguk mantap, masih dengan senyum di wajahnya. "Aku benar-benar salut sama kalian. Meski kalian belum punya banyak pengalaman, kalian mainnya rapi. Umpan pendekmu, terutama. Bikin kami keteteran. Malah, aku merasa kita yang terbebani di pertandingan tadi.”
Bagas hanya bisa tersenyum mendengar pujian dari kapten tim yang ia kagumi itu. Meski hatinya penuh bangga, ia tetap memilih untuk rendah hati. “Terima kasih, Kak April. Sebenarnya, kita cuma main sesuai yang kita latih terus. Kita nggak ada apa-apanya dibanding kalian.”
April tertawa kecil, “Jangan merendah. Yang kalian lakukan tadi luar biasa. Kamu udah ngajarin aku satu hal penting hari ini.”
“Ngajarin apa, Kak?” Bagas bertanya penasaran.
April menatapnya serius, lalu berkata, “Untuk nggak pernah meremehkan tim atau orang lain, sebelum bener-bener lihat langsung. Kamu... kamu ngajarin aku, kalau seseorang atau tim itu nggak bisa dinilai cuma dari namanya atau statusnya. Harus dilihat dari permainan aslinya di lapangan.”
Bagas hanya terdiam, mendengar kata-kata April yang dalam. Ia menatap April, lalu membalas dengan senyuman tulus, walaupun hatinya sedikit tergelitik dengan sebutan "penurut" yang dikatakan April. Kata itu terngiang-ngiang di kepalanya, tapi ia memutuskan untuk tidak menanggapi lebih jauh.
Mereka terdiam sejenak, menikmati momen langka itu—di mana junior dan senior bisa berbincang tanpa jarak di antara mereka.
April akhirnya berdiri, menepuk bahu Bagas dengan lembut. “Kamu pemain hebat, Bagas. Teruslah main dengan caramu. Nggak ada yang tahu, mungkin suatu hari kita akan main di tim yang sama.”
Bagas hanya mengangguk, menatap punggung April yang berjalan menjauh. Dalam hati, ia bertekad untuk terus berlatih keras, membuktikan bahwa dirinya bisa lebih dari sekadar "pemain penurut."
Di benaknya, kata-kata April terpatri, dan ia tahu, ini baru awal dari persaingannya di dunia basket yang sesungguhnya.
Setelah memberikan ucapan penuh motivasi itu, April berdiri dan berjalan menjauh dari Bagas. Tak lama kemudian, suara peluit terdengar lagi, menggema di seluruh lapangan.
"Semua pemain, berkumpul di tengah lapangan!" seru pelatih dengan suara lantang.
Bagas segera bangkit dan berjalan ke tengah lapangan, bergabung dengan pemain-pemain lainnya yang mulai membentuk barisan. Saat ia melirik ke arah samping, ia melihat April tidak masuk dalam barisan bersama mereka. April justru duduk bersandar di bangku pemain di pinggir lapangan, terlihat santai dengan wajah yang sedikit letih.
Oh, mungkin karena dia kapten, jadi dia diistimewakan, pikir Bagas dalam hati, meskipun ia tak terlalu memikirkan itu lebih jauh. Ia fokus kembali pada instruksi yang akan diberikan pelatih.
Pelatih berdiri di hadapan mereka, wajahnya serius namun hangat, mencerminkan rasa bangga sekaligus ketegasan seorang mentor. Ia memandang seluruh pemain yang ada di depannya.
“Terima kasih, anak-anak. Kalian semua sudah berlatih dengan giat hari ini,” kata pelatih sambil menganggukkan kepalanya. “Dengan ini, Bapak akhiri latihan hari ini.”
Para pemain terlihat lega mendengar latihan selesai, beberapa dari mereka bahkan mulai tersenyum.
“Sebelum kalian pulang, Bapak hanya ingin ingatkan satu hal. Ekskul basket ini bukan ekskul yang mudah,” lanjut pelatih dengan nada serius. “Jangan hanya pilih ekskul ini kalau kalian tidak siap. Setiap tahun, selalu ada pemain baru yang berhenti setelah latihan pertama karena tidak kuat dengan intensitasnya.”
Pelatih menatap mereka semua satu per satu, lalu tersenyum sedikit. “Untuk kalian, terutama tim junior yang sudah bermain tadi, kalian hebat. Kalian punya potensi besar, terutama Dino di posisi center. Tetaplah konsisten dan jangan mudah menyerah.”
