Sehat itu mahal harganya! Dan itu memang benar, keluarga Giovani Mahardika rela membayar seorang gadis untuk menikah dengan putra bungsu mereka demi menyembuhkan gangguan mentalnya.
Dialah Alleta Rindiani, setelah melewati beberapa pertimbangan dan penilaian akhirnya gadis inilah yang dipilih oleh keluarga Gio.
Di tengah usaha keras Alleta, secercah harapan akhirnya muncul, namun Gio nyatanya jatuh cinta pada Alleta.
Akankah Alleta membalas cinta Gio di akhir masa perjanjian? Terlebih sesuatu telah tumbuh di dalam sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bungee~ Bab 3
"Matur suwun bu, semoga rejeki ibu berlimpah karena udah ngasih bonus jajan sama anak yatim ini!" ucapnya pamit hendak sekolah yang selalu bikin ibunya tak bisa untuk tak menggeplak punggung anak gadisnya itu. Ucapan Leta bukan kurang aj ar, karena memang kenyataannya ia yang sudah tak memiliki ayah.
"Dasar.." ibu tertawa renyah.
"Loh iya kan, aku anak yatim....tenang aja bu, do,'a anak yatim itu selalu nyalip diantara do'a-do'a lain kok!" ia meraih punggung tangan ibu dan salim takzim.
"Aamiin." Jawab ibu.
Ia memasang helmnya di kepala tanpa melihat kemanapun lagi dan langsung menerobos gawang pagar yang telah ia bukakan sebelumnya, "assalamu'alaikum!" lambaian tangan Leta tak bertuan.
Tama memijit kaki-kaki renta sang ibu, "mbak Yati ngga kesini hari ini bu?" dan pijatan itu terasa sampai ke hati, beda dengan Rangga dan Gio, Tama memang memiliki tangan-tangan terampil dan berperasaan.
Mbak Yati adalah tetangga yang memang Rangga dan Tama pekerjakan untuk sekedar mencuci dan menggosok pakaian.
"Anaknya sakit, le. Coba antarkan singkong sama kacang yang masih ada di dandang untuk cemilannya, kasian." jawab ibu lemas, bahkan ia yang sudah mengukus umbi-umbian itu tak berselera untuk memakannya sebab memikirkan Gio, dimana anak bungsunya itu sekarang, semalam ia tak pulang, sudah makan apa belum?
Tama tersenyum tipis penuh kegetiran, ia paham apa yang tengah menjadi biang masalah ibu sekarang, sampai biangnya tak ia cabut maka ibu akan terus begini...membatin.
Rangga berdiri di gawang pintu kamar ibu dengan melipat tangan di dadanya, memperhatikan sang adik memberikan persembahan terbaiknya untuk ibu, sementara ia cukup jadi penjaga pintu saja takut nyamuk lewat. Ia tak bisa selembut Tama, tak pula sesabar adiknya itu, bisa-bisa tulang ibu patah kena hantam olehnya karena terbawa emosi.
"Bu, kita jodohkan saja Gio sama perempuan..." lirih Rangga berucap to the point, langsung ke jantungnya sampai Tama menoleh horor atas pemilihan kata sang kangmas, yang benar saja! Ya iyalah perempuan masa pedang bengkok!
"Duh gusti, opo lagi iki..." gumam ibu, "pak...bapakkk!" panggilnya.
\*\*\*
"Begini pak, bu...satu-satunya cara untuk membawa kembali Gio pada kenormalan adalah dengan menjodohkannya..." jelas Tama mengambil alih obrolan sementara Rangga menjadi timses saja mengingat ia tak berguna jadi jubir, terakhir kali ia bicara ibu memanggil bapak karena mendadak kepalanya kembali berdenyut sakit.
"Sama anak siapa, keluarga mana yang mau to...anak ngga normal begituu," rutuk bapak hanya ingin menyisakan sedikit urat malunya di depan keluarga lain.
"Kalian sudah punya kandidat?" tembak ibu sepertinya sudah menduga ke arah situ.
Tama dan Rangga saling melirik dengan Tama yang menelan salivanya sulit, "usulan saja bu."
(..)
"Hah! Yang benar saja! Alleta? Bulek Wulan?" tunjuk ibu ke arah dinding kiri rumah mereka dimana Alleta tinggal disana. Tama sekali lagi mengangguk setuju.
"Ndak...bapak ndak setuju." Geleng bapak.
"Loh, kenapa pak. Bulek Wulan itu baik, sudah mengenal keluarga kita lama, kerabat jauh ibu juga...Leta apalagi, ya walaupun seringnya Gio sama Leta sudah seperti kucing dan anj inkk. Tapi setidaknya ia mengenal seluk beluk, dalam annnya Gio...tidak mungkin juga membuka aib keluarga kita keluar."
"Justru karena itu!" bentak bapak sampai berdiri, "karena mereka terlalu baik sama bapak, sama ibu."
Rangga membuang muka dengan decihan frustasi nan kecewa karena tanggapan bapak, ia juga sudah menyenderkan punggungnya di sandaran kursi, sudahlah! Ia dan bapak memang sama-sama keras.
"Jika tidak setuju pun setidaknya kita meminta tolong Leta. Kita tawarkan perjanjian yang memang tidak memberatkannya atau merugikannya." Tama kembali menengahi, "demi menolong Gio, kalaupun Leta atau Gio sama-sama tidak cocok setelah berusaha mencoba, mereka berhak berpisah..."
Ibu menatap taplak meja wayang yang menutup permukaan meja kayu di ruang itu, ia yakin Wulan akan baik-baik saja...tapi justru karena itu rasa bersalahnya belum apa-apa sudah menggelantung.
"Bagaimana caranya si Leta bikin Gio sembuh, sementara kamu-kamu, bapak, ibu saja tak bisa?" tanya ibu.
"Witing tresno jalaran soko kulino, bu. Seiring berjalannya waktu, kalo Leta kasih perhatian, kepedulian, urusin Gio, bocah itu bakalan sadar...kita coba semuanya. Aku yakin bu, Leta bisa...sukur-sukur kalo dua-duanya sama-sama jatuh cinta. Besok-besok dunia jadi damai..." Rangga ikut bersuara, gemas sekali ia mendengar ucapan lembek Tama, hah! Kelamaan! Keburu dunia kiamat dan adik bungsu mereka ngga sempet tobat.
Wulan, ibu Leta mendadak membatu di kursinya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi pada Gio.
"Yang sabar mbakyu..." ucapnya kini tersadar kembali dari keterkejutan dan mendekati bu Gendis untuk memberikan usapan-usapan penguatan, seperti yang sering ia lakukan jika Gendis merasa hidupnya merana.
"Aku ndak tau, Lan...kenapa Gio bisa seperti itu.. Padahal dulu pendidikan agamanya pun tak nol-nol banget."
Ibu Leta tersenyum getir, "anak muda jaman sekarang mbakyu...pergaulannya naudzubillah. Makanya aku juga takut kalo Leta salah bergaul."
"Maka dari itu bulek, Tama atas nama pribadi dan keluarga, mau minta kesediaan bulek dan Leta."
Wulan terlihat kembali membeku, hanya menatap Tama dan bu Gendis dengan getir. Leta adalah kebahagiaan satu-satunya di dunia ini. Ibu mana yang tak mau jika putri semata wayangnya mendapatkan apa yang menjadi impiannya, jodoh terbaik versi Allah, dan bahagia lahir batin serta dunia akhirat.
Namun mulutnya memang tak pernah berkata kasar ataupun menyakiti perasaan, "maaf mbakyu, Tama...untuk masalah itu, karena Leta yang akan menjalaninya, maka saya serahkan semuanya pada Leta sendiri."
"Kita tunggu sampai Leta pulang sekolah, bulek.." jawab Tama. Namun belum bibirnya kering karena ucapan barusan, sebuah notifikasi menyapa ponsel Wulan.
Bu, Leta pulang terlambat...main dulu di rumah Rahma.
"Mbakyu, Tama...maaf ini Leta barusan wa---"
"Dimana memangnya itu bulek?" tanya Tama.
Membuat ibu Gendis dan Tama terpaksa pulang saja ke rumah.
"Ck. Lama...sampai kapan mesti nunggu bocah main...dimana rumah si Rahma--Rahma itu?!" Rangga benar-benar sudah tak sabar. Baru kali ini ia dibuat galau oleh perempuan terutama bocah, seingatnya ia tak begini saat berpacaran dengan istrinya dulu.
Tama baru saja selesai bertelfon ria dengan Clemira, belum lagi kesatuan kembali menghubunginya untuk memberitahukan tugasnya untuk lusa.
"Jalan Pati no.18...dekat gerai ayam krispy Kriuukk katanya, yang ada grosir besar itu." Jawab Tama kembali bergabung dari arah dapur, ujung-ujungnya sesabar apapun Tama tetap ingin segera pulang juga saat ia mendengar suara istrinya barusan.