Bagas melirik Dino yang berada di sebelahnya, dan Dino tersenyum tipis, menyadari bahwa ia baru saja mendapat pujian dari pelatih. Bagas pun merasa bangga atas teman-temannya yang telah memberi performa terbaik mereka.
“Baik, cukup sekian untuk hari ini,” pelatih melanjutkan. “Jangan lupa jaga kesehatan, latihan terus di luar jadwal, dan perhatikan pola makan kalian. Ingat, tubuh kalian adalah aset. Sekali lagi, terima kasih dan sampai jumpa di latihan selanjutnya. Dengan ini, latihan resmi Bapak bubarkan.”
Pelatih pun melambaikan tangan sebagai tanda bahwa mereka sudah boleh pulang.
“Terima kasih, Pak!” para pemain menjawab serentak sambil bertepuk tangan, menghormati kerja keras dan dedikasi pelatih mereka.
Bagas menatap ke arah April, yang masih duduk di pinggir lapangan. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa berada di posisi seperti dia, pikir Bagas dalam hati, penuh semangat dan rasa bangga.
Setelah pelatih membubarkan tim, Bagas berjalan keluar dari lapangan basket megah yang berstandar internasional. Sinar matahari sore menerpa wajahnya, dan udara segar yang memasuki paru-paru membuatnya merasa tenang sejenak. Ia melangkah pelan menuju area parkir sekolah, tempat motor sport hijau hitam miliknya terparkir dengan rapi.
Dengan gerakan terbiasa, Bagas membuka kunci motor, memeriksa kondisinya sejenak, lalu menyalakan mesin motor tersebut. Suara mesin yang menggema melengkapi suasana sore itu. Namun, ketika ia hendak menggas motornya untuk keluar dari pekarangan sekolah, terdengar suara getaran dari dalam tasnya.
Bagas mengerutkan kening. Tanpa membuang waktu, ia membuka tasnya dan mengeluarkan smartphone. Ternyata, ada video call masuk dari seseorang yang namanya tertera di layar ponselnya: "Raja Jalanan".
Tanpa ragu, ia langsung menekan tombol hijau untuk menerima panggilan, dan wajah seseorang yang ia kenal muncul di layar. Sosok itu mengenakan hoodie hitam dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya, hanya menyisakan matanya yang tampak tajam.
"Bagas..." suara seseorang itu terdengar lewat speaker, lembut namun tegas. "Kenapa kamu tidak datang ke latihan?" Orang itu berbicara dengan bahasa isyarat, tangannya menari-nari di udara, membuat gerakan yang Bagas pahami dengan mudah.
Bagas menatap layar ponselnya dengan serius. Di balik sikap santainya, ada sedikit ketegangan yang mengalir dalam dirinya. Apa maksudnya ini? pikirnya. "Aku... ada latihan di sekolah," jawab Bagas pelan, tetap memerhatikan gerakan tangan orang itu di layar.
Orang itu melambaikan tangan, memberikan isyarat agar Bagas mendekat lebih jauh. "Kamu tahu, kita sudah menunggu lama," ujar orang itu, gerakan tangannya semakin cepat. "Kamu seharusnya tahu pentingnya ini."
Bagas terdiam sejenak, wajahnya berubah sedikit tegang. Ia tahu betul siapa orang ini, dan apa yang ia inginkan. Tetapi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Latihan di sekolah atau pertemuan yang sudah dijadwalkan sebelumnya?
"Dalam waktu dekat, kita akan bicarakan lagi," jawab Bagas dengan suara yang lebih tenang. "Aku punya hal yang harus diselesaikan."
Orang itu menatapnya lama lewat layar ponsel. Sejenak, suasana terasa canggung, tetapi akhirnya, orang tersebut menarik napas panjang, lalu memberikan tanda persetujuan dengan menganggukkan kepala.
"Baiklah, Bagas. Tapi ingat, waktumu akan segera habis," ujar orang itu, lalu mematikan video call tanpa menunggu jawaban lagi.
Bagas menatap layar yang kini hanya menampilkan gambar hitam, merasa sedikit bimbang. Dengan cepat, ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas dan menyalakan motor untuk meninggalkan tempat itu. Namun, di dalam hatinya, perasaan tak nyaman dan rasa ingin tahu semakin mendalam.