"Ya udah susul saja, kita minta dia pulang." Jawab Rangga tak sabar.
"Tunggu dulu, jangan diburu-buru begitu, justru nanti takut Letanya jadi ndak mau." Suara ibu mewakili bapak yang sejak tadi diam saja, entahlah...usulan kedua putranya itu menurutnya kurang manusiawi, menikahkan secara siri Gio dan Leta, makin saja ia tak memiliki muka di depan Wulan dan keluarga. Namun ia pun tak memiliki opsi lain.
.
.
Rangga membuang puntung tembakaunya ke tanah padahal belum sepenuhnya habis. Setelah berdebat alot dengan bapak dan ibu, akhirnya tak ada cara lain...mereka lebih takut istri dan kesatuan ketimbang rasa malu pada Leta dan bulek Wulan, toh...harga diri mereka pun sudah merosot jatuh lebih murah daripada harga hape curian.
"Itu rumahnya?" tanya Rangga pada Tama di atas motor, sementara Tama mengangguk, "yang catnya kuning lemon."
"Ngga percaya aku. Pendidikan sekaligus kawah candradimuka sampe babak belur berguna juga buat culik bocil..." oceh Rangga yang ditertawai Tama, ia pun setuju setelah membuka helmnya dan mengeratkan resleting jaket yang ia pakai, dimana jaket yang ia pakai adalah jaket kesatuan lusuh yang memang sudah lama sekali namun masih tersimpan rapi di lemari. Jaket saat ia menjadi taruna dulu.
Kedua perwira kepolisian dan ketentaraan ini berjalan bersamaan ke arah rumah yang dipercaya adalah rumah Rahma.
Namun belum mereka sampai, Tama mencolek kakaknya Rangga, "Leta.." tunjuknya ke arah gerai minuman di sebrang tak jauh dari rumah itu. "Mesti nyebrang mas..motor gimana?"
"Simpan saja disini dulu."
Rangga dan Tama mengambil jalan untuk menyebrang, dimana Leta sedang bersama kedua orang temannya Rahma dan Aulia, mungkin jajan minuman thai tea sambil cekikikan bebas.
"Mas, aku thai teanya ndak usah pake boba kaya yang lain ya..." Letta memesan sembari mencondongkan wajahnya melihat ke dalam, dimana si mas-mas item manis tengah membuat pesanan.
"Siap!"
Kedua temannya yang mengobrol sambil bercanda melihat kedua pria berbadan atletis mendekat, melihat perawakan gagahnya beserta jaket yang dipakai seketika membuat kedua teman Leta ketakutan.
"Ul, razia anak sekolah kayanya!"
"Kabur jangan Ma, perasaanku ndak enak iki..." tanpa berpikir jernih dan cerdas Aul dan Rahma justru kabur setelah baru saja Rangga buka suara tegasnya yang membuat kedua teman Leta langsung ngibrit, "pulang sekolah langsung nongkrong dek, kenapa ngga balek?"
Langkah seribu mereka ambil meninggalkan Leta yang masih asik melihat proses pembuatan thai tea sambil sesekali mengobrol santai dengan si masnya, tanpa peduli dibelakangnya.
"Kenapa ndak langsung balek? Ditungguin malah asik-asik jajan disini...balek Ta...ada hal penting yang mesti dibicarain..."Rangga berujar membuat Leta berbalik badan seketika.
"Mas Tama, mas Rangga?! Mas berdua ngap---"
"Loh, temenku yang dua mana?!" ia baru saja sadar jika kedua temannya sudah tak ada disana.
"Digondol kucing. Balik kamu Ta...ta tunggu malah enak enakan jajan..." paksa Rangga.
"Nungguin aku buat apa?" kini Leta mengernyit tak mengerti. Ngapain juga duo tukang baku hantam menunggu dirinya.
Dari kejauhan Rahma dan Aul baru saja teringat Leta, dan keduanya kembali, namun melihat Rangga yang sudah menarik-narik Leta dan seakan sedang beradu argumen dengan bapak-bapak polisi semakin membuat mereka yakin jika kedua aparat itu tengah melakukan razia keliling.
"Telfon ibunya Leta, kalo Leta kena razia..."
.
.
.
.
nunggu letta sadar pasti seru ngamuk2 nya ma gio...
ndak ada juga yang bakal masukin ke penjara
biar si letta gk pergi2 dri kmu
jangan to yo,kasian si leta masih gadis