Bagas melajukan motornya dengan cepat, merasakan angin yang menyapu wajahnya saat ia melaju meninggalkan area sekolah. Pikirannya berkecamuk tentang pertemuan dengan "Raja Jalanan" yang akan segera ia hadapi. Meskipun ia baru saja selesai latihan, ia tahu betul bahwa pertemuan dengan Raja selalu memberi pengaruh besar pada cara pandangnya terhadap banyak hal.
Setibanya di tujuan, Bagas melambatkan laju motornya dan menepi di depan sebuah kawasan yang tampak seperti tempat pembuangan barang bekas. Di kejauhan, ia bisa melihat sosok yang sudah ia kenal dengan baik—Raja, duduk santai di atas tumpukan mobil rongsokan. Di sampingnya, ada lapangan basket tua yang sudah lama tidak terpakai. Papan ring yang sudah lusuh dan tiang ring yang berkarat menambah kesan suram di tempat itu. Namun, bagi Bagas, ini adalah tempat yang penuh kenangan, tempat di mana ia pertama kali belajar arti sejati dari permainan basket jalanan.
Bagas menurunkan motornya dan melangkah mendekat. Ia mengambil bola basket yang ada di samping motornya dan melemparkannya ke arah Raja. Bola itu melambung tinggi di udara, dan dalam sekejap, Raja melompat dengan gesit, menangkap bola di udara, dan memasukkannya dengan satu gerakan cepat ke dalam ring yang sudah rapuh.
Bagas hanya bisa tersenyum melihat aksi Raja. Meskipun di tempat yang jauh dari kesan megah, bahkan jauh dari lapangan basket sekolah yang berstandar internasional, Raja tetap bisa menunjukkan keterampilan yang luar biasa.
“Gila, lo masih bisa ngelakuin itu, ya?” Bagas berseru dengan senyum lebar.
Raja hanya menatapnya sebentar dengan tatapan tajam, sebelum mengangguk pelan. Kemudian, dengan gerakan tangannya, ia mulai menari di udara—bahasa isyarat yang sudah tak asing lagi bagi Bagas. "Lo siap?"
Bagas mengangguk, matanya memandangi lapangan yang penuh kenangan itu. “Siap, gue butuh pelampiasan.” Ucapan itu terasa ringan, tapi di dalam hatinya, ia tahu betul apa yang membuatnya datang ke sini.
Raja merespons dengan gerakan tangannya yang lincah, memberi isyarat agar Bagas mulai beraksi. Mereka tahu betul bahwa basket jalanan bukan hanya soal teknik, tetapi juga soal mental—bermain di tempat seperti ini, di hadapan tumpukan barang bekas, membuat Bagas merasa lebih bebas, lebih hidup. Ini bukan tentang aturan permainan resmi, ini adalah tentang perasaan yang mengalir.
Bagas menggiring bola dengan cepat, mengikuti instruksi Raja dengan gerakan yang terlatih. Bola itu berputar di tangannya dengan lincah, melewati beberapa gerakan crossover, sebelum akhirnya ia mencoba menembak dari sudut yang cukup sulit. Bola itu meluncur ke udara, berputar-putar seolah ingin menentukan nasibnya.
Raja hanya mengamati, tidak terburu-buru. Dan ketika bola itu hampir mencapai ring, Raja melompat lagi—kali ini lebih tinggi, mengambil bola dari udara dan memantulkannya kembali ke lapangan dengan sedikit putaran, seolah memberi tanda bahwa masih banyak hal yang harus Bagas pelajari.
Bagas berhenti sejenak, menatap Raja dengan senyum penuh penghargaan. Meskipun ia tahu bahwa Raja jarang berbicara, setiap pertemuan mereka selalu memberi lebih banyak arti dalam perjalanan hidupnya. Bagas tak pernah benar-benar tahu wajah Raja, dan ia tak pernah peduli. Dalam persahabatan mereka, suara dan wajah bukanlah yang utama. Yang terpenting adalah pemahaman mereka satu sama lain melalui bahasa isyarat—cara Raja mengajarkan Bagas lebih dari sekadar permainan, tetapi juga tentang kehidupan.
“Ayo, Bagas, lo bisa lebih dari ini,” ujar Raja melalui isyaratnya, tangannya bergerak cepat, memberi arahan. Bagas mengangguk, siap untuk tantangan berikutnya, untuk melampaui batas dirinya di lapangan ini, di tempat yang hanya mereka berdua mengerti.